Sabtu, 10 September 2011

Rambu-Rambu DALAM PERJUANGAN (1)

Syaikh Mujahid Usamah bin Ladin



Rambu-Rambu

DALAM PERJUANGAN






Al-Qaedoon Group

Kelompok Simpatisan dan Pendukung Mujahidin




Judul Asli:

Taujihat Manhajiyah 1

Oleh:

Syaikh Mujahid Usamah bin Ladin

Publisher:

Minbar At Tauhid Wal Jihad

Edisi Indonesia:

Rambu-Rambu Dalam Perjuangan 1

Penerjemah:

Muhammad ‘Atho’ Asy Syarqi

Publisher:

Al-Qaedoon Group

Kelompok Simpatisan dan Pendukung Mujahidin





Segala puji hanya milik Alloh Robbul ‘Alamin, dan sholawat serta salam semoga tercurah selalu kepada Nabi Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau seluruhnya.

Amma ba’du…

Ketika kita berbicara mengenai kondisi yang dialami oleh umat Islam dewasa ini, berikut penjajahan, kedholiman dan permusuhan yang yang dilakukan oleh pasukan Israel dan pasukan Amerika terhadap mereka, belum lagi terpuruknya naungan Islam di muka bumi, maka sudah seharusnya mencari kembali petunjuk Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam dalam menegakkan agama ini, di saat Islam datang dalam keadaan masih terasing. [1]

Sesungguhnya orang yang mau mencermati hal itu, ia akan dapati bahwa Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam sejak pertama kali sangat serius dalam menawarkan dakwahnya kepada para kabilah ketika beliau memulai dakwahnya terang-terangan.[2] Kalau kita mau melihat pada unsur terpenting yang beliau gunakan dalam berdakwah kepada para kabilah Arab tadi, kita akan temukan hal itu sangat jelas sekali, yaitu:

1. Bahwa beliau mengajak mereka kepada syahadat tauhid, bersaksi bahwa tiada ilaah (sesembahan yang haq) selain Alloh, dan bahwa Muhammad adalah utusan Alloh.[3]

2. Point yang lain adalah bahwa beliau menyeru mereka agar siap untuk melindungi dan membela.[4]

Sebagaimana hal itu tampak jelas pada dakwah beliau kepada Bani ‘Amir bin Sho’sho’ah, ketika mereka mengatakan kepada beliau: “Kepada apa engkau mengajak kami wahai saudara Arab?” beliau menjawab, “Aku mengajak kalian agar bersaksi behwasanya tidak ada ilaah kecuali Alloh dan bahwa aku adalah utusan Alloh, dan agar kalian siap melindungi dan membelaku.” [5]

Di sini, tampak di hadapan kita sebuah pelajaran yang jelas, bahwa dakwah dan kalimat agung ini (kalimat syahadat) harus memiliki miliu (basis), pohon yang mulia ini harus ada tanah untuk tumbuh berkembang, dan itulah yang akan menolong dan memberikan tempat bagiku. Dari sinilah, Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam terus mencari tanah (untuk miliu) ini. Di tengah-tengah pencarian itu, beliau berdakwah di Makkah dan tinggal di sana selama 13 tahun.

Semua ilmu yang kita miliki hanya sebagian kecil dari ilmu beliau ~ Alaihis-Shalatu was Salam ~ sedangkan beliau adalah orang Arab terfasih dan diberi Jawaami’ul Kalim (kemampuan untuk berbicara secara simpel tapi mengandung pengertian yang luas). Beliau adalah orang yang dikuatkan oleh wahyu dari atas langit yang tujuh, namun bersamaan dengan itu semua, tidak ada yang mau beriman kepada beliau selain beberapa puluh sekian dari kalangan sahabat yang mulia ~ semoga Alloh meridhai mereka ~.

Dari sini, tampak jelas juga bahwa kalimat ini meski memiliki kekuatan yang besar, ia tetap harus didukung oleh unsur-unsur lain supaya bisa mengayomi bumi. Kondisi terus bertahan seperti itu, sampai akhirnya Alloh ta'ala menganugerahkan bumi Madinah Munawwarah, dan Alloh anugerahkan kaum Anshor ~Kabilah Aus dan Khozroj~. Tatkala mereka melindungi dakwah, Islampun menyebar luas, dan dalam jangka beberapa tahun saja, ratusan ribu orang masuk Islam di Jazirah Arab, dan manusiapun berbondong-bondong masuk Islam.

Maka di sini ada sebuah pelajaran sebagaimana telah saya sebutkan; bahwa dakwah tanpa kekuatan hanya akan menjadi pecundang, dakwah ini wajib mencari kekuatan di bumi dan pelosok negeri. Makna ini tampak jelas di saat-saat seperti sekarang ini, sejak runtuhnya daulah Islam dan daulah khilafah serta bangkitnya aturan-aturan yang berhukum kepada selain yang diturunkan Alloh ~ yang itu pada hakekatnya adalah memerangi syari’at Alloh ~ meskipun banyak sekali terdapat universitas, sekolah, buku, para khatib, imam masjid dan orang-orang yang hafal Al-Qur’an, namun Islam tetap saja dalam kondisi lemah dan sangat memprihatinkan, sebab manusia tidak berjalan sesuai dengan manhaj Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam.

Maka manhajnya adalah yang nampak jelas dan terang di hadapan kita, yaitu beberapa kriteria pasti yang nampak gamblang tercantum pada nash syari’at yang turun terakhir kali, Alloh ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيم

“Hai orang-orang beriman, barangsiapa murtad dari agamanya di antara kalian, Alloh akan datangkan kaum yang Ia mencintai mereka dan merekapun mencintai Alloh; lunak terhadap orang-orang beriman, keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Alloh dan tidak pernah takut celaan orang yang suka mencela. Itulah keutamaan Alloh yang Ia berikan kepada siapa yang Ia kehendaki. Dan Alloh Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (Al-Maidah : 45)

Nash ini persis seperti kondisi kita :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa murtad dari agamanya di antara kalian…”

Ketika terjadi riddah, apa saja hal-hal yang harus dipenuhi guna mengembalikan manusia kepada Islam? Di sini Alloh menyebutkan enam sifat :

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Alloh mencintai mereka dan merekapun mencintai Alloh; lunak terhadap orang-orang beriman, keras terhadap orang-orang kafir.”

Maka, kita harus menyandang sifat-sifat berikut :

1. Rasa cinta yang tinggi kepada Alloh ta'ala.

2. Lunak dan kasih sayang kepada kaum mukminin.

3. Saling memberi nasehat kepada kebaikan dan hal yang makruf.

4. Keras kepada orang-orang kafir. Dan ini nampak secara jelas pada ikatan Islam terkuat yaitu ikatan Al-Wala’ wal Bara’ ; kita berwali kepada orang beriman dan memusuhi orang-orang kafir serta bersikap keras kepada mereka. [6]

5. Kemudian sifat kelima (sekaligus keenam, penerj.) adalah:

يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ

“…Mereka berjihad di jalan Alloh dan tidak pernah takut celaan orang yang suka mencela…”

Jadi, jihad fii sabiilillah dan tidak takut kepada celaan siapapun orang yang suka mencela, keduanya adalah sifat yang sangat urgen dalam rangka mengembalikan manusia kepada agama ini.

Maka orang-orang yang mengira bahwa mereka sanggup mengembalikan manusia kepada agama ini dan menegakkan daulan Islam setelah naungan Islam melemah dari permukaan bumi, mereka tidak faham akan manhaj Alloh ta'ala. Ayat ini menyatakan dengan sangat jelas dan tegas mengenai kondisi riddah, maka kecintaan dan perwalian harus jelas di hadapan manusia, demikian juga dengan bara’ (berlepas diri) dari kaum kuffarpun harus jelas, disertai dengan jihad di jalan Alloh dan tidak takut celaan orang yang suka mencela; ini mencakup nasehat dengan segala bentuknya, amar ma’ruf dan segala macamnya.

Jika kita bisa memenuhi enam kriteria di atas, kemudian kita wujudkan unsur-unsur yang berkaitan dengan kriteria tersebut, berarti kita telah mewujudkan sebuah pijakan yang kokoh untuk memulai sebuah perubahan dan jihad fii sabiilillah hingga kebenaran tegak.

Termasuk nash-nash yang semakna dengan ini, adalah sebuah hadits dari Rosul kita, Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam; hadits Al Harits Al Asy’ariy rodloyallohu 'anhu, dalam hadits ini, beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ أَمَرَ يَحْيَى بْنَ زَكَرِيَّا بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ يَعْمَلَ بِهَا وَيَأْمُرَ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ‏ أَنْ يَعْمَلُوْا بِهَا، وَإِنَّهُ كَادَ أَنْ يبطئَ بِهَا، فَقَالَ عِيْسَى: إِنَّ اللهَ أَمَرَكَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ لِتَعْمَلَ بِهَا وَتَأْمُرَ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ ‏أَنْ يَعْمَلُوْا بِهَا، فَإِمَّا أَنْ تَأْمُرَهُمْ وَإِمَّا أَنْ آمُرَهُمْ

“Sesungguhnya Alloh telah perintahkan Yahya bin Zakariya lima kalimat agar ia amalkan serta memerintahkan Bani Israil untuk mengamalkanya. Dan hampir saja beliau berlamban dalam melaksankannya, lalu Isa AS. berkata: Sesungguhnya Alloh memerintahkanmu dengan lima kalimat, agar kau amalkan dan agar Bani Israil juga mengamalkannya, silahkan; Anda yang memerintahkan mereka, atau aku yang akan memerintahkan mereka.”

Di sini terdapat sebuah makna cukup agung kaitannya dengan dien ini, yaitu bahwa Alloh ta'ala Maha Terpuji dan Maha tidak butuh kepada segalanya, sedangkan sunnah akan adanya pergantian tidak terkecualikan bagi siapapun. Inilah dia seorang nabi dari nabi-nabi Alloh yang lain, beliau sedikit terlambat dalam menyampaikan apa yang diperintahkan kepadanya, maka Alloh ta'ala pun mewahyukan kepada nabi yang lain, “…dia yang menyampaikan atau Anda yang menyampaikan…”

Lantas siapakah kita sehingga kita bisa berlambat-lambat dalam melaksanakan perintah Alloh ta'ala, melaksanakan perintah Rosul-Nya shollallohu 'alaihi wa sallam. Ingat, jika kita berlambat-lambat, sunnah adanya pergantianpun akan berlaku atas kita.

Kemudian Isa AS. berkata kepada Yahya:

‏إِنَّ اللهَ أَمَرَكَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ لِتَعْمَلَ بِهَا وَتَأْمُرَ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ أَنْ يَعْمَلُوْا بِهَا فَإِمَّا أَنْ تَأْمُرَهُمْ وَإِمَّا أَنْ آمُرَهُمْ، فَقَالَ يَحْيَى: أَخْشَى إِنْ سَبَقْتَنِيْ بِهَا أَنْ يخْسفَ بِيْ أَوْ أُعَذَّبَ، فَجَمَعَ النَّاسَ فِيْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ‏فَامْتَلأَََََ الْمَسْجِدُ وَتَعدوْا عَلَى الشَّرَفِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ أَمَرَنِيْ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ أَعْمَلَ بِهِنَّ وَآمُرُكُمْ أَنْ تَعْمَلُوْا بِهِنَّ؛ أَوَّلُهُنَّ أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَإِنَّ مَثَلَ مَنْ أَشْرَكَ بِاللهِ كَمَثَلِ رَجُلٍ اشْتَرَى عَبْدًا مِنْ خَالِصِ مَالِهِ بِذَهَبٍ أَوْ وَرَقٍ، فَقَالَ؛ هَذِهِ دَارِيْ وَهَذَا عَمَلِيْ فَاعْمَلْ وَأَدِّ إِلَيَّ، فَكَانَ يَعْمَلُ وَيُؤَدِّيْ إِلَى غَيْرِ سَيِّدِهِ، فَأَيُّكُمْ يَرْضَى أَنْ يَكُوْنَ عَبْدُهُ كَذَلِكَ، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِالصَّلاَةِ فَإِذَا صَلَّيْتُمْ فَلاَ تَلْتَفِتُوْا فَإِنَّ اللهَ ينْصِبُ وَجْهَهُ لِوَجْهِ عَبْدِهِ فِيْ صَلاَتِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ، وَآمُرُكُمْ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ فِيْ ‏عِصَابَةٍ ‏مَعَهُ صَرَّةٌ فِيْهَا مِسْكٌ فَكُلُّهُمْ يَعْجِبُ أَوْ يُعْجِبُهُ رِيْحُهَا، وَإِنَّ رِيْحَ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ، وَآمُرُكُمْ بِالصَّدَقَةِ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَسرَهُ الْعَدُوُّ فَأَوْثَقُوْا يَدَهُ إِلَى عُنُقِهِ وَقَدَّمُوْهُ لِيَضْرِبُوْا عُنُقَهُ، فَقَالَ؛ أَنَا أَفْدِيْهِ مِنْكُمْ بِالْقَلِيْلِ وَالْكَثِيْرِ فَفَدَى نَفْسَهُ مِنْهُمْ، وَآمُرُكُمْ أَنْ تَذْكُرُوا اللهَ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ خَرَجَ الْعَدُوَّ فِيْ أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِيْنٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْعَبْدُ لاَ يُحْرِزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلاَّ بِذِكْرِ اللهِ

Sesungguhnya Alloh telah perintahkan kepadamu lima kalimat agar engkau melaksanakanya dan engkau perintahkan Bani Israil untuk melaksanakannya. Silahkan, Anda yang memerintahkan atau saya yang akan memerintahkan.” Nabi Yahya menjawab. “Akau khawatir jika engkau mendahuluiku, aku akan ditenggelamkan atau akan diadzab.” Akhirnya beliau mengumpulkan orang di Baitul Muqaddas, masjidpun penuh sesak dengan manusia. Lalu Nabi Yahya duduk di tempat yang mulia, lantas beliau mengatakan, “Sesungguhnya Alloh telah perintahkan kepadaku lima kalimat, dan memerintahkan kepadaku agar kalian mengamalkannya; pertama, hendaklah kalian beribadah kepada Alloh dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Sesungguhnya perumpamaan orang yang menyekutukan Alloh itu seperti seorang yang membeli budak dari hartanya sendiri berupa emas atau uang, kemudian ia mengatakan, ‘Ini adalah rumahku, dan ini adalah pekerjaanku, maka bekerjalah kamu dan tunaikanlah hakku.’ Namun budak itu malah bekerja bukan untuk majikan itu. Maka siapa diantara kalian yang ridha jika budaknya berkelakuan seperti itu?

Kemudian, Alloh memerintahkan kalian untuk shalat, maka jika kalian shalat, jangan menoleh, sebab sesungguhnya Alloh telah hadapkan wajah-Nya ke wajah hamba-Nya dalam shalatnya selama ia tidak menoleh.

Dan aku perintahkan kalian untuk berpuasa. Sebab perumpamaan orang tersebut ibarat seseorang yang berada di tengah sebuah kelompok, ia membawa sebuah bungkusan berisi misik. Maka semua merasa takjub kepadanya atau takjub kepada aromanya. Dan sesungguhnya bau orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Alloh daripada aroma misik.

Dan aku perintahkan kalian untuk bersedekah, sebab perumpamaan orang seperti itu ibarat seorang lelaki yang ditawan musuh, lalu mereka ikat tangannya pada lehernya, kemudian mereka memancangnya untuk dipenggal lehernya. Kemudian ia berkata, ‘Aku akan menebusnya dengan sedikit atau banyak.’ Akhirnya ia menebus nyawanya dari mereka.

Dan aku perintahkan kepada kalian untuk berdzikir kepada Alloh. Sebab perumpamaan hal itu seperti seseorang yang musuh keluar untuk mengejar jejaknya dengan cepat, hingga ia mendatangi sebuah benteng milik seseorang, kemudian pemilik benteng itu melindunginya dari musuh tersebut. Demikian juga, tidak ada yang bisa melindungi dirinya dari syetan selain dzikrullah.”

Setelah itu, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memberikan keterangan tambahan, beliau bersabda, “Dan aku perintahkan kalian dengan lima hal yang Alloh telah perintahkan aku dengannya: Mendengar dan taat, Jihad, Hijrah dan Jama’ah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Yang menjadi keterangan di sini adalah bahwa kelima hal pertama yaitu rukun-rukun Islam (yang disebutkan Nabi Yahya, ed.), itu tidak akan tegak layaknya tegaknya sebuah pemerintahan sebagai manhaj bagi manusia kecuali melengkapinya dengan lima hal yang terakhir disebutkan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana tidak mungkin seseorang menjadi muslim dalam fisik dan hatinya sementara ia masih berhukum dengan undang-undang positif (Al-Qawanin Al-Wadh’iyyah), dengan begitu Islam tidak akan merata di muka bumi. Sedangkan Islam yang diturunkan kepada Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam yang beliau diperintahkan untuk menyampaikannya adalah Islam yang akan merata di muka bumi dan dijadikan sebagai sebuah aturan, bukan yang hanya sebagai syi’ar-syi’ar ta’abbudiyyah saja[7], maka kelima hal ini harus ada. Kelima hal ini, jika kita mau sadar, ia bersesuaian dan menguatkan makna yang terdapat di dalam dakwah beliau shollallohu 'alaihi wa sallam kepada kabilah Arab:

1. Hendaknya kalian bersaksi bahwa tiada ilah (yang haq) selain Alloh berikut konsekuensi dari persaksian tersebut,[8]

2. Hendaknya kalian menyediakan tempat dan menolongku.

Jadi, penyediaan tempat dan pertolongan itu berjalan seiring dengan kelima hal ini. Maka, penyediaan tempat dan pertolongan harus melalui media jama’ah, harus ada sikap mendengar dan taat, harus dengan jihad, harus dengan hijrah. Dan jika kita mau meneliti kembali nash-nash kitabullah dan dalam sunnah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam kita akan temukan makna-makna seperti ini dengan jelas, ke mana pun arahnya, ada kesan kuat yang muncul bahwa jalan untuk menegakkan daulah Islamiyah dan menyebarluaskan ajaran Islam adalah:

1. Berangkat dari bingkai jama’ah.

2. Harus ada sikap mendengar dan taat.

3. Harus ada hijrah dan jihad.

Sementara orang yang ingin menegakkan satu kondisi baru bagi Islam tanpa mau pengorbanan berupa hijrah, tanpa mau berkorban jihad fii sabiilillah, maka mereka sebenarnya tidak memahami manhaj Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam. Kalaulah mereka faham, pada dasarnya mereka tidak mengamalkannya karena menyibukkan diri dengan bentuk amal ketaatan lain. Jadi, boleh dibilang mereka lari dari beban ibadah-ibadah berat ini, sebab sesungguhnya jihad memang sesuatu yang tidak disenangi, sebagaimana yang Alloh ta'ala nashkan dalam kitab-Nya. Dari yang sudah diterangkan, jelaslah akan pentingnya sebuah jama’ah dan pentingnya jihad.

Namun, kita sekarang dalam kondisi tidak memiliki sebuah negara yang memungkinkan kita untuk hijrah ke sana, dan sungguh kesempatan seperti ini teramat minim, ini adalah kesempatan yang amat jarang didapati. Sejak runtuhnya khilafah, kaum salibis berusaha kuat agar jangan sampai orang-orang Islam yang jujur keislamannya menegakkan sebuah negara. Ternyata Alloh ta'ala menakdirkan munculnya berbagai peristiwa yang terjadi di Afghanistan, dan Uni Sovietpun kalah. Orang-orang salibpun dibuat ‘down’ dari keinginan kuat mereka semula dan dari kosentrasi mereka di bawah momok dan ketakutan mereka terhadap negara Uni Soviet. Maka di sana mau tidak mau mereka harus melawan Uni Soviet dengan berbagai cara, walaupun harus dengan mengorbankan mujahidin, walaupun dengan mengorbankan orang-orang ‘ekstrimis’, walaupun dengan mengorbankan pemuda Islam mujahid, akhirnya mereka sendiri yang membuka pintu itu, dan perangpun berlangsung hingga sepuluh tahun lebih.

Namun yang betul-betul menyedihkan, umat ini tetap tidak mau bangkit melaksanakan kewajiban yang semestinya mereka lakukan, terkhusus kalangan para ulama, da’i, khotib serta jama’ah-jama’ah Islam. Yang mau datang ke bumi jihad untuk membantu para mujahidin hanya beberapa pemuda dari umat ini beserta harta yang diberikan oleh sebagian pedagang, namun itu belumlah cukup untuk menegakkan sebuah daulah yang kokoh.

Padahal saat itu adalah kesempatan yang sangat baik untuk menegakkan kembali daulah Islam yang solid, yang jauh dari fanatisme negara dan suku. Padahal juga, ikhwan-ikhwan kita di Afghan saat itu dalam kondisi, kelapangan dan bantuan yang luar biasa, kondisi saat itu benar-benar memberikan kesempatan emas untuk menegakkan daulah Islam dengan norma-norma Islam, bukan dengan norma-norma negara dan golongan. Sungguh mengenaskan, meski kondisi sedemikian lapang, seruan yang dikumandangkan berkali-kali, adanya dorongan dan motivasi, terlebih dari Syaikh Abdullah ‘Azzam rohimahulloh [9] (kala itu) dan dari ikhwah lainnya yang ditujukan kepada jama’ah-jama’ah, para ulama dan para intelektualnya untuk; ‘Manfaatkan kesempatan emas ini!’ Tetapi, tak ada kehidupan dari orang yang memanggil, manusia terlanjur disibukkan dan diseret oleh nilai-nilai duniawi, oleh nilai-nilai negeri, dan masing-masing menginginkan untuk menegakkan sendiri negara Islam. Masing-masing jama’ah ingin menegakkan daulah Islam di tanah di mana ia lahir. Seolah kita sekarang menjadi tawanan dari pola pikir-pola pikir seperti ini. Akhirnya, kesempatan ini berlalu begitu saja selama sepuluh tahun lebih sementara manusia tidak bergerak untuk memanfaatkannya. Saya sengaja ingatkan hal itu, karena ingin saya tegaskan bahwa urusan ini bukan main-main. Sekarang, kondisi makin sulit.

Setelah itu, Alloh ta'ala memudahkan di antara dua kesempatan tadi dengan tegaknya daulah para santri dan tegaknya negara Tholiban serta menakdirkan adanya perseteruan internal antar bangsa Afghan sendiri. Ini berlangsung selama kurang lebih enam tahun. Lagi-lagi, manusia menjadi tawanan dari hawa nafsu mereka, menjadi tawanan dari propaganda global yang justru mengumumkan perang bukan memberikan solusi di dalamnya terhadap Tholiban, mereka juga memperburuk citra tentang mereka. Dan propaganda global ini, terkadang berefek buruk atau membawa dampak kurang baik bagi orang awam. Sedangkan selain orang yang menerima propaganda ini, hendaknya mereka menjadi ‘juru kampanye’ serta menjadi orang-orang yang berada di garis depan untuk menolong dien ini di hadapan semua manusia, tanpa mau mengatakan bahwa kami juga ikut terpengaruh oleh propaganda global ini, mengenai Afghanistan yang tampil beberapa saat di Jazirah Arab misalnya, atau di berbagai tempat di belahan bumi ini.

Maka, sikap lamban dalam membantu daulah Islam ini, meskipun namanya adalah daulah Tholiban; daulah para penuntut ilmu, merupakan isyarat akan adanya cacat yang tidak wajar, baik dalam pemahaman maupun dalam kejujuran mereka dan …laa haula walaa quwwata illa billah, itu menurut kami, Wallahu a’lam. Lalu lenyap pulalah daulah ini tanpa mereka bergerak sedikitpun, diam saja.

Dan saya katakan, bahwa saya dalam kondisi yakin atas karunia Alloh ta'ala, bahwa ummat ini memiliki kekuatan yang cukup untuk menegakkan daulah Islamiyah dan menegakkan khilafah Islamiyah. Hanya, kita memang butuh menyampaikan kepada kekuatan ini bahwa urusan ini adalah wajib mereka laksanakan. Kita juga perlu untuk menyampaikan kepada kekuatan-kekuatan lain yang masih saja membelenggu kekuatan ini; bahwa kalian berdosa dengan sikap kalian membelenggu kekuatan ini. Jika para pemuda dan para ‘bussinesman’ faham akan kewajiban mereka, barulah kita mungkin untuk melaksanakan kepentingan kita, sehingga dosapun bisa terhapuskan dari ummat Islam yang lain. Juga, nantinya akan hilang kesempitan dan gangguan yang menimpa kita.

Kami ingin mengingatkan kepada orang-orang yang mengatakan bahwa jihad itu tidak membutuhkan semua personal ummat ini, bahwa kalimat ini benar adanya namun tidak ditujukan untuk makna yang benar. Memang, jihad hari ini tidak mungkin akan mencakup seluruh ummat, sedangkan mengusir musuh yang menyerang (daf’us sho-il) akan rampung hanya dengan sekelompok kecil dari ummat ini. Ini benar. Tetapi, hukum jihad (hari ini, penerj.) tetaplah fardhu ‘ain. Dan mereka bersilang pendapat dengan kami dalam hukum ini. Mereka mengatakan, Kami telah kirim buat kalian beberapa ribu personal, ternyata kalian tidak mampu menampung mereka! Mereka mengatakan, Tidak masuk akal kalau kita tinggalkan semua bidang amal Islami lantas kita semua pergi ke medan jihad! Nah, dari sinilah tampak jelas adanya polusi zaman sekarang, yaitu polusi materi, polusi menonjolkan akal. Ini adalah hukum-hukum yang menjadi ijma’ para fuqaha di kalangan salaful ummah ~rohimahullah~ [10] Dan hari ini, muncul para fuqaha yang menentang ijma’ umat. Jika jihad sudah menjadi fardhu ‘ain[11], maka ia menjadi prioritas pertama yang harus didahulukan tanpa diragukan lagi sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam[12]; ketika ada musuh yang menyerang, tidak ada yang lebih wajib setelah iman selain mengusirnya.

Maka tidak ada alasan, engkau mengatakan, jika mereka pergi semua, tidak mungkin semuanya akan kebagian jihad! ini adalah buah dari cacat yang tidak wajar dalam pemahaman tadi, dan ini pulalah hasil dari terlalu toleransi terhadap duni yang tak sewajarnya. Urusan jihad ini bila sudah menjadi fardhu ‘ain, apakah hanya dengan datangnya beberapa gelintir yang cukup untuk mengusir musuh, maka secara tiba-tiba jihad menjadi fardhu kifayah? Lalu tinggal diamlah orang yang tidak ikut yang berada di daerah-daerah perbatasan mereka. Dan dengan alasan kondisi terpaksa, terbayarlah sudah dengan gerakan sebagian orang ini.

Menyedihkan, inilah yang menjadi sebab terhambatnya kebangkitan Islam, dan ini pulalah yang terlihat dalam tulisan-tulisan, risalah-risalah dan forum-forum pertemuan mereka.

Mereka juga mengatakan, sesungguhnya jihad adalah ibadah yang agung…tapi, kan di sana ada ibadah-ibadah lain.

Mereka tidak memahami manhaj Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam, saya telah sebutkan dalam kisah Ka’ab bin Malik ra mengenai pelajaran-pelajaran serta ibrah-ibrah di atas. Ketika Ka’ab duduk dan tinggal di Madinah, ia juga melaksanakan banyak ketaatan padahal ia berada di kota Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, sementara dalam sebuah hadits dari Nabi disebutkan bahwa menuntut ilmu di masjid beliau (masjid Nabawi, penerj.) seperti jihad fii sabiilillah[13] , namun bersamaan dengan semua itu, juga dengan kedinian Ka’ab masuk Islam, belum lagi ia termasuk orang yang ikut dalam Bai’at ‘Aqabah ~tahukan Anda, apa Bai’ah Aqabah itu? Dari sanalah cikal bakal sebuah jama’ah Islam untuk nantinya menegakkan daulah Islam~, bersamaan dengan itu, tidak pernah disinggung darinya satupun dari semua sifat ini. Sebab, ketika jihad sudah menjadi Fardhu ‘ain, tidak ada lagi tempat dari pelaksanaan ketaatan lain untuk disebut-sebut. Yang disebut hanya lawan kata dari jihad; duduk-duduk saja, celaan dan cercaan. Tidak juga dikatakan, “Semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan atas tinggalnya ia di Madinah. Aduhai betapa jasa dia, dia shalat di tanah haram, atau di bersedekah dan memberikan pelajaran!” berdasarkan nash Al-Qur’an, kata-kata ini tidak diucapkan,

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Alloh dan Rosul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Alloh mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah : 24)

Seandainya Anda mau meneliti nash-nash yang menyebutkan sifat-sifat para Qa’iduun (orang yang tidak berangkat berjihad, penerj.) akan Anda temukan makna ini datang dalam bentuk mutawatir pada umat kita dan pada umat-umat terdahulu. Lihat saja kaum Musa, ketika mereka berlambat-lambat dari jihad, Alloh ta'ala mensifati mereka dengan gelar fasik,

قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ

“Berkata Musa: “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” (QS. Al-Maidah : 25)

Demikian juga ketika kita meneliti tentang orang-orang yang tidak ikut dalam perang Tabuk, Alloh ta'ala memberikan gelar kefasikan kepada mereka.

Adapun hari ini, di sana terdapat cacat dalam methode menjaga agama ini, juga dalam memberdayakan berbagai kekuatann yang ada untuk membela agama ini. Hari ini, orang yang hanya duduk tidak ikut andil dalam membela agama tidak merasa berdosa, bahkan ia merasa berada dalam ketaatan serta menjelek-jelekkan orang yang tidak melakukan ketaatan seperti yang ia lakukan, ia juga mencela orang yang terlalu ‘rukun’ dengan duni. Sekarang, siapa sebenarnya yang layak mendapat ancaman?

Seorang sahabat Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam saja mendapat ancaman bertubi-tubi

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, apa sebabnya…”

Ini adalah celaan…

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيل

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Alloh” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah : 38)

Adakah yang berani dari kita hari ini untuk mengatakan kepada ayahnya, pamannya atau syaikhnya, “Engkau sudah ridlo dengan kehidupan dunia?! Lihat Palestina! Telah dijajah Yahudi sejak 80 tahun silam, tapi belum pernah satu butir pelurupun engkau tembakkan! Tidak pernah pada suatu hari, kakimu berlumuran debu! Berarti engkau termasuk orang yang ridlo dengan kehidupan dunia!”

Tidak ada seorangpun yang mampu mengatakan itu. Di sana ada cacat mewabah yang mengenai pemahaman kebangkitan Islam seputar metode untuk menjaga agama ini. Dan ayat-ayat sebagaimana saya sebutkan kalau kita mau teliti teramat banyak.

Sementara itu, para pemuda yang memiliki kemampuan untuk menjadi tumbal bagi agama ini dan memiliki kemampuan untuk berkorban demi agama ini amat disayangkan, mereka keliru dalam hal mendengar dan taat kepada para ulama Islam yang tidak berjihad (baca: Qa’iduun). Orang yang duduk-duduk saja, tidak layak didengar dan ditaati. Dari sinilah, kekuatan ini terus mandek. Para ulama tadi telah memalingkan mereka dari hal yang hukumnya wajib ‘ain kepada hal yang hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu, seandainya semua orang menjadi ulama, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan jama’ah, mendengar, taat, pembelaan dan jihad.

Dari sini, kita perlu memahamkan para pemuda (Islam) bahwa para pembimbing mereka di bidang ilmu (para ulama' yang mereka jadikan ustadz) sebenarnya telah senang dengan dunia, karena mereka lari dari sebuah kewajiban berat yang sebagian sahabat Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam sempat mengeluh, dan Alloh ta'ala menerangkan hal itu dengan firman-Nya,

كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ

“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (QS. Al-Anfal: 5)

Para sahabat rodliyallohu 'anhum ketika mereka keluar menuju Badar, hanya ingin merampas kafilah unta untuk dagang. Tatkala sampai berita kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah keluar dengan 1000 pasukan, sebagian mereka merasa tidak menyukainya, maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda ~sebagaimana diriwayatkan Abu Ayyub~,

أَشِيْرُوْا عَلَيَّ أَيُّهَا النَّاسُ؟

“Berikan pertimbangan kepadaku wahai manusia.”,

Abu Ayyub mengatakan lagi,

أَظْهَرْنَا كُرْهَنَا لِلِقَاءِ الْعَدُوِّ

”Kamipun menyampaikan ketidak senangan kami untuk berperang dengan musuh.”

Kamipun mengatakan,

يَارَسُوْلَ اللهِ مَا خَرَجْنَا لِقِتَالِ عَدُوٍّ وَلاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِمْ, وَإِنَّمَا خَرَجْنَا لِلْعِيْرِ

“Wahai Rosululloh, kita keluar bukan untuk memerangi musuh, kita tidak mampu menghadapi mereka, kita keluar tidak lain adalah untuk mencegah kafilah.”

Beliau bersabda lagi,

أَشِيْرُوْا عَلَيَّ أَيُّهَا النَّاسُ؟

“Berilah masukan kepadaku wahai manusia.”

Kamipun mengulangi jawaban kami, beliaupun bersabda,

أَشِيْرُوْا عَلَيَّ أَيُّهَا النَّاسُ؟

“Berilah masukan kepadaku wahai manusia.”

Akhirnya, Miqdad bin ‘Amru rodliyallohu 'anhu angkat bicara,

يَا رَسُوْلَ اللهِ! إِذاً لاَ نَقُوْلُ لَكَ كَمَا قَالَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَم {فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ}

“Ya Rosululloh! Kalau begitu kami tidak akan mengatakan sebagaimana yang dikatakan Bani Israil kepada Musa: “Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (QS. Al-Maidah : 24),

وَلَكِنْ نَقُوْلُ لَكَ؛ اِذْهَبْ أَنْتَ وَرُبُّكَ فَقَاتِلاَ فَإِنَّا مَعَكُمْ مُقَاتِلُوْنَ، وَاللهِ لَنُقَاتِلَنَّ عَنْ يَمِيْنِكَ وَعَنْ يَسَارِكَ وَمِنْ بَيْنِ يَدَيْكَ وَمِنْ خَلْفِكَ

…tapi, kami katakan, pergilah Engkau bersama Rabb-mu, berperanglah Engkau berdua, sesungguhnya kami menyertai Engkau berperang. Demi Alloh, kami akan berperang dari arah kanan kirimu, dari arah depan dan belakangmu.”

Jika para sahabat yang mulia, yang mereka hidup iklim perang dan jihad; peperangan antara Aus dan Khozroj telah banyak menyita energi mereka dan itu berlangsung sejak puluhan tahun, dan Islam datang sementara mereka berada dalam gilingan-gilingan pertama kali dan tidak ada yang, sedangkan membunuh bagi suku Aus dan Khozroj bukan hal yang besar di masa jahiliyah, dan Islam datang untuk menyemangati mereka dalam hal itu dengan jihad. Maka bagaimana dengan kita hari ini, di mana hati semuanya ~selain yang dirahmai Alloh~ berbaur dan merasa nyaman untuk duduk dari membela agama Alloh?

Para pemuda harus difahamkan bahwa di sana terdapat cacat besar, dan bahwa merekapun harus kita sifati dengan sifat yang Alloh ta'ala gunakan, bahwa siapapun orang yang duduk dari berjihad tanpa udzur, Alloh mensifatinya dengan terang dan jelas bahwa dia adalah fasik.

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ

“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Alloh tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Alloh melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: ”Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (QS. At-Taubah : 46)

Mereka yang ridha dengan duduk-duduk saja bersama orang-orang yang tidak berangkat berperang; mereka tidaklah faham, meskipun mereka telah ambil ijazah sebesar apapun dari Universitas paling ternama sekalipun. Mereka sebenarnya tidaklah mengerti meskipun setiap pertanyaan dan fatwa ditujukan kepada kepadanya. Inilah nash Kitabullah, Alloh ta'ala berfirman,

رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ

“Mereka rela tinggal bersama orang-orang yang tidak berangkat (berperang)…”

Ini adalah celaan sangat keras sekali bagi orang yang masih memiliki hati, memasang pendengarannya dari dia masih bisa melihat.

Kata-kata [ رَضُوا ] , inilah letak celaan itu,

رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ

“Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad).”

Seorang Mufti negara, yang telah menulus berbagai buku, karya rulis dan karangan yang banyak itu sebenarnya mereka bukanlah orang yang faqih, sebab ilmu itu buahnya adala rasa khasyah kepada Alloh ta'ala. Berkata Ummu Sufyan ~semoga Alloh merahmatinya~ : “Wahai orang alim!” ia menjawab, “Orang Alim tak lain adalah yang takut kepada Alloh.”[14] Jadi, banyaknya ilmu itu bukanlah dengan banyaknya periwayatan, tetapi banyaknya ilmu itu adalah maksimalnya beribadah kepada Alloh sesuai dengan yang diturunkan Alloh ta'ala, serta takut dan bertaqwa kepada-Nya.

Alloh ta'ala juga berfirman dalam ayat lain setelah ayat di atas beberapa ayat :

رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ

“Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad).”

Seandainya mereka faham, dan keyakinan itu kuat menancap dalam hati mereka bahwa apa yang di sisi Alloh ta'ala lebih baik daripada dunia ini, tentu mereka tidak kan terlalu cenderung kepadanya dan tidak akan bertoleransi. Dan tentu mereka akan segera melangkah serta berlomba dalam kebaikan itu, karena ingin meraih keridhaan Alloh ta'ala.

Maka saya katakan, hendaknya pemahaman-pemahaman semacam ini diterangkan kepada para pemuda, hendaknya belenggu-belenggu yang mengikat mereka dari semua itu diurai.

Inilah dia ikhwan kita, Abul ‘Abbas[15], contoh sebuah potensi yang luar biasa besar ~dan yang seperti dia banyak sekali sosoknya di negeri kita maupun di negeri-negeri Islam, namun kekuatan itu terbelenggu~ tapi Alloh telah berikan manfaat darinya, ia keluar dan melepaskan diri dari belenggu yang melilitnya. Ketika ia datang kemari, ia menyaksikan urusan dengan sebenarnya, dan ia membawakan wasiat yang begitu mendalam untuk menyadarkan manusia dari kesamaran itu. Ia berkata: “Tholabul ilmi yang kalian jalani, adalah sesuatu yang besar, dan ini adalah kebaikan besar, semoga Alloh membalas kalian dengan yang lebih baik. Adapun jika jihad sudah menjadi fardhu ‘ain, maka di sana tidak ada yang berhak mencampurinya sesuatupun. Syaikhul Islam rohimahulloh. berkata, “Jika beberapa kewajiban berkumpul menjadi satu, maka didahulukan yang terkuat.” Maka manusia ~terutama para anggota gerakan kebangkitan Islam ini~ dalam diri mereka terdapat kebaikan besar dan kekuatan dahsyat, dan mereka siap untuk berkorban, tetapi yang penting hendaknya dihilangkan dahulu dari mereka ‘biawak’ satu ini, hendakanya kepekatan ini dihilangkan dulu dari mereka.

Di antara nash lain yang mesti kita jadikan panutan dalam kondisi seperti ini adalah:

Hadits Hudzaifah rodliyallohu 'anhu dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam ketika beliau menggambarkan sebuah kondisi yang mirip dengan kondisi kita saat ini, ia mengatakan,

‏كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ - مَخَافَةً أَنْ يُدْرِكَنِي - فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا كُنَّا فِيْ جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَفِيْهِ دُخْنٌ، قُلْتُ: وَمَا دُخْنُهُ؟ قَالَ: قَوْمٌ يَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِيْ تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ، قُلْتُ: فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا

“Orang-orang menanyakan kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku menanyakan kepada beliau tentang kejelekan ~karena khawatir akan menjumpaiku[16] ~kukatakan, “Wahai Rosululloh, dulu kami berada dlam kejahiliyahan dan keburukan kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini?” beliau menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Setelah kejelekan itu, adakah kebaikan lagi?” beliau menjawab, “Ya, dan di sana ada kabut.” Aku bertanya, “Apakah kabutnya?” beliau bersabda, “Satu kaum yang mengambil petunjuk selain petunjukku, engkau mengetahui hal itu dari mereka sementara kalian mengingkarinya.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan lagi?” beliau menjawab, “Ya, mereka adalah para penyeru di atas pintu-pintu jahannam, siapa menyambut seruan mereka, mereka akan lempar ia ke dalamnya.” (Muttafaq ‘Alaih)[17]

Kondisi seperti ini sebagaimana yang Anda perhatikan, bahwa dunia Islam kini telah menyebar di dalamnya keburukan besar, yaitu bahwa para penguasa yang menyeru manusia kepada jahannam. Hal itu nampak jelas pada para penguasa berbagai negara ~para penguasa dunia Arab dan dunia Islam~, dalam media informasinya, dan dalam berbagai media dan perusak yang mereka miliki. Mereka menyeru manusia melalui berbagai pemikiran destruktif serta membangun berbagai perundang-undangan positif dan perundangan produk akal. Mereka menyeru manusia, (tidak pagi tidak sore), menuju pintu-pintu jahannam ~Wa laa haula wala quwwata illa billah~. Kekufuran kepada Alloh dan Rosul-Nya shollallohu 'alaihi wa sallam terpampang dalam tayangan dan bergaung pada koran-koran dan televisi, pada radio dan siaran-siaran, sementara tidak ada seorangpun yang mengingkarinya, maka merekalah para pemimpin yang menyeru manusia kepada neraka jahannam.

Lantas, apa solusinya ketika terjadi seperti itu?

Ini seorang sahabat besar ra, ia pernah bertanya ketika ia sampai kepada keadaan separah ini, ia mengatakan, “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan?” Beliau menjawab,

نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا

“Ya, para penyeru di atas pintu jahannam, siapa menyambut seruan itu, mereka akan lemparkan ia ke dalamnya.”

Lalu sahabat ini bertanya lagi, “Apa yang kau perintahkan kepadaku seandainya aku menemui hal itu?”

Ini adalah kata-kata yang jelas, terang dan tegas, ia bertanya tentang solusi ketika menghadapi kondisi seperti ini yang mana kitalah yang hidup di zaman seperti ini sekarang, ia bertanya, “Apa yang kau perintahkan kepadaku seandainya aku menemui hal itu?” Maka beliaupun memerintahkan kepadanya satu hal saja yang mesti didahulukan di atas semua kewajiban lain setelah iman, Hudzaifah bertanya, “Apa yang kau perintahkan kepadaku seandainya aku menemui hal itu?” beliau menjawab,

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ

“Hendaknya engkau lazimi jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.”

Kewajiban besar ini yang merupakan kewajiban yang saat ini tidak pernah mendapatkan tempat di antara para ulama dan mereka tidak pernah membahasnya, tetapi masing-masing mereka malah sibuk ~selain yang dirahmati Alloh~ dengan sambutan dan pujian terhadap para pemimpin thaghut yang kafir kepada Alloh dan Rosul-Nya, mereka kufur kepada Alloh dan Rosul-Nya dalam artikel dan berita-berita mereka serta berbagai telegrap lain dari para penguasa yang kufur itu kepada para ulama yang berisi pujian kepada mereka, dan mereka telah tipu ummat dengan itu!

Umat ini belum pernah ditimpa ujian yang menimpa mereka hari ini. Dulu memang terjadi penyakit ini, namun sifatnya hanya sebagian. Sedangkan cacat yang terjadi hari ini maka telah terjadi pada manusia umumnya bersamaan dengan kemajuan informasi. Informasi telah merambah ke semua rumah, maka ini adalah fitnah yang tidak ada satu rumah di kota maupun pelosok yang selamat darinya, tidak ada seorangpun yang selamat darinya. Zaman dahulu, orang alim berbuat keteledoran dan kekeliruannya ini hanya berada di satu daerah tertentu. Seorang amir dan pemimpin berbuat jahat, tetapi kejahatannya hanya terbatas di dalam istana. Adapun ketika kebanyakan orang kini menjadi tawanan bagi profesi mereka padahal itu semua untuk thaghut, maka ini belum pernah terjadi sama sekali dalam sejarah Islam.

Dan setiap kali terjadi pembusukan, setiap kali terjadi ketidak-dekatan dari agama Alloh, maka secara otomatis akan terjadi sesuatu dalam agama ini juga pada manhajnya yang lurus dan komprehensif, yaitu akan ada orang lain yang meluruskan jalan dan berkorban dengan diri mereka. Namun tidak akan pernah terjadi, semua ummat ini, atau para fuqaha’nya, atau para ulama’nya akan menjadi tawanan profesi dari thaghut-thaghut itu!

Salah seorang dari mereka pernah bercerita kepadaku, katanya, “Kami tidak bisa menyuarakan kebenaran, karena jika kami ingin menyuarakan kebenaran, kami terpikir tentang anak-anak yang berada di rumah, isteri-isteri kami, ke mana mereka akan pergi? Ke mana kami akan pergi?

Maka sudah selayaknya bagi para pemuda untuk memahami tabiat keterkaitan hari ini antara pegawai negeri dengan penguasanya, dan siapa saja yang menjadi pegawai negara, maka tetap saja ia pegawai negara. Maka tidak selayaknya para pemuda itu marah ketika kami katakan, sesungguhnya Syaikh Fulan adalah pegawai negara.

Kita, jika membuat sebuah formulir, atau sebuah sektor yang meminta membuat formulir untuk orang, dalam formulir ini tercantum nama, umur, dan status sosial serta profesi, ‘Apakah Anda pegawai negeri?’ Atau pengusaha swasta, sebagaimana dalam istilah kita, atau pedagang? Atau tidak punya pekerjaan, atau pengangguran? Maka apa yang kira-kira akan ditulis oleh orang yang menjadi pegawai negeri? Seorang direktur akan menulis, ‘Saya adalah pegawai negeri, saya adalah pegawai pemerintah.’ Seorang polisi akan mengatakan, saya adalah pegawai pemerintah. Para hakim akan mengatakan, kami adalah pegawai pemerintah.

Ada ketidakberesan di dalam pemahaman para pemuda, ketika kami memberikan sebut mereka-mereka di atas dengan sebutan apa adanya; bahwa mereka adalah para pegawai pemerintahan, kau akan lihat para pemuda itu marah.

Ini adalah kesalahan yang menggelikan, ini adalah dualisme menakjubkan! Anda tidak bersedia kami nisbatkan mereka kepada para penguasa thaghut itu, padahal inilah titel dan hakikat mereka sebenarnya.

Jadi sebenarnya, solusinya sudah sangat sangat jelas di dalam Kitabullah dan sunnah Rosul-Nya, inilah perkara-perkara besar itu:

1. Solusinya adalah berkumpul untuk berjihad.

2. Solusinya adalah dengan berjama’ah, mendengar dan taat serta berjihad.

3. Solusinya adalah melazimi Jama’atul Muslimin dan imam mereka.

Untuk Jama’atul Muslimin dan imam mereka, pertama yang wajib mereka lakukan adalah: mengusir orang-orang kafir dan mengusir musuh yang menyerang. Alloh ta'ala berfirman,

فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَاللَّهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَأَشَدُّ تَنْكِيلًا

“Maka berperanglah kamu pada jalan Alloh, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mu’min (untuk berperang). Mudah-mudahan Alloh menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Alloh amat besar kekuatan dan amat keras siksaan (Nya).” (QS. An-Nisa’ : 84)

…maka, melawan kekuatan orang-orang kafir adalah dengan cara:

1. mengobarkan semangat (orang-orang beriman).

2. perang.

Kenapa orang tidak mau mengambil petunjuk ini? Sebab di atas jalannya terdapat para penyeru kepada pintu-pintu jahannam:

1. Para penguasa berikut perangkat yang mereka miliki di waktu malam dan siang, yang memalingkan mereka dari jalan lurus.

2. Para pegawai pemerintahan, sebagian mereka secara pribadi bekerja memalingkan dari agama Alloh.

Negara mempekerjakan mereka dengan titel beragam, namun hakikat dari pekerjaan mereka adalah pegawai yang memberi kesaksian palsu (baca : Syahadatuz Zur).



Menteri Penerangan misalnya, tugas utamanya adalah mengeluarkan kesaksian palsu. Dia berikut seluruh stafnya. Setiap hari mereka kibuli manusia. Dan tampaklah bahwa negara ini adalah negara paling maju, dan bahwa penguasanya adalah jenius tidak ada bandingannya, dan coba Anda bandingkan hal itu!!

Demikian juga dengan Menteri Pertahanan, ia menipu orang dan memberikan kesaksian-kesaksian palsu, katanya, “Kita baik-baik saja. Angkatan bersenjata kita baik-baik saja.” Padahal sedang berada di bawah kungkungan penjajahan sejak zaman dahulu! Semua penduduk dunia mengerti bahwa kita berada di bawah belenggu penjajahan, juga bahwa pesawat-pesawat Amerika akan keluar kapan ia mau tanpa memberitahu seorangpun, malam ataupun siang. Lalu keluarlah Menteri Pertahanan mengatakan, “Kita adalah bangsa merdeka, tidak ada seorangpun yang bisa mengeksploitasi tanah-tanah kita tanpa seizin kita.” Maka merekalah orang-orang yang memberikan kesaksian palsu.

Dengan karunia Alloh, muncul kesadaran yang menyebar dalam periode terakhir di kalangan manusia, mereka kini mengerti bahwa mereka memang para budak pemerintahan.

Tetapi, bahaya yang datang kepada kita bukanlah dari Menteri Dalam Negeri atau dari para anggotanya. Mereka meskipun melakukan hal itu, tetap tidak bisa mengkaburkan pandangan orang. Bahaya dari penipuan mereka tersingkap dan sudah maklum di kalangan masyarakat awam, bahwa mereka membohongi dan menipu mereka. Tetapi bahaya yang besar adalah ketika dusta dan tipuan itu muncul dari para imam agama yang mereka tidak bertakwa kepada Alloh ta'ala, mereka memberikan kesaksian palsu tiap pagi dan sore menyesatkan umat.[18]

Bagaimana jika kesaksian palsu itu terjadi di Baitul Haram? Di Mekkah Al-Mukarramah di samping Ka’bah yang mulia? Terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi kita shollallohu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

‏أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللهِ ثَلاَثَةٌ

“Orang yang paling dimurkai Alloh ada tiga,

… maka beliau menyebutkan yang pertama adalah:

مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ

orang yang berbuat jahat di tanah haram.

Demikian sebagaimana disebutkan dalam Shohih Al Bukhori rahimahulloh. Maka ini merupakan termasuk bentuk ilhad (kejahatan) terbesar di tanah haram; ketika engkau mengeluarkan sebuah kesaksian palsu yang menyesatkan ummat hanya lantaran beberapa keping dirham yang kau ambil setiap akhir bulan. Maka tidak ada seorangpun yang menyangkal akan kufurnya para penguasa tersebut, akan kejahatan mereka, akan pembolehan negeri mereka dijajah, akan kejahatan mereka, akan pembolehan negeri mereka dijajah, akan perusakan mereka kepada para hamba. Kemudian Anda melakukan sebuah kesaksian palsu di tempat yang begitu agung itu; di Baitul Haram dan di bulan Haram ! Walaa haula wala quwwata illa billah…

Padahal Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah bersabda,

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟!

“Maukah kalian kutunjukkan dosa yang paling besar?!

Lalu beliau shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

الشِّرْكُ بِاللهِ -عَافَانَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الشِّرْكِ- وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ -وَكَانَ مُتَّكِئاً فَجَلَسَ فَقَالَ- أَلاَ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ, أَلاَ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ, أَلاَ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ))، فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قَالَ الصَّحَابِيّ: (حَتَّى قُلْنَا؛ لَيْتَهُ سَكَتَ)

Syirik kepada Alloh ~semoga Alloh selamatkan kita semua dari syirik~, durhaka kepada kedua orang tua, ~saat itu beliau bersandar, lantas bangkit duduk sembari bersabda,~”Ingat, dan kesaksian palsu, Ingat, dan kesaksian palsu, Ingat, dan kesaksian palsu.”Beliau terus mengulang-ngulangnya hingga sahabat mengatakan, “sampai kami mengatakan, ‘seandainya beliau diam.’” (Muttafaq ‘alaih)

Inilah persaksian palsu, engkau mengeluarkan persaksian palsu di atas sejengkal tanah di muka bumi, itu termasuk dosa terbesar, di belahan bumi manapun Anda mengeluarkannya. Maka, bagaimana ketika Anda bersaksi di Baitul Haram?![19]

Ini adalah kesaksiann palsu yang dilakukan setiap Jum’at dan setiap kesempatan untuk menyesatkan umat semuanya, demi mendapatkan beberapa keping dirham ~wa la haula wala quwwata illa billah~, berapakah dosa orang yang mengeluarkan kesaksian seperti ini!

Maka orang-orang seperti mereka, bagi orang yang berakal tidak akan mungkin mengembalikan urusan-urusan agamanya kepada mereka. Minimal yang layak dikatakan kepada mereka adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh kepada orang-orang yang mau membela para penguasa thaghut, beliau berkata, “Minimal kondisi mereka adalah orang-orang fasik.”[20] Jadi, minimal mereka adalah orang-orang fasik, maka manusia sudah selayaknya memutus hubungan dan menjauhi mereka.

Sebab itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas rodliyallohu 'anhu dalam sebuah hadits dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam,

‏إِنَّ أَوَّلَ مَا دَخَلَ النَّقْصُ عَلَى بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ؛ كَانَ الرَّجُلُ يَلْقَى الرَّجُلَ فَيَقُوْلُ؛ يَا هَذَا اتَّقِ اللهَ وَدَعْ مَا تَصْنَعُ فَإِنَّهُ لاَ يَحِلُّ لَكَ! ثُمَّ يَلْقَاهُ مِنَ الْغَدِ فَلاَ يَمْنَعُهُ ذَلِكَ أَنْ يَكُوْنَ أَكِيْلَهُ وَشَرِيْبَهُ وَقَعِيْدَهُ

“Sesungguhnya kekurangan pertama yang menimpa Bani Israel adalah ketika ada seorang lelaki dari mereka yang bertemu orang lain lantas mengatakan, ‘Hai kamu, bertaqwalah kepada Alloh dan tinggalkan apa yang kau lakukan, sebab itu tidak halal bagimu!’ Keesokan harinya, ia berjumpa lagi dengan orang itu, ia tidak menghalanginya untuk menjadi teman makan, teman minim dan teman duduknya.” (HR. Abu Dawud)[21]

Ini jugalah yang menjadi kekurangan pertama yang merasuki umat ini.

Maka harus ada pemisahan diri, karenanya kita tidak berbicara tentang urusan-urusan yang kecil, tetapi kita berbicara tentang dosa yang paling besar; kesyirikan yang dijadikan hukum di dalam negeri, serta sikap loyal (wala’) kepada musuh yang merupakan pembatal keislaman.[22]

Jika para pemuda belum memiliki pemahaman seperti ini, menyedihkan; Anda jumpai seorang pemuda yang begitu gembira karena ia berjumpa dengan Syaikh Fulan yang termasuk imam Masjidil Haram, tidak sepatutnya Anda tersenyum kepada orang fasik seperti ini yang menyesatkan umat semuanya! Jika kita belum memperoleh pemahaman ini dalam perjuangan kebangkitan Islam, kita tidak akan pernah sampai kepada tujuan menegakkan kebenaran.

Maka keterangan dan penjelasan kepada umat bahwa para ‘Aimmah itu telah sesat, merupakan perkara yang sangat penting. Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih dari Abu Bakar rodliyallohu 'anhu ketika beliau ditanya oleh seorang wanita Ahmasiyyah, ia berkata kepada beliau, “Apa ukuran tetap bertahannya kita di dalam urusan yang baik ini ~Islam ~ yang Alloh telah datangkan ia setelah masa jahiliyah?” Beliau menjawab,

بَقَاؤُكُمْ عَلَيْهِ مَا اسْتَقَامَتْ بِكُمْ أَئِمَّتُكُمْ

“Bertahannya kalian adalah selama para pemimpin kalian tetap istiqomah (konsisten) dalam memimpin kalian.” (HR. Bukhoriy)

… maka keistiqomahan seorang pemimpin adalah syarat penting untuk langgengnya agama ini.

Maka orang-orang yang hendak mengatakan kepada manusia; sesungguhnya agama tetap akan eksis meskipun imam telah kufur kepada Alloh dan Rosul-Nya sejak beberapa abad silam, sejak berdirinya kekuatan Inggris dan pimpinan Inggris serta dengan persenjataan Inggris dan emas dari Inggris,[23] serta hal itu menyebar di penjuru negeri, padahal itu termasuk sebab terbesar jatuhnya Daulah Islamiyyah ~Daulah Turki Utsmani~ , ini adalah kafir kepada Alloh dan tidak mungkin layak disebut mukmin,

Dan tidak mungkin agama ini menjadi pemutus perkara selama pimpinannya kufur. Fiqih (pemahaman) ini haruslah jelas dan gamblang, ketika imam kafir, orang harus mengadakan perlawanan.[24]

Islam tidak akan pernah kembali eksis, harus ada gerakan untuk mengangkat seorang imam yang menegakkan aturan-aturan Alloh ta'ala, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ

“Hendaknya engkau lazimi Jama’atul Muslimin dan imam mereka.”

Di antara bentuk tipuan yang digunakan para penguasa untuk menipu manusia; seolah kita sudah dipayungi oleh hadits Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan telah dilingkupi oleh keadaan yang disabdakan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Terdapat sebuah riwayat shahih dari beliau ~’alaihis shalaatu was salaam~ bahwa beliau bersabda,

((إِنَّ بَيْنَ يَدَي السَّاعَةِ سِنِيْنَ خَدَّاعَةٌ، يُتَّهَمُ فِيْهَا اْلأَمِيْنُ وَيُؤْتَمَنُ الْخَائِنُ وَيُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ، وَيَتَكَلَّمُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ))، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ‏ وَمَا الرُّوَيْبِضَة‏ُُ؟‏ قَالَ: ((السَّفِيْهُ يَنْطِقُ فِيْ أَمْرِ الْعَامَّةِ))

“Sesungguhnya menjelang hari kiamat akan ada tahun-tahun penuh rekayasa, orang yang terpercaya dicela, sementara pengkhianat justru dipercaya, kala itu, pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan, dan akan berbicara para ‘Ruwaibidloh’. Ditanyakan, “Wahai Rosululloh, apakah Ruwaibidloh itu?” beliau bersabda, “Orang bodoh yang berbicara tentang urusan orang banyak.” [25]

Zaman ini adalah zaman yang penuh rekayasa (penipuan) yang digunakan para penguasa, sama saja apakah penguasa Arab dan penguasa kaum muslimin atau semua penguasa di
dunia ini.

Di antara indikasi paling jelas mengenai hal itu adalah ketika Bush mengatakan bahwa si penjagal hari ini Sharonn ia sebut sebagai ‘tokoh perdamaian’.[26] Demikian juga dengan penguasa negeri ini, mereka mengelabui kita, mereka berwali kepada orang-orang kafir, kemudian mengklaim dirinya masih berada di atas Islam.

Yang lebih menambah kedustaan ini adalah dibentuknya lembaga-lembaga yang targetnya adalah membuat kesamaran kepada manusia. Orang terkadang masih menganggap asing ketika kita berbicara mengenai sebagian lembaga yang menisbatkan diri kepada syari’at, fikih dan ilmu telah melakukan peran ini ~baik mereka sadar atau tidak~. Maksud pemerintah dalam penayangan sebagian ulama pada layar-layar televisi dan stasiun-stasium radio untuk memberikan fatwa kepada manusia, sebenarnya target utamanya bukan sekedar penayangan saja. Kalau hanya itu tujuannya, tentu akan tampil juga ulam-ulama yang jujur dalam layar stasiun-stasiun lokal maupun non lokal, juga dalam stasiun-stasiun siaran lokal. Namun target dari lembaga-lembaga ini adalah bahwa mereka memiliki kepentingan di saat-saat kondisi susah dan saat-saat vakum.

Sebagaimana kita saksikan sebelumnya, ketika negara (Saudi, penerj.) merangkul kekuatan salibis Amerika, dan memasukkan mereka ke tanah Haramain, orang dan para pemudapun riuh ramai. Yang menjadi katub pembuka kelegaan manusia adalah bahwa lembaga seperti ini dan yang semisalnya mengeluarkan fatwa-fatwa yang memberikan legitimasi akan perbuatan penguasa tadi dan mereka menyebutnya sebagai ‘Waliyul Amr’, padahal dia bukanlah wali (pemimpin) kaum muslimin, maka sudah selayaknya waspada dalam hal itu.

Barangkali, orangpun terheran-heran; bagaimana mungkin masuk di akal, bahwa seorang Syaikh Fulan atau syaikh itu dengan banyaknya ilmu yang ia miliki dan tuanya usia dia, mungkinkah ia akan menjual agamanya dengan harta duniawi yang tak seberapa?!

Saya katakan, sesungguhnya manusia itu tidaklah ma’shum[27], dan jika kita tengok kembali dalam sejarah dunia Islam sejak beberapa abad silam, keadaan seperti ini terus terulang.

Saya akan sebutkan satu atau dua contoh, agar manusia mau sadar tentang urusan ini:

1. Imam Adz-Dzahabi rohimahulloh menyebutkan dalam bukunyanya Siyarul A’lam An Nubala’, kisah tentang ‘Ali bin Al-Madani rohimahulloh ~silahkan melihat mukaddimah dari kisah tersebut~ beliau mengatakan, “Ali bin Al-Madini adalah Amirul Mukminin dalam ilmu hadits.” (Siyar A’lamin Nubala’: XI/41) Imam Adz-Dzahabi rohimahulloh mengisahkan tentang dirinya, mensifati dan memujinya, serta mengisahkan bahwa manusia dalam ilmu hadits butuh orang seperti beliau. Namun ketika berbicara tentang keadilan, meskipun besarnya derajat Ali Al-Madiniy ~ saat beliau dikisahkan, tidak ada ulama kita yang dikisahkan setara dengannya~ tetapi, di saat yang sama beliau berbuat kekeliruan besar ketika mencoba untuk berkhidmad kepada penguasa, dan ketika beliau ditekan oleh para penguasa Bani ‘Abbas. Beliau juga menyetujui mereka dalam hal yang berlawanan dengan apa yang diyakininya, dalam hal yang bertentangan dengan apa beliau ajarkan, dan beliau sepakat dengan mereka dalam fitnah menyesatkan lagi buruk ini.[28]

2. Demikian juga dengan Syaikhul Mukminin dalam hadits; Yahya bin Ma’in[29], beliau keliru dengan kekeliruan yang sama.

Banyak juga para ulama di zamannya yang keliru dengan kekeliruan yang sama sebagai dampak dari ancaman akan dicambuk dan dipenjara, mungkin juga akan dibunuh. Tidak ada yang tetap teguh kecuali hanya beberapa gelintir orang, sebagaimana yang Anda ketahui, di antaranya adalah Imam Ahlus sunah wal Jama’ah; Imam Ahmad bin Hanbal rohimahulloh. Maka hendaknya ini diperhatikan, silahkan membaca kisah ini agar engkau bisa melihat dan mengambil pelajaran dengan kondisi manusia hari ini.

Ada sebuah hadits shahih dari Nabi kita shollallohu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

لاَ يَقْضِي الْقَاضِيْ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانٌ

“Janganlah seorang qadhi memberikan keputusan pada dua orang (yang berselisih) sedang ia dalam keadaan marah.” (HR. Imam Ahmad)

Ini ketika qadhi dalam keadaan marah, sebaiknya ia tidak memberikan keputusan kepada dua orang (yang berselisih), maka bagaimana kalau ia dalam keadaan takut? Padahal takut itu lebih dalam pengaruhnya dalam jiwa daripada marah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim rohimahulloh, “Siapa yang hanya membatasi larangan (untuk memberikan keputusan, penerj.) atas dasar kemarahan saja, tanpa menyertakan rasa kesedihan yang mengusik, ketakutan yang mencemaskan, lapar dan kehausan yang sangat dan sibuknya hati yang menghalangi dari pemahaman, berarti kefakihan dan pemahamannya sedikit.” (I’lamul Muwaqqi’in : I/207-208)

Manusia di negeri kita dalam keadaan takut untuk mengatakan kalimat yang haq, maka ini hendaknya diperhatikan. Sudah berkali-kali orang-orang yang ditunjuk ke arah mereka dengan jari (karena masyhurnya ia, penerj.) yang takut kalau ia mau menyuarakan kebenaran apa adanya. Saya juga telah ceritakan sebelumnya bahwa ada salah seorang ulama besar anggota Majelis Kibarul Ulama’ yang berkata kepadaku ketika kami katakan kepadanya, “Seharusnya ada fatwa yang dikeluarkan mengenai kewajiban melakukan I’dad, dengan pertimbangan akan diterimanya kata-kata Anda bahwa keberadaan pasukan Amerika di negeri ini sudah mengkhawatirkan.”

Lantas ia berudzur untuk mengeluarkan fatwa bersamaan dengan ketegasan dia di dalam majelis mengatakan bahwa itu adalah haq, dan bahwasanya harus ada usaha untuk jihad di dalam negeri bagi para pemuda di negeri ini, dan Amerika harus keluar. Ia berkata, “Tetapi, negara tidak sependapat dengan kita dalam masalah ini.” Ketika kammi katakan kepadanya, “Cobalah untuk menembusi Majelis Kibarul Ulama’, lantas kalian mengeluarkan fatwa dalam hal itu.” Kemudian ia mengucapkan sebuah kalimat dan saya berterima kasih kepadanya akan keterusterangan dia kepada saya, ia berkata, “Aturan negara kita tidak ada sangkut pautnya dengan aturan dalam Majelis Kibarul Ulama’.” Ia berkata lagi, “Kita bukannya membahas sebuah kasus lantas mengeluarkan fatwa tentang hal itu, tetapi fatwa itu dikeluarkan dalam masalah-masalah yang dilimpahkan kepada kami dari atasan.”[30] Sebagaimana istilah yang ia pakai.

Maka sudah selayaknya bagi manusia untuk menyadari urusan ini, jika kesamaran ini terus berlanjut dan belum terpilah antara sikap wala’ kepada kaum mukminin dan agama, dan belum jelas sikap bara’ dari kesyirikan dan ilhad, maka kita tidak akan mendapatkan jalan untuk bisa sampai kepada keridhaan Alloh ta'ala. Sungguh ini adalah perkara yang amat penting dan sangat urgen. Sudah selayaknya bagi orang-orang jujur dari kalangan para ulama’, penuntut ilmu dan da’i untuk menjelaskan kepada manusia dan kepada para pemuda, sehingga perkaranya tidak samar bagi mereka. Negara ini, sebagaimana ia membuat badan lembaga informasi yang berkepentingan untuk membuat kesamaran bagi manusia, ia juga mencurahkan tenaga tak sedikit untuk majelis-majelis seperti ini yang menisbatkan dirinya kepada Islam. Mereka berkepentingan untuk memberikan legitimasi syari’ah kepada negara, sehingga seakan-akan negara ini berada di atas kebenaran.

Hal ini teramat penting untuk diketahui, agar tergambar dalam benak kalian bahwa pondasi bangunan Majelis Kibarul Ulama’ itu singkron dengan istana Kerajaan Saudi, supaya engkau punya gambaran bahwa Lembaga fatwa di Al-Azhar adalah sama dengan Kerajaan Republik Mesir yang mengekor kepada Husni Mubarak[31], dan lembaga fatwa di negeri Haramain adalah sejalan dengan istana kerajaan, maka akankah kamu pergi menanyakan kepada lelaki yang menjadi pegawai dan menerima gaji dari kerajaan?! Lantas kamu menanyakan kepadanya tentang hukum kerajaan; benarkah kerajaan memang bersikap loyal kepada orang-orang kafir?! Apakah berwali kepada orang-orang kafir merupakan pembatal keislaman?! Masalah-masalah seperti ini yang sebenarnya sudah jelas dan gamblang namun bisa dipastikan masih samar di mata sebagian orang karena minimnya ilmu yang mereka miliki. Maka masalah tadi dikembalikan kepada orang-orang yang jujur, janganlah Anda pergi bertanya kepada pegawai kerajaan tentang hukum kerajaan!

Mereka sebagaimana sudah saya sebutkan, tidak bisa diukur dengan orang sekelas ‘Ali Al-Madini rohimahulloh, tidak pula dengan Yahya bin Ma’in rohimahulloh, di saat yang sama ada satu hal besar dan fatal di mana mereka keliru di dalamnya ketika mereka ditekan oleh penguasa.

Mari kita ambil kata-kata Imam ‘Ali rodliyallohu 'anhu ketika beliau mengatakan kepada Al-Harits, “Hai Harits! Sesungguhnya engkau terkena syubhat, janganlah engkau menentukan kebenaran dengan melihat seseorang tokoh, tapi pahamilah hakekat kebenaran itu, niscaya engkau akan mengerti siapa penyandangnya.”[32]

Dalam masalah ini ~yang menyedihkan~ terjadi taklid besar-besaran, banyak sekali pemuda yang menggantungkan urusan mereka kepada para pegawai negara, dan mereka
meletakkan beban-beban yang mereka pikul serta memberikan nama-nama besar, padahal mereka sebenarnya adalah para pekerja negara, Allohpun sesatkan mereka dengan ilmu yang mereka miliki. Padahal kitapun belajar dari buku-buku mereka; bahwa termasuk pembatal keimanan yang kesepuluh adalah berwali kepada orang-orang kafir.[33] Mereka juga mengatakan hal itu dengan terus terang kepada kami dalam majelis-majelis khusus mereka, tetapi mereka takut, kemudian melakukan takwil sebagaimana yang dilakukan oleh Yahya bin Ma’in ra, maka hendaknya hal itu diperhatikan.

Di antara perkara-perkara penting dalam rangka menyelamatkan diri dan keluar dari kegamangan ini adalah memberi nasehat (setia kepada) agama ~ nasehat kepada Alloh, Rosul-Nya, para imam kaum muslimin serta mereka secara umum~, masalah nasehat ini adalah perkara yang sangat penting sekali. Dan ia merupakan sebuah bingkai penting yang akan menjaga agama ini. Karenanya, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

“Agama itu adalah nasehat.” (HR. Muslim)

Di antara syi’ar terbesar nasehat adalah amar ma’ruf nahi munkar. Dan itulah yang akan menjaga agama ini, oleh karena itu, dalam hadits ini beliau cukup menyebutkan kalimat ini.

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

“Agama adalah nasehat.”

Tetapi kita ini hidup di zaman yang pemahaman manusia tentang agama sudah campur aduk, dan mereka mengira agama ini bisa tegak tanpa adanya nasehat serta bisa berdiri tanpa resiko-resiko. Kami melihat banyaknya kemegahan yang menimpa manusia, juga kecenderungan mereka kepada dunia dan kepada bumi, dan yang lebih dahsyat dan berbahaya, bahwa penyakit ganas ini ternyata disebarkan oleh para Qo’idun yang cinta dunia kepdaa para pemuda-pemuda yang jujur di mana ghirah memperjuangkan agama mereka tinggi. Mereka menginginkan untuk mengingkari kemungkaran sementara para Qoidun itu justru memerintahkan mereka untuk tidak mengingkari yang mungkar. Dalam hal itu mereka mengedepankan pemikiran-pemikiran mereka daripada hadits-hadits Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang akan kami sebutkan dengan izin Alloh. Maka, urusan agama ini tidak akan lurus melainkan dengan nasehat, amar ma’ruf nahi munkar, serta menanggung semua resiko di atas jalan agama ini. Oleh karena itu, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Sesungguhnya jihad paling utama adalah kalimat haq di hadapan penguasa lalim.” (HR. Imam Ahmad)

… ini semua harus ada supaya agama tetap lurus.

Sedangkan kondisi mereka yang menyodorkan dirinya menghadapi resiko marabahaya demi tegaknya agama ini adalah seperti orang yang berada dalam sebuah kapal. Nahkodanya mengendalikan kapal itu menuju sebuah jurang yang dalam di sebuah aliran sungai. Lantas lelaki ini ingin menasehati sang nakhoda, sementara semua penumpang kapal lantaran ketakutannya mengatakan kepadanya, “Jika engkau menasehatinya, ia akan membunuhmu, tidak usah kau nasehati saja!” Alhasil, semua penumpang akan terperosok menuju jurang itu.[34]

Jadi, di dalam agama ini ada penekanan dan keseriusan dalam urusan membenarkan (mengoreksi) jalan yang ditempuh, sampai tingkatan engaku mempersembahkan nyawamu di jalan Alloh untuk membenarkan jalan supaya manusia tetap berada di atas agama, karenanya, terdapat dalam sebuah hadits Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِّب، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ

“Pemuka syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan seseorang yang mendatangi penguasa lalim lalu beramar ma’ruf nahi munkar lalu penguasa itu membunuhnya.” (HR. Hakim)

Sungguh memprihatinkan, sebenarnya ini adalah sebuah pemahaman yang jelas dan gamblang dari hadits di atas, para ulama dan masayikh kita justru menahan diri kita darinya dan melarang kita melakukan tindakan seperti ini serta mengatakan tidak ada maslahat di balik itu.

Dalam pemahaman ini terdapat bahaya besar bagi agama dan akidah mereka. Bagaimana mereka mendahulukan pendapat itu di hadapan hadits Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam yang sedemikian jelas dan gamblang,

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِّب، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ

“Pemuka syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan seseorang yang mendatangi penguasa lalim lalu beramar ma’ruf nahi munkar lalu penguasa itu membunuhnya.”

Maka kekuatan dan senjata kita ~untuk menjaga agama kita dan untuk menolak semua usaha dalam rangka menyimpangkan agama baik dari dalam ataupun tekanan dunia luar~ adalah ruh isytisyhadiyah (semangat mencari kesyahidan). Jadi jihad dan semua cabangnya adalah jalan untuk membenarkan yang benar dan membatilkan yang bathil.

Maka sudah selayaknya bagi para pemuda yang telah Alloh lapangkan dadanya untuk mencintai agama ini dan menjadi tumbal di jalan Alloh, untuk tidak menoleh kepada para pegawai itu, tidak usah menoleh kepada para Qoo’idun, tidak usah menoleh kepada orang-orang yang condong kepada dunia. Sungguh jauh perbedaan antara ulama kita yang terkenal selalu ditunjuk oleh jari dan yang terkenal hari ini sebagai buah dari geliat kebangkitan dan kemajuan informasi yang besar.

Pemerintah akan melihat kepada ulama, maka apa saja yang ia lihat sesuai dengannya, bersikap lunak dan toleran terhadap mereka, itu menjadi hal yang akan menguasai opini masyarakat. Lalu dibuatlah cerita sejak kecil dan mereka memperdengarkannya; “Bahwasanya Syaikh Fulan telah mengirim telegrap kepada raja, dan raja balik membalasnya dengan telegrap.” Dan ia senantiasa tampak di samping kanan raja setiap hari Senin dan yang lain[35], sehingga tergambar dalam benaknya bahwa merekalah orang-orang penyandang kebaikan dan keshalihan.

Para ulama berkata, “Masuknya para ulama kepada penguasa itu terdapat tiga bahaya[36], di antara bahaya terbesarnya adalah penyesatan orang-orang awam, masyarakat pada umumnya mengatakan, kalau bukan karena imam ini, raja ini, pemimpin ini berada di atas kebaikan, tentu Syaikh Fulan tidak akan masuk kepadanya! Sementara mereka tidak mengerti bahwa orang yang masuk kepada raja ini adalah pegawai, persis dengan kantor kerajaan atau sama dengan Kementrian Dalam Negeri.

Imam Ahmad rohimahulloh berkata,

مِنْ قِلَّةِ فِقْهِ الرَّجُلِ أَنْ يُقَلِّدَ فِيْ دِيْنِهِ الرَّجَال

“Termasuk sedikitnya pemahaman seesorang adalah ketika ia bertaqlid dalam urusan agamanya kepada para tokoh.” (I’lamul Muwaqqi’in: II/211)

Kalau kita melihat kepada orang-orang yang oleh pengusa dicampakkan di jalan jihad dan kita ingatkan manusia agar mewaspadai mereka, maka dengan izin Alloh kita akan sampai pada jalan menuju jihad yang nantinya untuk menahan kekuatan orang-orang kafir serta membenarkan yang benar[37]. Para ulama negara dan ulama penguasa itu tidak memiliki pemahaman seperti pemahaman Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam serta pemahaman tabi’at Manhaj Alloh ta'ala.

Harus tertanam dalam benak kita; bahwa sikap iltizam terhadap agama secara benar, pasti akan menghasilkan permusuhan dari ahli kebatilan. Sebagaimana tercantum di dalam sebuah hadits shahih dalam Shohih Al Bukhoriy sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ibunda kita ‘Aisyah rodliyallohu 'anha ketika Rosullah shollallohu 'alaihi wa sallam pergi bersama ibunda kita Khodijah ra kepada Waraqah bin Naufal. Ketika beliau ceritakan kepadanya apa yang beliau alami ketika pertama kali menerima wahyu, maka Waroqoh berkata,

يَا لَيْتَنِيْ كُنْتُ فِيْهَا جَذْعاً إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ

“Duhai seandainya saja aku bisa menjadi jadz’an[38], di saat kaummu kelak mengusirmu.”

Mendengar itu, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bertanya,

أَوَ مُخْرِجِيَّ هُمْ؟

“Apakah mereka akan mengusirku?”

Ia berkata,

مَاجَاءَ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَاجِئْتَ بِهِ إِلاَّ عُوْدِيَ

“Tidak ada seorangpun yang datang membawa seperti yang engkau bawa melainkan pasti dimusuhi.” (Muttafaq ‘Alaih).[39]

Inilah fikih (pemahaman) Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam, siapa yang sungguh-sungguh beriltizam dengan Islam, pasti akan dimusuhi.

Demikian juga dengan kaum Anshar ~Radhiyallohu ‘anhum~ ketika mereka datang di hari Bai’at Aqabah berbaiat kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam atas Islam, beliau datang bersama ‘Abbas ~ saat itu masih berada dalam agama kaumnya, belum masuk Islam~ , ia berkata,

يَامَعْشَرَ الْخَزْرَج إِنَّكُمْ قَدْ دَعَوْتُمْ مُحَمَّداً فَإِنْ كُنْتُمْ أَهْلَ قُوَّةٍ وَجَلَدٍ وَبَصِيْرَةٍ بِالْحَرْبِ وَاسْتِقْلاَلٍ بِمُعَادَاةِ الْعَرَبِ قَاطِبَةً. فَإِنَّهَا سَتَرْمِيْكُمْ عَنْ قَوْسٍ وَاحِدَةٍ فَأَرُوْنِيْ رَأْيَكُمْ وَأَنْتُمْ وَأْمَرَكُمْ, وَلاَ تَفَرَّقُوْا إِلاَّ عَنْ إِجْمَاعٍ فَإِنَّ أَحْسَنَ الْحَدِيْثِ أَصْدَقُهُ, صِفُوْا لِي الْحَرْبَ؟ كَيْفَ تُقَاتِلُوْنَ عَدُوَّكُمْ؟

“Wahai kaum Khazraj, sungguh aku telah memanggil Muhammad, jika kalian termasuk orang yang memiliki kekuatan, keteguhan serta keahlian dalam perang dan berani sendirian memusuhi seluruh bangsa Arab, karena mereka pasti akan membidik kalian dari satu busur. Maka perlihatkan kepadaku pendapat dan jati diri kalian. Dan jangan pernah kalian berpisah melainkan atas dasar kesepakatan, sebab sesungguhnya perkataan yang paling baik itu adalah perkataan yang paling jujur. Ceritakan kepadaku tentang perang? Bagaimana cara kalian memerangi musuh-musuh kalian?

Ini adalah ‘Abbas ~ yang saat itu masih berada dalam agama kaumnya, masih kafir ~ tapi ia memberikan ‘warning’ kepada keponakannnya Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam serta memberikan pemahaman kepadanya bahwa makna La ilaha illallah adalah manusia dan seluruh alam akan memusuhi ahlinya. Maka saat itu, Abdulloh bin Amru angkat bicara,

نَحْنُ وَاللهِ أَهْلُ الْحَرْبِ, وَغُذِيْنَا بِهَا, وَوَرَثْنَاهَا كَابِراً عَنْ كَابِرٍ نَرْمِي بِالنُّبُلِ حَتَّى تَفْنَى، وَنُطَاعِنُ بِالرِّمَاحِ حَتَّى تَكْسِرَ, ثُمَّ نَمْشِيْ بِالسُّيُوْفِ نُضَارِبُ بِهَا حَتَّى يَمُوْتَ اْلأَعْزَلُ مِنَّا أَوْ مِنْ عَدُوِّنَا

“Demi Alloh, kami adalah ahli perang, kami tumbuh dengannya, kami telah mewarisi kebesaran dari pembesar, kami melempar lembing hingga usang. Kami biasa menikam dengan tombak sampai patah, lalu kami berjalan menenteng pedang untuk memenggal hingga orang yang tidak bersenjata mati di antara kami atau di antara musuh kami.”

Abbas bertanya,

هَلْ فِيْكُمْ دُرُوْعٌ

“Apakah kalian memiliki baju besi?”

… mereka mengatakan, “Ya, ini dia.” Ketika itu, majulah Al-Barro’ bin Ma’ruur rodliyallohu 'anhu sembari berujar,

قَدْ سَمِعْنَا مَا قُلْتَ, وَإِنَّا وَاللهِ لَوْ كَانَ فِيْ أَنْفُسِنَا غَيْرَ مَا نَنْطِقُ بِهِ لَقُلْنَاهُ, وَلَكِنَّا نُرِيْدُ الْوَفَاءَ وَالصِّدْقَ, وَبَذْلَ مُهَجِ أَنْفُسِنَا دُوْنَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

“Kami telah dengar apa yang Anda katakan, sedangkan kami, seandainya dalam diri kami ada hal yang berbeda dengan yang kami katakan, tentu akan kami utarakan terus terang. Namun, yang kami inginkan adalah menepati janji dan kejujuran, dan jiwa serta nyawa tercurahkan untuk membela Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam.”

Inilah pemahaman salaf ~ Rodhiyallohu ‘anhum ~ untuk beriltizam dengan agama serta mengorbankan jiwa dan nyawa untuk Alloh ta'ala dan dalam rangka membela agama-Nya serta membela Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam.

Lagi, yang juga terjadi di hari penuh berkah itu ~ Hari Aqobah ~ adalah ketika sahabat berdiri ingin berbai’at kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, maka As’ad bin Zaroroh mengambil tangan beliau dan berkata,

رُوَيْدًا يَا أَهْلَ يَثْرِب إِنَّا لَمْ نَضْرِبْ إِلَيْهِ أَكْبَادَ اْلإِبِلِ إِلاَّ وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَإِنَّ إِخْرَاجَهُ الْيَوْمَ مُفَارَقَةُ الْعَرَبِ كَافَّةً وَقُتْلُ خِيَارِكُمْ, وَأَنْ تَعُضَّكُمُ السُّيُوْفُ، فَإِمَّا أَنْتُمْ تَصْبِرُوْنَ عَلَى ذَلِكَ؛ فَخُذُوْهُ وَأَجْرُكُمْ عَلَى اللهِ, وَإِمَّا أَنْتُمْ تَخَافُوْنَ مِنْ أَنْفُسِكُمْ خِيْفَةً؛ فَذَرُوْهُ فَهُوَ أَعْذَرُ لَكُمْ عِنْدَ اللهِ

“Pelan-pelan wahai penduduk Yatsrib, sungguh tidaklah kita memberikan hati unta kepada beliau, melainkan kita mengerti bahwa beliau adalah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan bahwa diusirnya beliau hari ini berlepas diri dari bangsa Arab semuanya dan akan dibunuhnya orang-orang terbaik di antara kalian seta kalian akan digigit oleh mata pedang-mata pedang, (maka semua itu pasti akan terjadi). Silahkan pilih, jika kalian bersabar atas hal itu, maka pegang-teguhlah ia, sesungguhnya pahala kalian ada pada Alloh, atau jika ada perasaan takut dalam hati kalian, maka menyingkirlah, sesungguhnya hal itu lebih ringan bagi kalian di sisi Alloh.” (HR. Imam Ahmad)[40]

Inilah pemahaman salaf terhadap makna La ilaha illallooh serta kandungan dari kalimat Laa ilaaha illallooh yaitu berupa pemberlakuan hukum di muka bumi serta kepastian bahwa mereka akan menghadapi musuh.

Juga sebagaimana yang dikatakan Mutsanna bin Haritsah kepada Rosul kita ~ ‘Alaihis salam ~ di hari ketika ditawarkan kepada mereka untuk beriman kepada Laa ilaaha illallooh, lalu mereka bersedia untuk menjaga dan melindungi beliau. Maka Mutsanna ~ saat itu masih musyrik ~ ia berkata, “Ini adalah urusan yang tidak disukai oleh para raja.”

Dalam hadits lain ketika Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam ditanya dalam konteks pertanyaan tentang amalan yang paling utama di sepuluh hari pertama hari Dzulhijjah, kemudian beliau memberikan pengecualian, dan menjelaskan kepada mereka mengenai amalan yang paling utama, ia lebih utama daripada beramal di sepuluh hari bulan Dzulhijjah, beliau bersabda,

إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجَعْ بِشَيْءٍ

“…Kecuali seseorang yang keluar (menuju sesuatu yang) membahayakan nyawa dan hartanya, kemudian tidak pulang dengan apapun.” (HR. Al Bukhori)

Adapun yang tersebar di kalangan para ulama, berupa kesejahteraan jiwa mereka, anak dan harta serta pekerjaan-pekerjaan mereka, bersama dengan tetap bertahannya agama, maka ini adalah pemahaman yang berbalik arah dari hakikat Laa ilaaha ilallooh serta permusuhan terhadap ahli batil karenanya. Keharmonisan serta keselarasan antar para ulama dan penguasa ~ yang kafir kepada Alloh dan Rosul-Nya ini ~ adalah posisi keliru yang terbalik. Di awal dikatakan bahwa para ulama itu telah meninggalkan hakikat Laa ilaaha illallooh, meninggalkan iltizam terhadap Laa ilaaha illallooh dan konsekwensi Laa ilaaha illallooh, mereka telah bertoleransi kepada para penguasa.

Maka sudah seharusnya untuk waspada terhadap mereka. Sebab pemerintahan telah memposisikan mereka dengan sengaja untuk memalingkan dari jalan Alloh. Dan sungguh sejak seperempat abad silam, Syaikh Abdulloh bin Humaid ~ semoga rahmat Alloh tercurah kepada beliau ~ belum ada ceritanya ada ulama lain yang mendampingin beliau. Tapi, memang pemerintah itu tidak menginginkan ahli kebenaran, tidak menginginkan ahli ketakwaan dan waro’. Terus saja Syaikh ‘Abdulloh bin Humaid ditekan dan jarang sekali diambil pandangannya dibandingkan sejumlah ulama lain yang memiliki karakter lunak dan lembut terhadap pemerintah serta memiliki sedikit toleransi. Bandingkan apa yang disamarkan oleh pemerintah, mereka tinggalkan Syaikh ‘Abdullah bin Humaid, mempersempit ruang gerak amalnya sampai beliau mengundurkan diri ketika merasa bahwa negara sudah mulai sering menjauh dan nampak bahwa negara mulai berwali kepada orang-orang kafir, serta sering menjauh dari syariat Alloh ta'ala.

Demikian juga dengan kondisi hari ini, opini-opini media informasi telah menguasai para ulama, tujuannya adalah menimbulkan kesamaran atas kaum muslimin.

Di posisi seperti ini, harus dibicarakan bahwa bila kita mengetahui adanya para ulama’ suu’ dan ulama penguasa, sudah selayaknya kita mencari dengan serius dan sungguh-sunguh; mana ulama yang jujur, mereka yang berterus terang menyuarakan kebenaran serta tidak takut celaan orang yang suka mencela, sebab Alloh ta'ala berfirman,

يَا أَيّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اِتَّقُوا اللَّه وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah : 19)

Kita mesti berkumpul di sekeliling mereka serta bermusyawarah bersama mereka dalam rangka membela Laa ilaaha illallooh serta berjuang untuk memberlakukan syari’at Alloh ta'ala.

Dan ulama-ulama yang jujur itu memiliki beberapa ciri. Orang-orang jujur telah Alloh ta'ala terangkan mengenai sifat mereka dalam kitab-Nya yang mulia, Ia berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin hanyalah mereka yang beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya kemudian tidak merasa ragu serta berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa mereka, merekalah orang-orang yang jujur.” (QS. Al-Hujurot: 15)

Di antara sifat paling menonjol dari orang-orang yang jujur itu adalah:
Iman
Berjihad fii sabiilillah

Makna seperti ini kita sering kali temukan, kejujuran selalunya sejajar dengan jihad, pembelaan, menyuarakan kebenaran serta berterus terang di dalamnya. Di antaranya adalah firman Alloh ta'ala,

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Bagi orang-orang fakir dan berhijrah yang mereka diusir dari kampung halaman dan hartanya karena mencari keutamaan dan ridha Alloh serta mereka menolong Alloh dan Rosul-Nya, merekalah orang-orang yang jujur.” (QS. Al-Hasyr : 8)

Orang-orang yang berhijrah, membantu Alloh dan Rosul-Nya serta berjihad di jalan Alloh, mereka berada di jalan Alloh dan untuk mengokohkan posisi agama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, merekalah orang-orang jujur itu.

Termasuk jihad terbesar adalah kalimat haq serta berterus terang di dalamnya, sebagaimana telah disebutkan maknanya dalam sebuah hadits dari Rosul kita ~ ‘Alaihis sholaatu was salaam ~

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad paling utama adalah kalimat haq di hadapan penguasa lalim.”

Jadi, para ulama yang berterus terang dalam kebenaran, merekalah orang-orang yang jujur, dan inilah sifat mereka.

Adapun mereka yang condong kepada para penguasa yang telah berwali kepada orang-orang kafir, kepada para penguasa yang telah berhukum kepada selain hukum Alloh, sungguh mereka telah memuji-mujii para thoghut. Tidakkah mereka melihat menara-menara bank ribawi yang memberlakukan aturan selain hukum yang diturunkan Alloh?! Serta berpaling dari manhaj Alloh di samping tanah haram?! Ini adalah ilhad (kejahatan) di dekat Baitullah Al-Haram serta kejahatan di tanah haram yang tujuannya bukan sekedar kekufuran, lebih dari itu adalah sebagaimana tercantum dalam hadits yang telah kita lewati di muka ~ dalam hadits Shohih Al Bukhoriy~ :

أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللهِ ثَلاَثَةٌ

“Orang yang paling dimurkai Alloh ada tiga..”

… beliau bersabda,

مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ

“Orang yang berlaku jahat di tanah haram.”

Ahlul ‘ilmi berkata, “Dosa besar di tanah haram termasuk ilhad, dan disebutkan sama dengan ilhad untuk memberikan kecaman dan betapa besarnya hal itu, juga supaya manusia menjauhinya.”

Maka, sifat paling menonjol dari orang-orang jujur adalah jihad dengan menggunakan tangan dan lisan. Terkadang seseorang jujur dan ia hanya mengingkari dengan hati saja, tapi kita tidak bisa mengetahui dan mengenalinya, yang bisa kita kenali adalah yang mengingkari dengan tangan dan lidahnya.

Di sini, kita harus semakin tegaskan kepada para pemuda kebangkitan Islam mengenai apa yang sudah kita bahas bersama; bahwa mereka memiliki kekuatan yang cukup bahkan lebih untuk menegakkan Al-Haq, untuk menegakkan Daulah Islamiyah, Daulah Khilafah. Tapi mereka harus bebas dan membebaskan akal mereka dari sikap taklid buta. Dalam sebuah hadits shahih dari Nabi kita ~ ‘Alaihis Salam ~ bahwa beliau bersabda,

لاَ تَكُوْنُوْا إِمَعَّةً، تَقُوْلُوْنَ؛ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا، وَإِنْ ظَلَمُوْا ظَلَمْنَا، وَلَكِنْ وَطِّنُوْا أَنْفُسَكُمْ؛ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوْا، وَإِنْ أَسَاءُوْا فَلاَ تَظْلِمُوْا

“Janganlah kalian menjadi “Imma’ah” (bersikap seperti bunglon, oportunis); yaitu kalian mengatakan: jika manusia baik, kami ikut baik. Jika mereka dholim, kamipun ikut dzalim. Tapi biasakan diri kalian; jika manusia baik, kalian ikut baik, jika mereka berbuat jahat, kalian jangan turut berbuat dzalim.” (HR. Tirmidzi dan ia menghasankannya)

Saya akan bawakan sebuah kisah yang memiliki nilai moral yang besar, bahwa orang yang cerdas dan cerdik ketika mereka hanya mengekor kepada orang yang berada di depannya, tanpa berfikir, tak jarang ia kehilangan kebaikan yang besar, bahkan kehilangan akhirat ~ wa laa haula walaa quwwata illa billaah ~. Inilah Kholid bin Walid ra dan ‘Amru bin ‘Ash. ‘Amru bin ‘Ash termasuk pembesar cendekiawan Arab yang diperhitungkan. Sementara Kholid bin Walid adalah sosok jenius dalam urusan perang. Meski begitu, mereka berdua masuk Islam belakangan selama lebih dari 20 tahun kira-kira. Padahal cahaya ada di depan mereka, dan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam selama 13 tahun berada di tengah-tengah mereka di Mekah, ternyata mereka tidak melihat cahaya ini dengan kecerdasan dan ketanggapan mereka yang luar biasa. Lantas, apa penyebabnya?!

Sebabnya adalah taklid buta, mereka melihat kepada para tokoh Quraisy yang besar itu ~ Ahlun Nadwah [dewan permusyawaratan Quraisy] ~ dan mengikuti jejak mereka, mereka singkirkan akal mereka sendiri. Tatkala Kholid dan ‘Amru masuk Islam sebelum Fathu Makkah beberapa saat ~ atau sekitar dua puluh tahun sejak diutusnya Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam ~ sebagian teman dekatnya berkata kepadanya, “Di mana akalmu saat itu hai Kholid, bagaimana kau tidak melihat cahaya (Islam) ini sejak dua puluh tahun silam?” maka Kholid menjawab dengan kata-kata yang mesti dijadikan patokan oleh orang-orang yang masih suka taklid, ia berkata, “Kami saat itu melihat para tokoh, kami melihat kegegap-gempitaan yang menghiasi diri mereka laksana gunung-gunung.” ~ Walid bin Mughiroh, Amru bin Hisyam, ‘Utbah dan Syaibah bin Robi’ah, Al-‘Ash bin Wa’il As-Sahmiy dan Umayyah bin Khalaf ~. Satu kaum yang membebani akal manusia bahwa merekalah orang-orang yang mengerti mana yang benar, padahal mengarahkan mereka kepada kehancuran di dunia dan akhirat.

Tatkala Kholid membebaskan akalnya, Alloh memberikan manfaat dengannya dan meledaklah kekuatan-kekuatan itu. Maka beliau adalah salah satu dari pedang Alloh yang dengannya Alloh bukakan jengkalan tanah yang besar di Persi dan Romawi.

Maka saya tegaskan, banyak manusia yang memiliki kekuatan besar, tapi mereka melenyapkannya dengan mengekor kepada pimpinan, dengan mengikuti orang yang ia ridha untuk tinggal bersama orang-orang yang tidak ikut berperang. Tidak ada keselamatan bagi umat ini melainkan dengan mengikuti manhaj secara utuh. Dan sebagaimana saya sebutkan, resiko marabahaya pasti selalu menyertai jalan dakwah ini hingga Alloh wariskan bumi dan penduduknya.

Dalam hadits agung ini ada sebuah pemahaman yang sangat agung pula, di mana beliau menjelaskan kepada manusia dan kaum mukminin akan pentingnya prioritas dalam agama ini. Puncak segala urusan adalah Islam, dan puncak rukun iman dan Islam adalah syahadat Laa ilaaha illallooh dan Muhammad Rosululloh. Jadi, iman itu ada cabangnya,[41] maka tidak selayaknya ketika hilang cabang pertama yang merupakan terbesar dan paling utama serta yang paling tinggi yaitu syahadat Laa ilaaha illallooh kemudian menyibukkan diri dengan yang lebih rendah darinya.

Syahadat Laa ilaaha illallooh adalah asas agama ini. Maka, apa yang dilakukan manusia zaman sekarang padahal mereka melihat dengan mata kepala mereka bahwa Laa ilaaha illallooh beserta maknanya sesuai yang diturunkan kepada Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam telah menghilang dari percaturan hukum manusia dalam semua lini kehidupan, lantas mereka sangat sibuk dengan cabang-cabang lain dengan hilangnya asas ini. Ini adalah tidak pantas dijuluki bagi orang yang mengetahui hakekat-hakekat sebenarnya selain sikap lari dari menunaikan kewajiban. Lebih ekstrim lagi, lari dari kewajiban terbesar dalam hidup, yaitu memberlakukan hukum Laa ilaaha illallooh pada setiap mukmin.

Seandainya seseorang tidak melaksanakan jihad tanpa udzur syar’i lalu menyibukkan diri menyingkirkan gangguan dari jalan (padahal itu merupakan bagian dari cabang iman) sementara jihad hukumnya fardhu ‘ain, maka tidak ada yang pantas dikatakan kepada orang yang melakukan satu cabang ini, atau satu ketaatan ini “Semoga Alloh memberikan ganjaran yang lebih baik.” Bahkan, dalam agama kita ia termasuk orang fasik, orang yang lari, ia lari dari membela Laa ilaaha illallooh, lari dari menolong agama Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam. Maka harus diperhatikan benar akan prioritas dalam hal ini. Ia sebagaimana bukan rahasia lagi telah menghilang, hilang sama sekali dari semua negeri Islam tanpa terkecuali. Saya juga ingatkan kepada para Ikhwah, sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits Rosul dari Abu Huroiroh, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ؛ مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya, Alloh berfirman, ‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku, Aku nyatakan perang kepadanya. Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada apa yang telah Ku wajibkan kepadanya.” (HR. Al Bukhori)

Maka, berbagai faridloh, ketaatan dan amal ibadah adalah apa yang telah Alloh ta'ala wajibkan. Urutannya adalah sesuai apa yang Alloh ta'ala urutkan, bukan sesuai selera kita, atau yang pas dengan hawa nafsu kita, atau sesuai dengan jiwa kita serta rasa berat karena condong ke bumi.

Nah, ketika prioritas pertama adalah dengan memberlakukan hukum Laa ilaaha illallooh, maka tidak dibenarkan saat itu untuk menyibukkan diri dengan ketaatan lain yang disejajarkan dengan perjuangan menegakkan Daulah Islamiyah dan memberlakukan syari’at Alloh ta'ala.

Termasuk hal yang penting di sini, bahwa para ulama yang ditonjolkan oleh negara di hadapan manusia, mereka itu mengerti secara yakin bahwa Laa ilaaha illallooh itu tidak menjadi hakim bagi manusia hari ini. Juga bahwa berbagai mengara telah menghabisi kalimat agung ini. Di saat kondisi seperti itu, mereka justru menipu dirinya sendiri, mereka membohongi manusia dengan menyebutkan ibadah-ibadah serta fatwa-fatwa kepada manusia pada beberapa masalah bersamaan dengan menghilangnya sebuah pondasi agung, mereka ibarat orang yang mendirikan bangunan tanpa pondasi.

Jadi, mereka yang berfatwa itu mengetahui, bahwa orang-orang itu telah pergi dan berhukum kepada Al Mahaakim At Tijaariyyah (mahkamah-mahkamah perdagangan), kepada lembaga-lembaga komisi persengketaan perdagangan, dan komisi problematikan kelompok-kelompok dagang. Ini adalah bentuk berhukum kepada selain hukum yang diturunkan Alloh, dan merupakan kufur akbar yang mengeluarkan pelakunya dari millah (Islam), sebagaimana bukan rahasia lagi di kalangan ahlul ilmi [42], di saat yang sama, mereka sama sekali tidak membahasnya.

Tentang riba bank-bank itu, tidak mungkin orang yang alim akan mengatakan itu semata-mata riba yang bernilai dosa besar, riba seperti ini adalah bentuk pensyari’atan selain Alloh,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka memiliki serikat-serikat yang membuat undang-undang dalam agama selain Alloh?” (QS. Asy-Syuro : 21)

Di saat yang sama, manusia justru membicarakan tema lain ~ yang itu tak disangkal, memang termasuk cabang dari iman ~, tetapi jauh betul dari akar masalah. Ini adalah masalah besar yang lantaran hal itu, para Rosul diutus, karenanya kitab-kitab diturunkan, supaya dijadikan sebagai hukum di tengah manusia. Hendaklah hal ini mendapat perhatian ekstra.

Di antara masalah penting lain di sini adalah, hendaknya para pemuda menjauh dari orang-orang yang telah menyia-nyiakan amanah serta mengkhianati ummat pada perkara yang mereka dipercaya memegangnya. Terdapat dalam hadits Hudzaifah ra, ia berkata,

حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَدِيْثَيْنِ، رَأَيْتُ أَحَدَهُمَا وَأَنَا أَنْتَظِرُ اْلآخَرَ، حَدَّثَنَا؛ أَنَّ اْلأَمَانَةَ نَزَلَتْ فِيْ جذْرِ قُلُوْبِ الرِّجَالِ ثُمَّ عَلِمُوْا مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ عَلِمُوْا مِنَ السُّنَّةِ، وَحَدَّثَنَا عَنْ رَفْعِهَا، قَالَ؛ يَنَامُ الرَّجُلُ النَّوْمِةَ فَتُقْبَضُ اْلأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ، فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلُ أَثَرِ الْوَكْتِ، ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ، فَيَبْقَى فِيْهَا أَثَرُهَا مِثْلُ أَثَرِ الْمجلِ، كَجَمْرٍ دَحْرَجَتْهُ عَلَى رِجْلِكَ فَنفط فَتَرَاهُ مُنْتَبِرًا، وَلَيْسَ فِيْهِ شَيْءٌ

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah menceritakan kepadaku dua buah hadits, aku telah menyaksikan salah satunya dan kini sedang menunggu yang satu lagi. Beliau menceritakan kepada kita bahwa amanat itu turun pada akar hati para tokoh, kemudian mereka mengerti tentang Al-Qur’an dan mereka mengerti tentang sunnah, beliau menceritakan kepada kami akan hilangnya hal itu. Beliau bersabda, Seseorang tidur sekali tidur, lantas sikap amanah dicabut dari hatinya, bekasnya terus ada seperti bekas noda tipis, kemudian ia tidur lagi, lalu dicabut lagi sehingga bekasnya seperti bekas nanah, seperti bara yang kau gelindingkan di telapak kakimu kemudian melepuhkannya lalu kau melihatnya membengkak sementara di dalamnya tidak berisi apa-apa.” (Muttafaq ‘Alaih)

Dan inilah kondisi kebanyakan orang hari ini. Anda menyangkanya hebat. Anda menyangkanya ia memiliki amanah dan ia akan memberikan fatwa kepada Anda sesuai yang diridhai Alloh, tapi ternyata ia keropos. Seperti bara yang kau gilingkan pada telapak kakimu ~ sebagaimana dalam teks lengkap hadits, sebagaimana yang Hudzaifah rodliyallohu 'anhu nukil dari Rosul kita shollallohu 'alaihi wa sallam ~ :

وَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَايَعُوْنَ، فَلاَ يَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي اْلأَمَانَةَ، فَيُقَالُ؛ إِنَّ فِيْ بَنِيْ فُلاَنٍ رَجُلاً أَمِيْنًا! وَيُقَالُ لِلرَّجُلِ؛ مَا أَعْقَلَهُ! وَمَا أَظْرَفَهُ! وَمَا أَجْلَدَهُ! وَمَا فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ

“Akhirnya manusia saling mengadakan transaksi, sementara hampir tiada seorangpun yang menunaikan amanat, lalu dikatakan, ‘Sesungguhnya di Bani Fulan ada seorang yang terpercaya! Dan dikatakan mengenai seseorang, ‘Betapa mahirnya ia, betapa terpercaya ia, betapa uletnya ia!’ Padahal dalam hatinya tidak ada iman seberat biji sawi sekalipun.”

Maka sudah selayaknya dibedakan antara orang yang bisa memegang amanah di mana mereka menunaikan apa yang dibebankan kepada mereka berupa warisan kenabian atas Nabi kita Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam ~ semoga tercurah atas beliau sholawat dan salam yang paling utama ~ dan antara orang yang sekedar mengambil ijazah ilmiyah serta menjadikan agama sebagai profesi yang mereka mencari makan dengannya dari dunia ini sesuai kapasitas agama mereka ~ Walaa haula wala quwwata illa billaah ~.

Bahwa di sana ada perkara-perkara baku yang besar di mana semua itu harus diperhatikan, pada masalah al-wala’ dan al-baro’; bahwa perundang-undangan itu berusaha sekuat tenaganya untuk mengaburkan masalah al-wala’ wal bara’ dengan tujuan mengkacaukan manusia dalam hal itu.

Di antara hal yang prinsipil, bahwa kaum Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah ridha kepada kita sebagaimana yang Alloh ta'ala kisahkan di dalam kitab-Nya yang Mulia, Ia berfirman:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah ridha kepada kalian hingga kalian ikuti agama mereka.” (QS. Al-Baqoroh : 120)

Di antara hal baku yang menjadi fakta sekarang adalah, bahwa negeri kita sedang dijajah, dan jika negeri dijajah, perkara paling wajib setelah iman adalah mengusir musuh yang menyerang. Inilah penegasan berulang kali dari mereka, dan inilah kenyataan yang kita saksikan pada diri mereka. Pangeran Tholal bin Abdul Aziz mengatakan dalam pertemuannya dengan beberapa lembaga-lembaga seluruh dunia, katanya, “Jika kami katakan kepada kekuatan Amerika, ‘Keluarlah dari negeri kami!’ Mereka tidak akan mau keluar.” Ini adalah penegasan yang sangat jelas sekali.

Demikian halnya dengan Menteri Luar Negeri Qatar, ia mengatakan, “Seandainya kami katakan kepada pemerintah Amerika dan kekuatan militernya, ‘Keluarlah dari Qatar!’ Kita akan dihapu dari peta dunia.” Katanya. Jadi, negeri-negeri Islam sedang terjajah, apapun maksud dari kalimat ini. Sementara manusia masih sibuk saja dengan berbagai ibadah, amalan-amalan sunnah dan ketaatan-ketaatan yang jauh dari kewajiban yang semestinya ditunaikan sekarang!

Maka, sudah selayaknya kita untuk berkonsentrasi :

1. Bahwa solusinya adalah jihad fii sabiilillaah.

2. Waspada dari orang yang hanya duduk saja.

3. Bahwa hijroh dan jihad fii sabiilillaah, keduanya tidak bisa dipisahkan ~ di saat-saat seperti sekarang ~ dalam rangka menegakkan yang haq serta menumpas yang bathil.



Wallahu A’lam [43]


_________________________________________________



[1] .Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

‏إِنَّ اْلإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيْبًا، وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ، وَهُوَ يَأرزُ بَيْنَ الْمَسْجِدَيْنِ كَمَا تَأْرزُ الْحَيَّةُ فِيْ جُحْرِهَا

“Islam datang dalam keadaan asing, dan ia akan kembali asing sebagaimana awal mulanya, ia akan kembali diantara dua masjid (Al Haram dan Nabawi, pen.) sebagaimana ular kembali ke dalam liangnya.” (HR. Muslim)

[2] . Ibnu Ishaq berkata: “… aku mendengar Robi’ah Bin ‘Ubbad, ia diberitahu oleh ayahnya, katanya: Dulu aku adalah seorang pemuda yang ketika itu menyertai ayahku di Mina. Saat itu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri di hadapan rumah-rumah para kabilah arab, beliau bersabda: “Wahai Bani Fulan! Sesungguhnya aku adalah utusan Alloh kepada kalian, Ia memerintahkan kalian untuk beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, hendaknya kalian juga meninggalkan semua tandingan Alloh yang kalian ibadahi selainNya, hendaknya kalian beriman kepadaku, membenarkanku serta membela diriku sehingga aku bisa menerangkan ajaran yang Alloh mengutusku dengannya.”

Ayahku berkata: Kebetulan dibelakangnya ada seorang lelaki yang juling dan bersih wajahnya, ia memiliki dua guratan urat. Di badannya tersemat perhiasan dari tembaga. Setiap kali Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam selesai berbicara dan menyampaiakan dakwah, ia berkata: “Wahai Bani Fulan, sesungguhnya orang ini mengajak kalian untuk meninggalkan Latta dan ‘Uzza dari leher kalian juga dari sekutu bangsa jin kalian dari Bani Malik bin Aqyasy, dengan berpindah ke ajaran baru dan sesat yang ia bawa. Oleh karena itu, jangan taati dan jangan dengarkan kata-katanya.” Aku kemudian bertanya kepada ayahku, “Ayah, siapa orang yang selalu mengikuti dan membantah perkataannya itu?” Ayahku menjawab, “Dia adalah pamannya, Abdul ‘Uzza bin Abdul Muththalib, Abu Lahab.” (Siroh Ibnu Hisyam : II/ 48-49).

[3] Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab mengatakan, “Dan makna dari Syahadat Muhammad Rosululloh adalah mentaati perintah beliau, membenarkan apa yang beliau beritakan, menjauhi apa yang beliau larang dan peringatkan serta tidak beribadah kepada Alloh kecuali dengan apa yang beliau syareatkan” (Al Ushul Ats Tsalatsah) Al Hakim berkata: “Maksudnya adalah pembenaran yang mantap dari lubuk hati terdalam yang bersesuaian dengan lisan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya kepada semua manusia, orang maupun jin, sebagai saksi, pemberi kabar gembira dan peringatan sekaligus da’i kepada Alloh dan lentera yang terang. (QS. Al Ahzab : 45).

Maka wajib mempercayai semua yang beliau beritakan baik berita yang telah berlalu maupun yang akan datang, membenarkan dalam perkara yang beliau halalkan dan haramkan, juga melaksanakan serta patuh terhadap perintah beliau, menahan diri serta berhenti dati semua yang beliau larang, mengikuti syareatnya, beriltizam terhadap sunnahnya baik ketika sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan diiringi rasa ridho terhadap keputusan beliau serta pasrah terhadapnya, juga mentaati beliau sama artinya mentaati Alloh, sementara bermaksiat kepadanya sama artinya bermaksiat kepada Alloh… (I’lamu ‘s-Sunnah Al Mansyurah Li I’tiqodi ‘t-Thoifah Al Manshuroh hal. 21).

[4] Sebagian kelompok keliru dalam memahami kata “An Nushroh”, lantas mereka membesar-besarkannya dan memberikan ukuran yang terlalu besar dari yang semestinya. Di dalam kitabnya yang berjudul Ath Thariq Ila Isti’nafi Hayatin Islamiyatin wa Qiyami Khilafah Roosyidah, Syaikh Abdul Mun’im Mushthofa Halimah menulis: “Mengenai perkataan sebagian orang: ‘Tidak ada jalan untuk tegaknya kekhilafahan melainkan dengan cara mencari nushrah (pertolongan), sebagai sikap mengambil contoh kepada perbuatan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam yang mana beliau memohon nushrah kepada para kabilah dan pemimpin arab.’ Kita bisa mengkonter syubhat ini dengan memaparkan beberapa pint dibawah ini: Pertama: Jika mereka mengatakan bahwa meminta nushrah itu disyareatkan, berarti boleh boleh saja bagi harakah islamiyah untuk melakukannya jika memungkinkan, dan tentu ia akan mendapat jalan dari sana. Ini pendapat yang benar dan tidak silang pendapat di dalamnya. Namun ini bukan berarti menjadi pembenaran bagi umat untuk kemudian duduk duduk saja tidak melakukan I’dad dan jihad di jalan Alloh, juga tidak boleh menghalangi mereka dari hal itu.

[5] Ini terjadi pada tahun 10 H (Ar Rakhiqul Makhtum: 115), Ibnu Ishaq berkata: Az Zuhri menceritakan kepadaku bahwa beliau --- yakni Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam --- mendatangi Bani Amir bin Sha’sha’ah, kemudian menyeru mereka kepada Alloh ta'ala, dan beliau menghadapi mereka langsung. Maka ada seorang dari mereka yang mengatakan, “Demi Alloh, kalau seandainya aku mengambil pemuda Quraisy ini, bangsa arab akan memangsanya.” Kemudian ia berkata: “Bagaimana menurutmu jika kami berbai’at kepadamu dalam urusan ini, kemudian Alloh memenangkanmu atas semua yang menyelisihimu, apakah kami akan mendapatkan urusan (kepemimpinan) sepeninggalanmu?” Beliau menjawab, “Kepemimpinan itu urusan Alloh, Ia meletakkannya sekehendak-Nya.” Orang itu mengatakan kepada beliau, “Apakah kau akan korbankan leher leher kami untuk menghadapi bangsa arab guna membelamu, kemudian setelah Alloh memenagkanmu, urusan dipegang oleh selain kami? Kami tidak butuh dengan urusanmu.” Akhirnya mereka menolak beliau. (Siroh Ibnu Hisyam: II/ 49-50).

[6] Imam Hamd bin Ali bin Utaiq berkata, “Adapun memusuhi orang-orang kafir dan musyrik, ketahuilah bahwa Alloh ta'ala telah wajibkan hal itu dan menegaskan akan kewajibannya. Alloh telah haramkan sikap loyal kepada mereka dan keras dalam hal itu, hatta tidak ada dalam kitab Alloh ta'ala satu hukum yang dalilnya lebih banyak dan lebih gamblang melebihi hukum ini setelah wajibnya tauhid dan haramnya syirik.” (Sabilun Najah wal Fikaak Min Muwaalaatil Murtaddiin Wa Ahlil Isyraak).

[7] Ustadz Sayyid Quthb mengatakan, “(Termasuk dalam hal ini) adalah orang-orang yang mengira diri mereka berada di dalam agama Alloh, dikarenakan mereka mengatakan dengan mulut-mulut mereka, ‘Kami bersaksi tiada ilah yang hak selain Alloh dan Muhammad adalah utusan Alloh.’ Kemudian mereka juga taat beragama kepada Alloh secara nyata dalam hal thaharah, syi’ar-syi’ar, pernikahan, talak dan waris, dalam waktu yang sama juga tunduk dibelakang rukun yang sempit ini kepada selain Alloh, mereka juga tunduk kepada syi’ar-syi’ar yang Alloh tidak memberikan izin terhadapnya --- dan kebanyakan adalah yang menyelisihi syareat Alloh dengan terang terangan --- kemudian mereka mencurahkan nyawa, harta, kehormatan dan akhlak mereka --- mau tidak mau --- untuk merealisasikan dari apa yang diminta oleh berhala gaya baru ini. Jika din, akhlak atau kehormatan bertabrakan dengan tuntutan-tuntutan berhala-berhala ini, mereka campakkan perintah-perintah Alloh di dalamnya dan mereka melaksanakan perintah dari berhala-berhala tadi. Orang-orang yang mengira dirinya muslim dan berada diatas din Alloh, sementara seperti ini kondisinya, hendaknya mereka sadar akan kesyirikan besar yang terdapat pada diri mereka! Sesungguhya din Alloh bukanlah sesepele ini seperti yang dibayangkan oleh mereka yang mersa dirinya muslim dibelahan bumi timur maupun barat! Sesungguhnya din Alloh adalah manhaj universal yang mencangup semua sisi kehidupan sehari-hari hingga hal-hal yang kecil – apalagi dalam masalah yang prinsip dan luas – itulah din Alloh. Dan itulah islam yang mana Alloh tidak akan menerima dari siapapun din selainNya. (Lihat tafsir surat Ibrahim).

[8] Abdurrahman bin Hasan berkata, “Di dalam syahadat Laa ilaaha illallah harus ada tujuh syarat, kalimat itu tidak bermanfaat bagi yang mengucapkan kecuali dengan menghimpun ketujuh syarat ini. Pertama, Ilmu yangmenafikan jahl (ketidaktahuan), Kedua Yakin yang menafikan keraguan, Ketiga Qabul (menerima) yang menafikan penolakan, Keempat Inqiyad (tunduk) yang menafikan at tarku (meninggalkan), Kelima Ikhlas yang menafikan syirik, dan Ketujuh Mahabbah (cinta) yang menafikan kebalikannya (benci, penerj.)” Beliau juga mengatakan, “Jadi, syahadatain mesti terdapat di dalamnya ilmu, yakin dan amal dari makna yang ditunjukkannya… Adapun sekedar mengucapkannya tanpa mengetahui maknanya, tidak pula meyakini maupun mengamalkan konsekwensinya; tanpa ada sikap bara’dari kesyirikan, mengikhlaskan perkataan dan perbuatan – kata-kata hati dan lisan, maupun perbuatan hati dan anggota badan -, maka hal itu tidak bermanfaat sedikitpun berdasarkan ijma’.” (Fathul Majid : 46-49).

[9] Asy Syahid ‘Abdulloh ‘Azzam, beliau dilahirkan di Jenin tahun 1360 H, menyelesaikan studi di Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah di desanya. Lalu melanjutkan belajarnya di fakultas pertanian dan agrobisnis, berhasil meraih gelar diploma dengan nilai Cumlaude, kemudian bekerja di dunia mengajar dan meneruskan kembali di dalam menuntut ilmu syar’iy hingga beliau berhasil mengambil kuliah fakultas syari’ah Universitas Damaskus, di sana mendapat ijazah Lc, kuliah syar’iyyah dengan nilai Jayyid Jiddan tahun 1386 H. pasca jatuhnya Tepi Barat tahun 1387 H, beliau kembali ke Palestina untuk melaksanakan kewajiban I’dad dan jihad, di sana beliau sempat terjun di beberapa peperangan, lantas melanjutkan ke Al Azhar danmeraih ijazah Magister dalam fakultas Ushul Fikih tahun 1389 H dengan predikat Jayyid Jiddan, dan kembali tahun 1390 H ke Yordan bekerja sebagai dosen di Kuliah Syari’ah di Amman. Beliau diutus oleh lembaga kuliah ke Al Azhar untuk mencari ijazah Doktoral dalam Ushul Fikih, beliau berhasil meraihnya pada tahun 1393 H. tahun 1400 H, keluar surat keputusan dari fihak kemiliteran Yordan berisi pemecatan beliau dari pekerjaan beliau di Kuliah. Akhirnya beliau pindah ke Jazirah Arab untuk mengajar di King Abdul Aziz University di Jeddah. Tahun 1401 H beliau dimutasi ke Jami’ah Islamiyah di Islamabad untuk mengajar berdasarkan permintaan beliau sendiri agar dekat dari jihad Afghan, menolak memperbaharui kontrak disana, beliau lalu mengajukan pengunduran dirinya dari Jami’ah Islamiyah Islamabad, dan berkosentrasi kepada aktifitas jihad dan membakar semangat ummat. Di tanggal 24 Rabiul Awal 1410 H, ketika syaikh sedang dalam perjalanan menuju masjid Sab’ul Lail di Pesawar untuk menyampaikan khutbah jum’at, mobilnya melintasi sebuah ranjau yang sengaja ditanam fihak kafir dunia. Beliaupun terbunuh syahid – kami menganggap seperti itu, dan Alloh lah yang akan menghisabnya – musuh-musuh Alloh mengira bahwa dengan terbunuhnya Syaikh rh akan mempersempit gaung yang akan melibas tempat tidur mereka dan tempat tidur antek mereka. Tetapi … Tidak mungkin, raksasa ini telah bangun dari tempatnya, semoga Alloh merohmati tuan kita ini, ketika beliau mengatakan, “Sesungguhnya, kata-kata kita akan terus mati sebagai sekedar upacara-upacara lilin, tidak ada gerakannya dan hanya terdiam. Hingga bila kita mati karenanya, ia akan bangkit hidup dan hidup bersama mereka yang hidup. “Inilah para pemuda anggota jihad hari ini, itulah sosok pemuda yang bersih dan tawadhu’ memberikan pelajaran menyakitkan bagi Amerika dan sekutu serta anteknya di belahan bumi timur dan barat dari kalangan bangsa yang memegang piala dengan menyakiti orang lain sejak masa waktu yang lama, sedangkan yang akan datang lebih pahit dan dahsyat dengan izin Alloh. – semoga Alloh merahmati Syaikh ‘Abdulloh ‘Azzam dan memberikan pahala yang sebaik-sebaiknya atas jasa beliau terhadap islam dan pemeluknya -.

[10] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh berkata, “Adapun jika musuh menyerang maka tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, sesungguhnya menolak mara bahaya mereka dari din dan nyawa serta kehormatan adalah wajib berdasarkan ijma’.” (Al Fatawa Al Kubro IV/607, untuk tambahan silahkan melihat kitab Syaikh ‘Abdulloh ‘Azzam, Ad Difa’ ‘an Araadhil Muslimin Ahammu Furuudhil A’yan.).

[11] Ibnu Qudamah berkata,”Jihad menjadi fardhu ‘ain pada tiga tempat:

Pertama: Ketika dua pasukan dan dua barisan sudah saling berhadapan, haram bagi siapa yang hadir untuk pergi dan posisi dia menjadi fardhu ‘ain, sebagaimana firman Alloh ta'ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا لَقِيْتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوْا وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيْرًا - إلى قوله - وَاصْبِرُوْا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya – hingga firmannya - dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Anfal : 45-46)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَالَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوهُمُ اْلأَدْبَار وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ

“Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Alloh.” (QS. Al Anfaal : 15-16).

Kedua: Ketika kaum kuffar menduduki negeri, maka penduduknya wajib memerangi dan mengusir mereka.

Ketiga: Apabila imam memobilisasi secara umum sebuah kaum, maka mereka harus pergi berperang bersamanya, sebagaimana firman Alloh ta'ala,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَالَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى اْلأَرْضِ

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu :"Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Alloh" kamu meresa berat dan ingin tinggal ditempatmu…? (QS. At Taubah: 38 dan juga ayat setelahnya)

Nabi juga bersabda,

وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا

“Apabila kalian diminta untuk berperang maka berperanglah.” (HR. Muttafaqun ‘Alaihi)

(Al Mughniy: X/365).

[12] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rh berkata, “Adapun perang defensif, maka ia adalah jenis terbesar dari mengusir musuh yang merenggut kehormatan dan agama, dan menurut ijma’ hukumnya adalah wajib. Maka, musuh menyerang yang merusak agama dan dunia, tidak ada yang lebih wajib setelah beriman selain mengusirnya, tidak disyaratkan disana satu syaratpun, tetapi dia harus mengusir semampu dia. Para ulama’ pengikut kami serta yang lain telah menashkan hal itu.” (Al Ikhtiyaaroot Al ‘Ilmiyah tulisan Ibnu Taimiyah, mengambil dari Al Fataawaa Al Kubroo IV/608).

[13] Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَن دَخَلَ مَسْجِدَنَا هَذَا يَتَعَلَّمُ خَيراً أَو يُعَلِّمُهُ كاَنَ كاَلمُجاَهِد فِي سَبِيلِ اللهِ

“Barangsiapa memasuki masjid kami ini, atau belajar suatu kebaikan atau mengajarkannya, ia seperti seorang mujahid fi sabilillah.” (HR. Imam Ahmad).

[14] Tarikh Baghdad XIII/377.

[15] Abul ‘Abbas Al Janubi rohimahulloh, namanya adalah ‘Abdul ‘Aziz Al ‘Umari, salah seorang perwira dalam perang penuh berkah di New York dan Washington, beliau berada di dalam pesawat yang menabrak menara selatan WTC. Dalam wasiatnya ia mengatakan, “Risalah keempat, kepada para penuntut ilmu, kepada mereka yang berkutat dengan buku-buku dan berkumpul disisi para ulama’ dan masyayikh, ungkapan: ‘ah, seberapa sih harga diri dalam dirimu? Saya sudah mengalami sejarah panjang, aku telah menyertai banyak sekali orang seperti anda, orang yang memiliki budi pekerti mulia, pagi dan sore ia selalu menapaki jalan ke surga, sungguh itu merupakan kenikmatan yang engkau diperdaya dengannya.’ Tapi ketika disebutkan tentang jihad, ada seribu kata, “Tidak.” Sungguh jauh perbedaan antara duduk-duduk saja dengan ketika engkau terjun langsung ke medan-medan perang. Wahai penuntut ilmu, cita-cita untuk memperbaharui kehidupan yang sekarang sedang engkau alami, keluarlah untuk berperang di jalan Alloh sekali saja, dan rasakanlah manis getirnya jalan ini, tengoklah kepada sejarah! Lihatlah ke medan-medan jihad! Jika engkau ingin menjadi seorang da’i yang benar, maka medan-medan jihad membutuhkan orang sepertimu! Dan ketahuilah meskipun orang seperti dirimu tidak takut, jihad tetap akan berjalan, sunnatullah tetap akan berlaku,

وَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ

“Dan sesungguhnya Alloh Maha Kaya (tidak butuh) kepada seluruh alam semesta”

وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ ثُمَّ لا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

“…dan jika kalian berpaling, Alloh akan mengganti kaum selain kamu, lalu mereka tidak akan seperti kalian.”

“Sesungguhnya pengorbanan adalah suatu keharusan, tetapi iman selalu berkaitan dengan amal, dan inilah harga sebuah perbaikan, dan surga itu mahal harganya.”

[16] Hudzaifah ra berkata: “Sesungguhnya sahabat-sahabatku belajar kebaikan, sedangkan aku belajar tentang keburukan.” Ada yang bertanya:

[17] Redaksi hadits selengkapnya :

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا؟ قَالَ: هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا! قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِيْ إِنْ أَدْرَكَنِيْ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ، قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ؟ قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعُضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Aku katakan, ‘Wahai Rosululloh, sebutkan kepada kami ciri mereka?” Beliau bersabda, “Mereka satu kulit dengan kita, dan berkata-kata dengan bahasa kita, “aku bertanya, “Lantas apa yang engkau perintahkan seandainya aku menemuinya?” Beliau bersabda, “Lazimilah Jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.” Aku bertanya lagi, “Jika mereka tidak memiliki jama’ah maupun imam ?” Beliau bersabda, “Jauhilah semua kelompok itu, meskipun engkau harus menggigit akar pepohonan sampai kematian mendatangimu dan engkau tetap berada dalam hal itu.”

[18] Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda,

غَيْر الدَّجَّالِ أَخْوَفُ عَلَى أُمَّتِيْ مِنَ الدَّجَّالِ؛ اْلأَئِمَّةُ الْمضُلُّوْنَ

“Selain dajjal yang aku sangat khawatirkan menimpa umatku dari Dajjal yang sesungguhnya adalah para imam yang menyesatkan.” (HR. Imam Ahmad)

[19] Ibnul Qayyim rh. berkata, “Di antara keistimewaannya ~yakni Alloh mensucikanya dan mensucikan rumah-Nya~ adalah bahwa detik niat melakukan kejahatan di dalamnya pasti akan mendapatkan hukuman meskipun ia tidak melaksanakannya, Alloh ta'ala berfirman,

وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

“…Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara dzalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.” (QS. Al-Hajj : 25)

Di sini Alloh mengancam siapa saja yang berkeinginan melakukan kedzaliman, pasti akan Ia timpakan kepadanya adzab yang pedih, dari sini semakin berlipatlah nilai kejahatan yang dilakukan di dalamnya… jadi kejahatan di negeri yang Alloh sucikan dan di atas permukaan tanahnya lebih kuat dan lebih besar daripada kejahatan yang dilakukan di belahan bumi lain. Oleh karena itu, tidaklah sama orang yang bermaksiat kepada seorang raja di bidang kekuasaannya dengan orang yang bermaksiat kepadanya di tempat yang jauh dari negeri dan lantainya.” (Zadul Ma’ad I/17)

[20] Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Sesungguhnya para thaghut itu , yang manusia meyakini wajibnya mentaati mereka selain Alloh, semuanya telah kafir dan murtad dari Islam. Bagaimana tidak, sementara mereka menghalalkan apa yang Alloh haramkan dan mengharamkan yang dihalalkan-Nya. Mereka juga berbuat kerusakan dengan kata-kata, perbuatan dan dukungan mereka.

Dan siapa berani membela alasan mereka serta mengingkari orang yang mengkafirkan mereka, atau berasumsi bahwa perbuatan mereka ini ~meskipun bathil~ tidak akan mengeluarkan mereka kepada kekufuran, maka kondisi minimal orang yang membela mereka adalah fasiq. Sebab dinul Islam tidaklah sah kecuali dengan berlepas diri dan mengkafirkan mereka. (Rasa-il Syakhsyiyyah : hal. 188)

[21] Teks hadits selengkapnya adalah,



فَلَمَّا فَعَلُوْا ذَلِكَ ضَرَبَ اللهُ قُلُوْبَ بَعْضِهِمْ بِبَعْضٍ، ثُمَّ قَالَ ‏{لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ...}إِلَى قَوْلِه {فَاسِقُونَ}، ثُمَّ قَالَ: كَلاَّ وَاللهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ وَلَتَأْخُذُنَّ عَلَى يَدَي الظَّالِمِ وَلَتَأطرنه عَلَى الْحَقِّ أَطَرًّا وَلَتَقْصرنه عَلَى الْحَقِّ قَصْرًا

“..Ketika mereka melakukan hal itu, Alloh benturkan hati mereka satu sama lain.” Kemudian bersabda, (firman Alloh) ‘telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan perantara lisan ‘Isa bin Maryam…” hingga firman-Nya, “…mereka fasik. “Lalu bersabda, “Demi Alloh, benar-benar hendaknya kalian beramar makruf nahi munkar, dan kalian mengambil tangan orang dzalim dan kalian arahkan ia kepada kebenaran serta kalian batasi ia di atas kebenaran saja.”

[22] Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata mengenai pembatal-pembatal keislaman, “Kedelapan, membantu serta menolong orang-orang musyrik dalam memerangi orang-orang beriman. Dalilnya adalah firman Alloh ta'ala,

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ



“Dan siapa yang berwali kepada mereka, ia termasuk golongan mereka, dan Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang dzalim.”

[23] Ahmad Manshur ~pembawa acara dalam sebuah acara tayangan kontemporer di stasium Al-Jazeera~ pernah bertanya kepada Tholal bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud: “Benarkan ia~ yakni musuh Alloh Abdul Aziz Alu Su’ud ~ menerima gaji dari pemerintah Inggris?” Ia menjawab, “Oh ya, benar, ia memang menerima gaji, dan gajinya ini menurut saya ketika ia berhasrat untuk pemindahan kekuasaan dari gaji ini, gaji itu seperti pinjaman, pinjaman yang diberikan negara kaya kepada negeri miskin.”

Pembawa acara itu berkata, “Artinya, gaji ini bukan untuk membungkam raja atau barangkali sejenis pembelian sikap loyalitas (Wala’)?” Ia berkata, “Mungkin, mungkin sekali. Sebab itu adalah misi Inggris, tentu saja sangat logis mereka memberi bantuan sebesar 5000 pound kala itu kepada seseorang yang tinggal di daerah padang pasir. Sebuah jumlah yang besar! Apa mungkin mereka memberikannya begitu saja karena Alloh? Tidak! Mereka memberikannya untuk tujuan sebagaimana dalam diri Ya’kub, itu tidak diragukan lagi. Yang penting, orang yang menerima pemberian ini, bagaimana ia menakwilkannya? Bagaimana ia harus menggunakannya? Dan bagaimana ia sejalan dengan orang yang memberi?” (Dipetik dari acara tayangan Dunia Kontemporer; Sejarah Kerajaan Saudi dalam Kacamata Pangeran Tholal, edisi pertama; Selasa 9-9-1421 H.

[24] Qadhi ‘Iyadh berkata, Ulama telah berijma’ bahwa kepemimpinan tidak bisa dilimpahkan kepada orang kafir, dan mereka juga sepakat, bahwa jika tiba-tiba ia kafir, ia harus ‘dilengserkan’…demikian juga kalau ia meninggalkan pelaksanaan shalat dan ajakan kepadanya…demikian juga ketika terjadi kebid’ahan menurut jumhur. Jika seorang pemimpin tiba-tiba kafir dan mengganti syari’at atau melakukan bid’ah, ia telah keluar dari wilayah Wala’(kesetiaan), gugurlah ketaatan kepadanya dan kaum muslimin wajib melawan dan menurunkannya serta mengangkat pemimpin yang adil jika itu memungkinkan.

Jika hal itu tidak bisa dilaksanakan selain dengan berkelompok, wajib bagi kelompok tersebut untuk melepaskan orang kafir ini, dan tidak wajib bagi ahli bid’ah kecuali ketika mereka bisa memastikan kepastian bisa menyelesaikannya. Jika memang masih dalam kondisi lemah, tidak wajib melakukannya dalam bentuk kelompok, dan seorang muslim sebaiknya berhijrah dari negerinya ke negeri lain serta lari membawa agamanya.” (Syarah Shohih Muslim Imam Nawawi : XII/229) Ibnu Hajar berkata, “Kesimpulanya, bahwa kepemimpinan itu dilepas dengan adanya kekufuran menurut Ijma’. Maka wajib bagi setiap muslim untuk melawan dalam hal itu.” (Fat-hul Bari : XIII/123)

[25] Kanzul ‘Ummal, dalam redaksi Imam Ahmad, “Orang fasik yang berbicara dalam urusan orang banyak.”

[26] Dalam headline koran Al-Bayan yang terbit di Uni Emirat yang berjudul “Kedamaian menurut cara Amerika” disebutkan, “Di saat-saat seperti yang digambarkan oleh Tiery Larshen, selaku delegasi PBB tahun ini, bahwa yang terjadi di Jenin adalah kekejaman melebihi yang dibayangkan! Dan ketika semua petinggi dari berbagai negara meminta agar para pelaku pembantaian ini diajukan ke Mahkamah Internasional, maka presiden Walker Bush malah menjuluki Sharon sebagai ‘tokoh perdama’an’ yang mengingingkan Israel hidup damai bersama tetangganya, jika Sharon saja disebut sebagai tokoh permaian, lalu siapa sebenarnya yang teroris? Dan siapa pembantai itu?!” (Koran Al-Bayan/Sabtu/ 7 Shafar 1423 H)

[27] Nabi bersabda

‏بَادِرُوْا بِاْلأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

“Segeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah seperti pekatnya kegelapan malam, pagi hari seseorang masih beriman, sore hari kafir. Sore hari ia beriman, pagi hari kafir, ia jual agamanya dengan sedikit perhiasan dunia.” (HR. Muslim)

[28] Adz-Dzahabi berkata, Ibnu ‘Ammar Al-Mushili berkata dalam Tarikhnya, Ali Al-Madini berkata kepadaku, ‘Apa yang menghalangimu untuk mengkafirkan Jahmiyyah?’ ~tadinya, aku memang tidak mengkafirkan mereka~. Ketika Ali menghadapi cobaan, aku menulis surat kepadanya dan kuingatkan dia mengenai apa yang dulu pernah ia katakan kepadaku dan Aku mengingatkan ia akan Alloh, maka ada seseorang yang memberitahuku tentang dia bahwasanya saat ia membaca tulisanku ia menangis.

Selang beberapa waktu, kusaksikan ia mengatakan kepadaku, “Isi hatiku tidaklah seperti yang kukatakan, tetapi aku khawatir akan dibunuh, dan engkau sendiri tahu lemahnya aku, aku ini seandainya dicambuk sekali saja, bisa-bisa aku mati.” Atau kata-kata yang mendekati itu. (Siyaru A’lamin Nubala’ : XI/57)

[29] Adz-Dzahabi berkata, “Ia adalah imam yang mumpuni, syaikh ahli hadits.” Ia juga berkata, “Yahya termasuk imam sunnah, lalu ia takut kepada cambuk pemerintah dan menurut saja sebagai bentuk taqiyyah (pura-pura, penerj.) (Siyaru A’lamin Nubala : XI/71 dan 78)

[30] Syaikh Usamah mengatakan, “Tatkala Amerika masuk Saudi pada Bulan Muharram awal tahun 1411 H dan keluarlah beberapa fatwa ~ menyedihkan betul ~ , negara ini dan negara-negara teluk turut andil dalam rangka menekan para ulama tersebut untuk mengeluarkan fatwa seperti ini yang mereka kira hanya berlaku sementara. Ada orang yang kami anggap bisa dipercaya yang bercerita kepada kami dari para ulama tersebut, di antaranya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam majelis di rumah beliau, beliau mengatakan, “Tadinya kami tidak mengeluarkan fatwa, namun setelah pemerintah memasukkan orang-orang Amerika, mereka mengumpulkan kami dan mengatakan. Kalian harus mengeluarkan fatwa, jika tidak, para pemuda akan memerangi kekuatan militer Amerika ini!! Saya ngobrol lama dengan beliau tentang keharusan mengeluarkan fatwa dari Majelis Kibarul ‘Ulama’ untuk mengusir mereka, maka beliau mengatakan kepada saya terus terang ~ Syaikh Usamah sampai bersaksi kepada Alloh yang tiada ilah yang hak selain-Nya~ beliau mengatakan, “Wahai Usamah! Bukan hak kami Hai’ah Kibarul ‘Ulama’ mengeluarkan fatwa semau kami, tapi hanya ketika ada masalah yang dilimpahkan kepada kami dari fihak atasan ~ menurut istilah beliau ~ barulah kami mengeluarkan fatwa dalam hal itu.” Inilah kondisi kita, menyedihkan betul. (Jumpa pers dengan saluran Al-Jazeera tahun 1420 H)

[31] Syaikh Ayman Adh-Dhowahiry berkata, “…Maka mufti negara Mesir, dimana ia merupakan pegawai resmi pemerintah Mesir yang menerima gaji darinya untuk melaksanakan pekerjaannya di mana ia sengaja disewa untuk itu, padahal itu merupakan pencampuran antara syari’at dengan sistem sekuler yang menyerang kaum muslimin dan itu merupakan bentuk loyal kepada Yahudi, maka ia berada dalam bentuk ghuluw orang-orang ekstrim lagi arogan dari kelompok murji-ah masa dulu. Dia sendiri yang memberikan fatwa Mahmakah Militer sekuler untuk menghukum mati lima mujahid pahlawan Islam di Mesir ~ Muhammad ‘Abdus Salam Faroj, ‘Abdul Hamid ‘Abdus Salam, Kholid Islambuly, Husain ‘Abbas dan ‘Artha Thoyal ~ di mana kelima orang inilah yang menghabisi Anwar Sadat yang telah menandatangani empat kesepakatan dengan Israel, di dalamnya berisi perjanjian pengakuan kedaulatan Israel dan kekuasaannya terhadap Palestina… dari keempat ini, kesepakatan paling terkenal adalah perjanjian damai dengan Israel tahun 1979 yang menetapkan berakhirnya perang antara Mesir dan Israel buat selamanya, bahkan mengajak untuk mengadakan hubungan bilateral, dengan Israel dalam semua lini, politik, ekonomi dan intelektual, kemudian Al-Azhar mengeluarkan fatwa yang mengamini kesepakatan ini, di sana ia menyatakan bahwa itu sudah sesuai dengan syariat.” (Al-Wala’ wal Bara’, ‘Aqidatun Manqulatun wa Waqi’un Mafqudun).

[32] Ibnul Jauzi berkata, “Perlu diketahui bahwa secara umum pengikut madzhab-madzhab yang ada itu menganggap besar sosok tertentu, lantas mereka mengikuti kata-katanya tanpa memikirkannya, dan ini adalah bentuk kesesatan; sebab melihat itu kepada kata-katanya, bukan kepada siapa yang mengatakan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ali ra kepada Harits bin Hauth --- sebelumnya ia mengatakan kepada beliau, ‘Apakah anda mengira kami akan menduga bahwa Tholhal dan Zubair keduanya diatas kebathilan?’ --- Beliau mengatakan kepadanya, “Hai Harits! Sesungguhnya engkau terkena syubhat, janganlah engkau menentukan kebenaran dengan melihat seseorang tokoh, tapi pahamilah hakekat kebenaran itu, niscaya engkau akan mengerti siapa penyandangnya”. (Talbis Iblis hal. 80).

[33] Syaikh bin Baz --- mufti Kerajaan Saudi --- berkata, “Para ulama’ Islam telah berijma’ bahwa siapa saja yang membantu orang-orang kafir untuk melawan kaum muslimin serta menolong mereka dengan bentuk apapun, dia telah kafir seperti mereka!!” (Majmu’ Fataawaa wal Maqoolaat I/ 274), Beliau juga berkata, “Adapun orang-orang kafir harbiy, maka tidak diperbolehkan menolong mereka dengan apapun, bahkan membantu mereka dalam rangka untuk memerangi kaum muslimin termasuk dari pembatal keislaman, berdasarkan firman Alloh ta'ala:

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“…dan siapa yang berwali kepada mereka diantara kalian, maka ia termasuk golongan mereka.” (Fatawa Islamiyah/ disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid IV/ fatwa no. 6901) Syaikh Sholih Fauzan --- anggota Hai-ah Kibaril Ulama’ Saudi --- , “Diantara indikasi bentuk berwali kepada orang kafir adalah membantu dan menolong mereka dalam rangka memusuhi kaum muslimin, memuji serta membela mereka. Dan ini termasuk pembatal keislaman serta sebab terjadinya riddah (murtad).” (Al Irsyad Ila Shohihil I’tiqod, hal. 351).

[34] Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعُ فِيْهَا، كَمَثَلِ؛ قُوْمٍ اسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِيْنَ فِيْ أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرَّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوْا؛ لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِيْ نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا! فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعًا) رواه البخاري

“Perumpamaan orang yang menegakkan hukum had Alloh dan mereka yang terjerumus di dalamnya adalah ibarat satu kaum yang mengundi menaiki kapal. Sebagian mendapatkan bagian diatas, dan sebagian lagi di bawah. Maka orang yang berada di bagian bawah apabila ingin mengambil air, mereka melewati orang yang berada diatasnya. Lalu mereka berkata, ‘Bagaimana kalau kita lobangi saja pada bagian kita ini, sehingga kita tidak mengganggu mereka yang diatas kita!’ Jika mereka membiarkan apa yang orang-orang tadi, semuanya akan binasa. Tapi jika mereka mau mencegahnya, mereka selamat dan semuanya selamat.” (HR. Al Bukhori)

[35] Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda,

سَيَكُوْنُ بَعْدِي أُمَرَاءُ، فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ؛ فَلَيْسَ مِنِّيِ وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَي الْحَوْضِ...

“Akan ada sepeninggalanku para pemimpin, siapa yang masuk dan membenarkan mereka serta membantu dalam kezaliman yang mereka lakukan, maka ia bukan termasuk golonganku dan aku bukan dari golongannya, ia juga tidak akan mendatangi telagaku…” (HR. Tirmidzi, ia berkata shohih ghorib, kami tidak mengetahui selain dari jalur ini.)

Diriwayatkan pula dari beliau shollallohu 'alaihi wa sallam,

إِذَا رَأَيْتَ الْعَالِمَ يُخَالِطُ السُّلْطَانَ مُخَالَطَةً كَثِيْرَةً، فَاعْلَمْ أَنَّهُ لِصٌّ

“Apabila kalian menyaksikan seorang alim yang bergaul terlalu sering dengan penguasa, ketahuilah bahwa dia itu pencuri.” (Kanzul ‘Umal).

Muhammad bin Maslamah mengatakan, “Lalat diatas kotoran, lebih baik daripada qori’ (Pembaca Al Qur-aan) di depan pintu para penguasa itu.” Asy Syuyuthi berkata: “Jumhur ulama’ salaf serta ulama’ khalaf yang sholih berpendapat bahwa hadits dan atsar-atsar ini dipahami secara apa adanya dan secara mutlak. Tidak ada bedanya, apakah penguasa itu memanggil mereka untuk datang kepadanya atau tidak, sama saja, mereka memanggil untuk kepentingan din atau yang lain.” Sufyan Ats Tsauriy berkata: “ Jika para penguasa itu memanggilmu untuk membacakan Qul Huwallahu Ahad, jangan datangi mereka.” (Ma rawaahul Asaatiin fi Adami Majii-I Ilaa Salaatiin, Asy Syuyuthiy hal. 85-86)

[36] Abul Faraj Ibnul Jauziy berkata: “Diantara bentuk talbis iblis terhadap para fuqaha’ adalah bergaulnya mereka dengan para pemimpin dan penguasa, serta bermudahanah dan meninggalkan sikap pengingkaran kemungkaran mereka --- padahal ia mampu melakukannya ---, tak jarang mereka memberikan rukhsoh kepada para penguasa itu dalam hal yang sebenarnya tidak ada rukhsoh di dalamnya dengan tujuan memperoleh dunia yang mereka miliki. Dengan itu, terjdilah kerusakan dari tiga segi, pertama: Penguasa tersebut akan mengatakan, ‘Seandainya aku tidak diatas kebenaran, tentu orang fakih ini akan mengingkari perbuatanku, bagaimana aku tidak dalam posisi yang benar, sedangkan ia makan dari hartaku’. Kedua: orang-orang awam akan mengatakan, ‘Tidak ada masalah dengan penguasa ini, tidak ada masalah dalam harta dan apa yang ia lakukan, sebab fulan yang fakih itu terus berada di sisinya’. Ketiga: Pada si fakih itu sendiri, sesungguhnya ia telah merusak agamanya dengan perbuatannya itu.” (Talbis Iblis, hal. 118).

[37] Syaikh Aiman Adh Dhowaahiriy mengatakan: “Ada ribuan pemuda yang hidup terbelunggu oleh nama-nama yang tampak menggema ini; Ibnu Baaz, Al ‘Utsaimin, Abu Bakar Al Jazaairiy, para pemuda itu asal ikut saja kepada mereka, atau minimal tidak berani berpendapat lain dengan mereka, meskipun mereka melakukan kesalahan yang besar dan penyimpangan yang parah… sudah saat bagi para pemuda muslim untuk membebaskan diri dari mereka, dari nama-nama yang bergaung besar yang masih saja berada bersama kemunafikan para thoghut hingga akhirnya nama-nama itu menjadi remeh dan mengundang sikap merendahkan dimulut kawan maupun lawan! Dan saatnya bagi para pemuda untuk berkumpul disekeliling para ulama’ pejuang yang jujur dimana mereka menghadapi rintangan dan menanggung cobaan demi agama mereka, serta mereka yang disifati Alloh dalam firmannya:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan kami jadikan mereka pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah kami, ketika mereka bersabar dan mereka yakin terhadap ayat-ayat kami”.

Sudah saatnya para pemuda itu keluar dari ketidaksadaran yang ia hidup di dalamnya serta hendaknya mengerti bahwa peperangan antara islam dan kekafiran, antara yang haq dan yang bathil adalah perang yang menjadi keharusan dan tidak boleh darinya. Siapa yang belum siap menghadapinya atau tidak membuat persiapan untuk menghadapinya, ia akan menjadi korban pertama dari perang itu… kebenaran itu terang sementara kebathilan itu samar; sesungguhnya bin Baaz dan ulama’ kelompoknya adalah ulama’ penguasa, mereka menjual kami kepada musuh-musuh kami demi gaji dan jabatan. Biarlah marah orang yang marah dan rela orang yang rela, sesungguhnya barisan iman sebelum menghadapi barisan kafir harus membersihkan diri dari orang-orang yang tidak jelas dan munafik,

وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

“Dan demikianlah, kami rincikan ayat-ayat dan agar jelas mana jalan orang-orang yang jahat”

(Majalah Al Mujahid, edisi ke 11, 3 Sya’ban 1415 H)

[38] An Nawawiy berkata, “Yang dimaksud Jad’an adalah pemuda yang kuat, hingga aku bisa maksimal dalam membantumu.” (Syarkhul Muslim II/ 203).

[39] Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisiy berkata, “Sedikit sekali dari mereka yang memahami hakekat manhaj dari din yang agung ini serta besarnya beban-bebannya. Ketika Alloh telah ciptakan surga dan neraka serta mengutus jibril untuk melihat keduanya, lalu ia melihat surga dan nikmat yang ada di dalamnya kali pertama, ia mengatakan, ‘Demi Alloh, wahai Rabbku tidak ada seorangpun mendengar tentangnya kecuali akan memasukinya. Tapi tatkala ia melihat surga itu ternyata dikelilingi oileh hal-hal yang tidak menyenangkan, ia berkata, ‘Demi Alloh wahai Rabbku aku khawatir tidak ada seorangpun yang memasukinya’ jadi, jalan yang diinginkan Alloh untuk sampai ke surga tidaklah yang sipenuhi dengan bunga-bunga dan wewangian. Tidak! Tetapi jalan itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan dan berbagai ujian, gangguan dan darah. Kalau ada orang yang masuk surga tanpa menempuh jalan seperti ini, tentu yang paling layak adalah para Rosul Alloh dan nabi-nabiNya yang mana mereka telah Alloh pilih dari makhluk-makhluknya yang terbaik, namun ternyata mereka juga disakiti, dijelek-jelekkan dan didustakan.

فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ

“Lalu mereka bersabar atas pendustaan mereka dan disakiti hingga datang pertolongan kami, dan tidak akan berubah kalimat Alloh”.

Hakekat ini diketahui setiap orang yang berfikir akan pelajaran manhaj para nabi dan sejarah dakwah. Oleh karena itu, kalimat pertama yag didengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam setelah diangkat menjadi nabi dari waraqah bin Naufal adalah --- ia membaca kitab-kitab terdahulu ---, tidak ada seorangpun yang datang membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan dimusuhi! Maka orang yang mimpi telah membawa warisan para nabi kemudian mencari keridhoan manusia atau pemerintahan, mereka tidaklah paham akan hakekat manhaj ini…! (Dari sebuah makalah berjudul Lam Ya’ti Rajulun Bi Mitsli Ma Ji’ta Bihi Illa ‘Udiya, Jumadal Akhirah 1423 H).

[40] Teks selengkapnya adalah,

قَالُوْا: (أَمِطْ عَنَّا يَا أَسْعَد! فَوَاللهِ لاَ نَدَعُ هَذِهِ الْبَيْعَةَ أَبَدًا وَلاَ نَسْلُبُهَا أَبَدًا)، قَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنه: (فَقُمْنَا إِلَيْهِ فَبَايَعْنَاهُ، فَأَخَذَ عَلَيْنَا وَشَرَّطَ، وَيُعْطِيْنَا عَلَى ذَلِكَ الْجَنَّةَ

… mereka berkata, “Jangan halangi kami wahai As’ad, demi Alloh kami tidak akan meninggalkan bai’at ini dan tidak akan kami cabut selamanya.” Jabir ra berkata, “Maka kamipun berdiri dan berbai’at kepada beliau, beliaupun mengambil kami dan memberikan syarat, dan memberikan surga akan hal itu.”

[41] Rosululloh bersabda,

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ - أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً - فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ

“Iman itu ada tujuhpuluh sekian --- atau enampulah sekian --- cabang, yang paling utama adalah kalimat laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah bagian dari iman.” (HR. Muslim)

[42] Asy Syanqithiy rh berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti aturan-aturan positif yang dibuat oleh setan melalui lidah wali-walinya merupakan penentangan terhadap apa yang telah disyareatkan Alloh ta'ala melalui lisan para Rosul-Nya shollallohu 'alaihi wa sallam, hal itu tidak diragukan lagi merupakan kekufuran dan kesyirikannya kecuali orang yang bashirohnya dihilangkan Alloh dan ia butakan dari cahaya wahyu seperti mereka.” (Adhwa-ul Bayaan IV/ 83-84).

Dan Ahmad Syakir berkata, “Sesungguhnya perkara dalam undang-undang positif ini sudah jelas seperti jelasnya matahari; itu adalah kufuh bawwah, tidak ada rahasia di dalamnya dan tidak ada yang ditutup-tutupi, serta tidak ada udzur bagi seorangpun yang menisbatkan dirinya kepada Islam --- siapapun orangnya --- untuk mengamalkannya dan tunduk serta mengakuinya. Maka hendaklah seseorang waspada terhadap dirinya sendiri, dan masing-masing orang menjadi penghisab dirinya sendiri.” (‘Umdatut Tafsir IV/ 172).

[43] Sampai di sini selesai sudah ceramah Syaikh Mujahid Usamah bin Ladin hafidzahullah, dan semoga Alloh menjadikan beliau sebagai penyumbat di tenggorokan-tenggorokan orang-orang kafir. Perlu diketahui bahwa penukilan ini selesai dalam bentuk tulisan dari suara rekaman kaset beliau, disertai sedikit perubahan sesuai dengan kebutuhan. Tak lupa, kami memohon kepada Alloh ta'ala agar membesarkan ganjaran dan pahala bagi siapa saja yang turut merampungkan mudhoharah ini dengan suara Syaikh Usamah bin Ladin langsung terdapat qismu shoutiyyat (Kolom suara) di situs kami: “Mimbar Tauhid dan Jihad.” (tawhed.ws).

Tidak ada komentar: