Kamis, 08 Januari 2009

Upaya Orang-Orang Kafir Untuk Merusak Ummat Islam Setelah Mereka Menguasai Negeri-Negeri Mereka Difokuskan Pada Tiga Strategi Utama

Strategi Pertama: Menguras sumber-sumber kekuatan ummat Islam:

Ada tiga sumber kekuatan utama yang dimiliki kaum muslimin, yaitu: SDM (sumber daya manusia), SDA (sumber daya alam) dan persatuan. Orang-orang kafir berupaya menghancurkan ketiga pilar kekuatan ini untuk merusak ummat Islam, menguras kekayaan mereka dan memecah belah kesatuan mereka, sehingga ummat Islam tidak mampu melakukan perlawanan terhadap orang-orang kafir dan sehingga mereka tidak mampu bangkit kembali.

1-- Adapun merusak agama dan akhlak kaum muslimin: Maka orang-orang kafir gigih melakukan upaya di dalamnya dengan berbagai cara: Antara lain melecehkan agama Islam dan menanamkan keragu-raguan terhadap prinsip-prinsipnya; berupaya mentahriif (menyelewengkan) hukum-hukumnya yang bersifat qath`i/absolute, khususnya yang berhubungan dengan hukum, kepemimpinan, jihad, walaa` dan barro` dan hijab; mengungkung ajaran agama dan menyusutkan pengaruh-pengaruhnya supaya ia tetap terbatas pada hubungan antara hamba dan Tuhannya, dan tidak ada hubungan sama sekali dengan perkara-perkara di luar itu seperti urusan politik, hukum, ekonomi dan sosial. Kaum orientalis kafir telah membuat pondasi-pondasi dasar untuk menghina agama Islam dan menyelewengkan ajarannya, kemudian langkah mereka diikuti oleh putra-putra Islam yang menjadi murid-murid mereka. Dan di antara cara orang-orang kafir untuk merusak kaum muslimin ialah menyebarkan: kemaksiatan, liberalisme, minuman keras, narkotik dan zina di tengah-tengah ummat Islam; mendorong kaum wanita mereka untuk mempertontonkan kecantikan dan perhiasan mereka, membuka kerudung mereka dan bercampur gaul dengan kaum lelaki. Itu semua dilakukan dengan nama kebebasan dan peradaban; menanamkan dalam diri kaum muslimin kecintaan terhadap dunia, bermegah-megahan dengannya dan ketamakan terhadapnya. Pendidikan sekuler yang dibuat oleh orang-orang kafir ikut andil dalam mengimplementasikan rencana-rencana perusakan mereka. Sebagaimana untuk merealisir tujuan tersebut, mereka juga didukung oleh mass media-mass media modern seperti: surat-surat kabar, majalah-majalah, bioskop-bioskop, panggung-panggung theater dan radio-radio. Sarana-sarana yang memudahkan jalan bagi mereka untuk melakukan kerusakan secara kolektif terhadap ummat Islam. Maksud tujuan mereka jelas, yakni melemahkan ghirah agama yang ada dalam diri kaum muslimin dan menjadikan mereka sebagai manusia-manusia yang hanya memperturutkan hawa nafsu mereka. Maka dengan begitu mereka bisa memadamkan semangat ummat Islam untuk melakukan perlawanan terhadap orang-orang kafir.

2) Menguras kekayaan: Yaitu harta kekayaan negeri-negeri Islam yang berupa: Hasil-hasil kekayaan alam dan bahan-bahan utama bidang pertanian dan industri. Yang mereka lakukan ialah membeli bahan-bahan tersebut dengan harga yang sangat murah lalu mereka timbun --untuk kemudian mereka jual dengan harga yang sangat tinggi--. Membuka negeri-negeri Islam untuk menjadi pasar penjualan bagi produk-produk orang kafir; melibatkan negeri-negeri Islam dengan dana pinjaman ribawi supaya kekayaan mereka terkuras habis untuk menutup hutang-hutang mereka dan bunganya sekaligus; menyeret negeri-negeri Islam dalam peperangan-peperangan lokal, supaya negeri-negeri tersebut menjadi pasar terbuka bagi eksport senjata-senjata bikinan mereka. Dan bentuk-bentuk pengurasan kekayaan yang lain.

3) Memecah belah kesatuan ummat Islam: Khususnya ketika Daulah `Utsmaniyah melemah kekuatannya di penghujung abad ke 19 M. Orang-orang kafirpun memecah belah kesatuan ummat Islam dari dua sisi:

1-- Dari sisi wilayah geografis: Mereka memecah belah khilafah Islam menjadi negara-negara dan negeri-negeri kecil yang dipisahkan oleh batas-batas politik, dan menanamkan sikap fanatik terhadap negeri-negeri tersebut, mensakralkannya dan siap berkorban untuk membelanya dengan nama nasionalisme, sebagai ganti pensakralan agama dan pengorbanan untuk membela agama.

2-- Dan dari sisi kebangsaan: Mereka memecah belah kaum muslimin menjadi multi bangsa, dan menanamkan fanatisme kebangsaan sebagai ganti fanatisme agama.

Bukan rahasia lagi kalau persatuan ummat Islam merupakan salah satu di antara sebab-sebab utama yang membuat mereka kuat dan bahwa perpecahan mereka menjadi sebab-sebab utama yang membuat mereka lemah.

Orang-orang kafir telah melakukan berbagai macam upaya untuk menghancurkan ketiga pilar kekuatan ini, kalau ada negeri Islam yang tidak terpengaruh oleh rencana-rencana perusakan mereka dan hendak melakukan perlawanan terhadap mereka, maka mereka dihadapkan dengan suatu kenyataan bahwa mereka tidak memiliki kekayaan yang memadai untuk bisa menyiapkan peralatan dan perlengkapan guna melakukan perlawanan dan mengobarkan jihad terhadap mereka. Dan ajakan negeri itu untuk melakukan perlawananpun tak sampai menembus batas wilayah mereka, itu setelah kaum muslimin berhasil dipecah-belah dan dikotak-kotak oleh batas-batas politik dan kebangsaan. Setiap penduduk negeri sibuk memikirkan urusan mereka sendiri, dan sedikit sekali dari mereka yang menaruh keperdulian terhadap apa yang terjadi dengan Islam dan ummat Islam di belahan bumi yang lain.

Strategi Kedua: Menguasai perundang-undangan yang berlaku di negeri-negeri Islam:

Orang-orang kafir belum berhasil mewujudkan tujuan-tujuan mereka di atas, yakni dalam strategi pertama mereka: merusak ummat Islam, menjarah harta kekayaan mereka dan memecah belah persatuan mereka tanpa payung hukum (yakni dengan cara inskonstitusionil) terhadap setiap kejadian yang tengah berlangsung dan setiap peristiwa yang sedang terjadi. Minuman keras yang merusak akal dan badan, zina yang menghancurkan pondasi rumah tangga dan moral dan riba yang membikin melarat anak-anak bangsa dan negeri; maka perusak-perusak ini dan perusak-perusak yang lain tidak akan bisa eksis bertahan dan bisa melakukan perusakan dan penghancuran selagi masih ada hukum-hukum Islam yang mencegahnya dan memberi sanksi hukuman terhadap orang yang melakukannya; kekafiran, kezindikan, pelecehan terhadap agama dan pencemoohan terhadap pemeluknya serta penyebar-luasannya melalui jalan pendidikan dan mass media tak akan terjadi apabila hukum-hukum syari`at masih tegak. Maka dari itu mereka harus menjauhkan hukum-hukum syari`at dari sistem perundang-undangan yang berlaku di negeri Islam dan menggantikan tempatnya dengan hukum-hukum positip. Inilah yang dahulu mereka lakukan di setiap negeri Islam yang mereka kuasai. Dan itu tidak dilakukan oleh bangsa Tartar setelah mereka berhasil mencaplok negeri-negeri Islam di abad Ketujuh Hijriyah. Bangsa Tartar yang kafir dan paganis itu tidak memaksakan hukum-hukum mereka kepada kaum muslimin. Mereka menjadikan hukum mereka hanya berlaku di kalangan mereka sendiri sampai akhirnya mereka memeluk Islam. Tapi yang dilakukan bangsa Tartar pada masa itu, sudah cukup membuat para ulama mengkafirkan mereka di zamannya. Persoalan ini akan dijelaskan nanti pada Masalah Ketujuh. Adapun kaum kafir salibis yang menguasai negeri-negeri Islam sejak seabad yang lalu, maka mereka memaksakan hukum-hukum mereka kepada kaum muslimin dengan kekuatan senjata, kemudian mereka mendirikan perguruan-perguruan pendidikan (Fakultas-fakultas Hukum) untuk mengajarkan hukum-hukum mereka itu tadi kepada putra-putra Islam untuk mereka terapkan pada keluarga mereka. Dari latar belakang inilah, maka akhirnya hukum-hukum kafir tadi ditetapkan sebagai konstitusi dan undang-undang baku yang berlaku di negeri-negeri Islam sampai sekarang. Dan di bawah naungannya, semua perusak-perusak -agama dan moral - dikerjakan orang tanpa ada yang mencegah, sebab hukum mereka mengatakan "Tidak ada kejahatan ataupun sanksi hukuman kecuali dengan hukum"

Strategi Ketiga: Penguasaan terhadap tampuk kekuasaan di negeri-negeri Islam:

Karena mustahil orang-orang kafir bisa menguasai bidang perundang-undangan dan melaksanakan rencana-rencana mereka untuk merusak kaum muslimin, sementara mereka jauh dari singgasana kekuasaan. Untuk itu, yang mereka lakukan pertama kali adalah menguasai tampuk kekuasaan di negeri-negeri Islam dengan kekuatan pendudukan militer. Dengan menguasai tampuk kekuasaan negeri tadi, maka mereka bisa mengontrol dan melaksanakan apa yang mereka kehendaki di negeri tersebut. Namun cara mereka untuk menguasai tampuk kekuasaan di suatu negeri berbeda-beda. Di saat Kolonialis Inggris mengendalikan roda pemerintahan suatu negeri secara tidak langsung, yakni dengan mengangkat seorang penguasa pribumi sebagai boneka kaki tangan mereka yang siap menuruti kehendak dan arahan-arahan mereka, dan mengangkat para menteri pribumi pro kolonialis sebagai penasehat-penasehatnya; maka sebaliknya, Kolonialis Perancis menggunakan cara pengendalian langsung di negeri-negeri jajahan mereka. Maka wajar apabila jumlah pegawai asli Perancis di negeri-negeri koloni mereka jauh berlipat ganda jumlahnya dibandingkan dengan orang Inggris yang menjadi pegawai di negeri koloninya. Hanyasaja di setiap situasi, harus ada kekuatan militer kaum kolonialis di negeri koloni tersebut yang siap melakukan intervensi apabila diperlukan, misalnya: meletus pemberontakan terhadap rezim penguasa pribumi tadi atau pecah revolusi dari anak bangsa di negeri tersebut. Kaum kolonialis kafir tidak akan meninggalkan negeri-negeri Islam dengan menarik kekuatan militernya dan administrator-administratornya melainkan setelah mereka yakin bahwa telah ada sekelompok putra-putra Islam yang bisa menjalankan pilar-pilar pemerintahan yang telah mereka kokohkan secara suka rela tanpa paksaan. Itulah mereka kelompok-kelompok kaum sekuler yang memegang kendali kekuasaan, militer dan politik di berbagai negeri Islam sekarang ini. Oleh karena itu, meskipun kaum kolonialis kafir telah hengkang dari negeri kita dengan kekuatan militernya, maka mereka masih menjajah negeri kita sampai saat ini dengan hukum-hukumnya dan sistem-sistemnya di bidang politik, ekonomi, militer, pendidikan, penerangan dan sosial. Jadi penjajahan kolonialis kafir belum berakhir sama sekali di negeri kita seperti persangkaan sebagian orang.

Tak pelak lagi bahwa berbagai kerusakan di atas tidak akan terjadi sekiranya bukan karena rusaknya kaum muslimin dan kelalaian mereka terhadap ajaran agama mereka. Maka Allah Ta`alapun menghukum mereka, yakni dengan menjadikan orang-orang kafir berkuasa atas mereka, merusak agama mereka dan merampas dunia mereka, yang mana kecintaan mereka terhadap dunia telah mencegah mereka untuk mengerjakan jihad memerangi orang-orang kafir yang diperintahkan Allah terhadap mereka.

Allah Ta`ala berfirman:

(وماأصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم)

"Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan mereka" (Qs Asy Syura 30)

Allah Ta`ala berfirman:

(إلا تنفروا يعذبكم عذاباً أليما ويستبدل قوماً غيركم ولاتضروه شيئا، والله على كل شيء قدير)

"Dan jika kalian tidak berangkat berperang, maka Allah akan mengadzab kalian dengan adzab yang pedih dan mengganti (kalian) dengan kaum yang lain, dan kalian tidak akan dapat memberi madharat sedikitpun kepada-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu" (Qs At Taubah 39)

Dengan aksi orang-orang kafir melaksanakan tiga strategi ini di negeri-negeri Islam, maka tuntaslah misi mereka mengokohkan sekulerisme (jahiliyah modern) dengan berbagai bentuknya di bidang politik, perundang-undangan, ekonomi dan sosial di negeri-negeri Islam. Sekularisasi di perbagai bidang di atas terjadi karena sikap diam yang menimbulkan tanda tanya dari sebagian orang yang menisbatkan diri mereka kepada ilmu syar`i (baca: mengaku sebagai ulama) di berbagai tingkatan. Bahkan kadang terjadi karena peran langsung sebagian di antara mereka. Dengan cara-cara seperti itulah, maka hukum-hukum buatan orang-orang kafir bisa menggantikan tempat syari`at Islam sebagai hukum yang berlaku bagi kaum muslimin. Dan hukum orang-orang kafir itu telah ditetapkan terus wujud hingga Allah berkenan melenyapkannya.

PENJELASAN BAHWA HUKUM SYARI`AT BISA MEMENUHI KEBUTUHAN MANUSIA DAN MAMPU MEWUJUDKAN BERBAGAI MASLAHAT MEREKA.


Telah jelas dari pembahasan Masalah yang telah lewat, bahwa menerapkan syari`at Islam merupakan bagian dari kewajiban-kewajiban syar`i yang harus dikerjakan oleh setiap muslim, baik ia penguasa ataupun rakyat, dan bahwasanya menerapkan syari`at Islam adalah wajib, masuk dalam kategori pokok iman dan masuk dalam pengaktualisasian tauhidullah `Azza wa Jalla. Sebagaimana menolak penerapan syari`at Islam sebagai hukum yang berlaku bagi mereka, merusak pokok iman dan membatalkan tauhid.

Wajibnya menerapkan syari`at Islam berhubungan dengan dua hal, yakni : Hukum-hukum syari`at mampu memenuhi kebutuhan manusia dan mampu mewujudkan berbagai maslahat duniawi dan ukhrawi mereka. Inilah penjelasannya masing-masing:


Pertama: Hukum syari`at mampu memenuhi berbagai kebutuhan manusia hingga hari kiamat.


Mengingat bahwa risalah Nabi Saw itu berlaku umum untuk seluruh ummat manusia, baik waktu maupun tempatnya, hingga hari kiamat. Maka menerapkan syari`atnya adalah wajib bagi setiap orang yang mengimaninya. Tentu saja hal ini menuntut supaya syari`atnya bisa memenuhi apa saja hukum-hukum yang dibutuhkan manusia dalam semua urusan-urusan mereka hingga hari kiamat. Pemenuhan syari`at terhadap kebutuhan manusia adalah pasti berdasarkan dalil-dalil naqli. Di antaranya ialah:

Firman Allah Ta`ala:

(ونزّلنا عليك الكتاب تبياناً لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين)

"Dan Kami telah menurunkan Al Kitab (Al Qur`an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri" (Qs An Nahl 89)

Dan firman Allah Ta`ala:

(اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا)

"Dan pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian." (Qs Al Maa-idah 3)

Dan firman Allah Ta`ala:

(فإن تنازعتم في شيء فردّوه إلى الله والرسول)

"Kemudian jika kalian berselisih dalam sesuatu perkara, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya)" (Qs An Nisaa` 59)

Dan firman Allah Ta`ala:

ومااختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله)

"Dan perkara apa saja yang kalian perselisihkan di dalamnya, maka hukum (untuk memutuskan) nya dikembalikan kepada Allah" (Qs Asy Syuuraa 10)

Nash-nash di atas menunjukkan bahwa syari`at bisa memenuhi semua hukum-hukum yang dibutuhkan ummat manusia dalam segala urusan mereka, dan dalam menyelesaikan persengketaan-persengketaan mereka, dan dalam mengangkat perselisihan-perselisihan mereka. Syari`at Islam adalah syari`at yang sempurna, seperti dikatakan oleh Allah Tabaaraka wa Ta`aala.

Makna yang sempurna bukan berarti menyebutkan setiap masalah furu` satu-persatunya di dalam syari`at. Kesempurnaan dan ketercakupan itu terwujud dengan nash yang menunjukkan hukum-hukum dan kaedah-kaedah umum, di mana masuk ke dalam cakupannya semua persoalan-persoalan juz`i/partial yang hanya bisa dihitung oleh Allah Ta`ala.

Untuk mengukuhkan hal ini, Ibnu Taimiyah rhm berkata: (Pendapat yang benar yang dianut oleh mayoritas ulama pemimpin ummat adalah bahwa nash-nash Al Qur`an bisa memenuhi sebagian besar hukum-hukum perbuatan hamba. Dan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hukum syari`at memenuhi semua itu. Adapun jika ada yang mengingkarinya, maka itu disebabkan karena dia tidak memahami makna nash-nash yang umum, yakni perkataan-perkataan Allah dan Rasul-Nya, dan kekomprehensipannya terhadap hukum-hukum perbuatan hamba. Itu karena Allah mengutus Muhammad Saw dan membekalinya dengan jawaami`ul kalam. Jadi beliau berbicara dengan perkataan yang mengandung arti luas dan umum, yaitu perkara-perkara kulli/global dan kaedah umum yang mencakup berbagai macam bentuk persoalan. Sedangkan bentuk-bentuk persoalan tersebut mencakup spesifikasi-spesifikasi persoalan yang tak terhingga jumlahnya. Jadi dengan cara ini, nash-nash syar`i meliputi hukum-hukum perbuatan hamba." Majmuu` Fatawa XIX/280.

Dalam mengulas firman Allah Ta`ala(اليوم أكملت لكم دينكم) "Hari ini telah Aku sempurnakan agamakalian untuk kalian", Asy Syathibi rhm berkata:

(Kalau sekiranya yang dimaksud dengan kata sempurna dalam ayat di atas adalah menurut tercapainya perkara-perkara juz`iyah/parsial secara nyata, maka sesungguhnya perkara-perkara juz`iyah itu tidaklah ada batas akhirnya, sehingga ia tak dapat dibatasi dengan hitungan. Ada sebagian ulama yang menetapkan kata sempurna dengan makna pengertian di atas. Sesungguhnya yang dimaksud dengan kata sempurna adalah menurut kaedah-kaedah global yang dibutuhkan untuk mencapai kesempurnaan tersebut. Di mana kasus-kasus kejadian yang tidak terhingga jumlahnya itu tadi berjalan menurut kaedah-kaedah global." Al I`tishaam, Asy Syathibi II/305.

Mengeluarkan hukum-hukum persoalan juz`i dari nash-nash dan dari kaedah-kaedah kulli adalah pekerjaan Mufti dan Qadhi. Telah terjadi kelalaian dalam persoalan ini pada beberapa kurun waktu yang telah lewat. Ada sebagian orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu syar`i (baca: mengaku sebagai ulama) yang mengatakan bahwa tidak boleh bagi mereka berfatwa dalam masalah-masalah baru/aktual yang belum pernah dibahas hukumnya oleh perkataan salah seorang ulama mutaqaddimin. Dengan pendapat mereka itu, maka mereka telah menyempitkan rahmat Allah yang demikian luas. Mereka membuka pintu lebar-lebar kepada para penguasa yang telah ditutup hati mereka oleh Allah dan hanya memperturutkan hawa nafsu mereka, untuk mengadopsi hukum-hukum Perancis dengan dalih alasan bahwa syari`at Islam tidak mampu memenuhi tuntutan terhadap persoalan-persoalan aktual yang muncul. Telah saya singgung masalah ini dalam hukum-hukum mufti pada Bab Kelima dari buku ini, yakni saat membicarakan tentang Masalah "Apakah seorang mufti boleh menyampaikan fatwa terhadap satu kasus kejadian yang belum pernah dibahas sama sekali hukumnya oleh para ulama terdahulu?" Pengadobsian hukum-hukum Perancis ini dimulai pertama kalinya pada masa pemerintahan Daulah `Utsmaniyah. Berawal dari hukum-hukum perdagangan kemudian diikuti selanjutnya dengan hukum-hukum yang lain pada pertengahan abad 19 M. Apa yang dilakukan oleh Daulah `Utsmaniyah ini diikuti pula oleh negeri-negeri Islam yang masuk dalam wilayah kekuasaannya, yakni negeri-negeri Arab. Penjajahan kaum salibi terhadap negeri-negeri Islam --yang lebih dikenal dengan istilah kolonialisme baru-- turut membantu akselarasi/percepatan dalam menempatkan hukum-hukum positip dan sistem Perancis sebagai ganti syari`at Islam. Bukan hanya dalam aspek perundang-undangan dan pengadilan saja, tapi dalam seluruh aspek, seperti politik Dalam Negeri dan Luar Negeri, dalam aspek Pendidikan, Penerangan dan Ekonomi, sebagaimana penjelasan mengenai hal ini telah saya sampaikan pada Masalah Pertama dari topik bahasan ini. Penggantian ini mengakibatkan terbentuknya pola kehidupan sosial baru bagi kaum muslimin, dengan pola kehidupan sosial ala Perancis, sebagaimana bisa kita saksikan sekarang.

Telah anda ketahui dari nash-nash di muka dan dari perkataan Ibnu Taimiyah serta Asy Syathibi bahwa hukum-hukum syari`at bisa memenuhi hukum-hukum yang dibutuhkan ummat manusia sampai hari kiamat. Allah Ta`ala telah mencukupkan kita dengan hukum-hukum itu sehingga kita tidak memerlukan lagi kepada hukum-hukum yang lain. Jika tidak demikian, pasti ummat manusia membutuhkan seorang Nabi setelah Nabi kita Saw, dan membutuhkan agama setelah agamanya. Dan ini jelas-jelas mustahil.

Dalam menjelaskan kekomprehensipan hukum-hukum syari`at dan pemenuhannya terhadap hajat ummat manusia, Ibnul Qayyim rhm berkata:

(Di antaranya: Bahwa firman Allah Ta`ala (فإن تنازعتم في شىء) "Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu" Kata sesuatu dalam konteks syarat tersebut adalah nakirah/indefinit (tidak tertentu), mencakup semua masalah-masalah agama yang diperselisihkan orang-orang beriman, baik yang kecil maupun yang besar, yang jelas maupun yang samar, sekiranya dalam Kitabullah dan Rasul-Nya tidak terdapat penjelasan hukum dari apa yang mereka perselisihkan dan tidak pula mencukupi, maka Allah tidak akan memerintahkan orang-orang beriman untuk mengembalikan persoalan kepada-Nya, sebab mustahil Allah Ta`ala memerintah untuk mengembalikan perkara saat terjadi perselisihan, kepada siapa yang tidak memiliki kapasitas untuk memutuskan perselisihan.

Di antaranya: Ummat telah bersepakat bahwa mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Allah maksudnya ialah: mengembalikan kepada Kitab-Nya, sedangkan mengembalikan kepada Rasul Saw maksudnya ialah: mengembalikan kepadanya semasa hidupnya dan kepada sunnahnya setelah wafatnya.) I`laam al Muwaqqi`iin juz: I hal: 49.

Dalam menjelaskan pemenuhan syari`at terhadap berbagai maslahat yang dihajatkan manusia hingga hari kiamat, Ibnul Qayyim rhm berkata: (Ini adalah prinsip di antara prinsip-prinsip utama syari`at dan yang paling bermanfaat. Prinsip ini dibangun di atas satu huruf, yaitu keumuman risalah Nabi Saw dalam kaitannya dengan segala sesuatu yang dihajatkan manusia dalam pengetahuan mereka, ilmu-ilmu mereka dan perbuatan-perbuatan mereka, dan bahwa ummatnya tidak lagi menghajatkan seorangpun sesudahnya. Hajat mereka hanyalah kepada orang yang menyampaikan risalah yang dia bawa kepada mereka. Jadi risalahnya mempunyai dua keumuman yang senantiasa terjaga, yang tak bisa ditembus oleh pengkhususan apapun: Keumuman dalam hubungannya dengan objek risalahnya, dan umum pula dalam hubungannya dengan semua perkara yang dihajatkan manusia dalam prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya. Jadi risalahnya itu mencukupi, menjawab segala persoalan dan berlaku umum, tidak membutuhkan yang lain. Tidak sempurna keimanan terhadapnya kecuali dengan mengukuhkan keumuman risalah Nabi Saw dalam aspek yang ini maupun aspek yang itu. Jadi tak seorang mukallafpun yang keluar dari risalahnya, dan tak ada bagian di antara bagian-bagian kebenaran yang dihajatkan ummat manusia dalam ilmu-ilmu mereka dan amal-amal mereka yang keluar dari risalah yang dibawanya.

Rasulullah Saw. telah wafat, dan tiada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di langit melainkan beliau telah menyampaikan kepada ummat ilmu tentangnya, dan mengajarkan kepada mereka segala sesuatunya hingga adab masuk WC, adab berjima`, tidur, bangun dan duduk, makan dan minum, naik dan turun dari kendaraan, safar dan muqim, diam dan bicara, uzlah dan bergaul, kaya dan miskin, sehat dan sakit, dan semua hukum-hukum kehidupan dan kematian; beliau telah menggambarkan kepada mereka `Arasy dan Kursi (Allah), malaikat dan jin, surga, neraka dan hari kiamat, serta apa-apa yang ada di dalamnya seolah-olah telah dilihat beliau dengan mata kepalanya sendiri; beliau telah menerangkan kepada mereka sesembahan mereka dan Tuhan mereka dengan keterangan yang amat sempurna hingga seolah-olah mereka melihat-Nya dan menyaksikan-Nya sendiri dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya dan ciri-ciri keagungan-Nya; dan menerangkan kepada mereka kisah para Nabi dan ummat-ummatnya serta apa yang terjadi pada mereka dan apa yang menimpa mereka hingga seolah-olah mereka berada di antara mereka (Nabi dan ummatnya); dan menerangkan kepada mereka jalan-jalan kebaikan dan kejahatan, kecil dan besarnya, yang belum pernah diterangkan oleh seorang Nabi kepada ummatnya sebelumnya; dan menerangkan kepada mereka berbagai ihwal kematian dan peristiwa yang terjadi sesudahnya di alam barzakh, serta kenikmatan dan siksaan yang dialami oleh ruh dan badan di dalamnya, dengan keterangan yang belum pernah disampaikan oleh Nabi selainnya. Demikian pula beliau Saw. menerangkan kepada mereka dalil-dalil tauhid, kenabian, negeri akherat dan penolakan terhadap semua sekte-sekte penganut kekafiran dan kesesatan, dan bagi yang mengetahuinya tidak lagi menghajatkan keterangan orang-orang sesudahnya, ya Allah, kecuali kepada orang yang menyampaikannya kepadanya dan menerangkannya dan menjelaskan apa yang masih nampak samar padanya. Demikian pula Nabi Saw. menerangkan kepada mereka tentang tipu daya/siasat perang dan menghadapi musuh serta cara-cara untuk mencapai kemenangan, sekiranya mereka mengetahuinya, memahaminya dan menjaganya dengan benar, maka musuh tak bakal mampu menghadapi mereka selama-lamanya. Demikian pula Nabi saw. menerangkan kepada mereka tipu daya Iblis dan cara-caranya untuk menyesatkan mereka, dan apa-apa yang bisa menjaga mereka dari tipu daya dan muslihatnya, dan apa-apa yang membuat mereka bisa menolak kejahatannya, dengan keterangan yang tidak memerlukan lagi tambahan penjelasan atasnya. Demikian pula Nabi Saw menerangkan kepada mereka peri keadaan jiwa mereka, ciri-ciri sifatnya, rekayasa dan intrik-intriknya serta rahasia-rahasianya dengan keterangan yang mereka tidak membutuhkan lagi keterangan kepada selainnya. Demikian pula Nabi Saw. menerangkan kepada mereka tentang urusan-urusan penghidupan mereka, yang sekiranya mereka mengetahuinya dan mengamalkannya, niscaya akan baik dan lurus dunia mereka.

Pendek kata, Nabi Saw. datang pada mereka membawa kebaikan dunia dan akherat keseluruhannya, dan Allah tidak membuat mereka menghajatkan kepada seseorang selainnya. Maka bagaimana pantas meyakini bahwa syari`at-Nya yang sempurna, yang mana dunia belum pernah memunculkan suatu syari`at yang lebih sempurna darinya adalah kurang dan ia membutuhkan kepada --politik yang menyimpang darinya untuk menyempurnakannya, atau qiyas atau hakekat atau logika yang menyimpang darinya?-- Siapa yang meyakini hal ini, maka ia seperti orang yang meyakini bahwa manusia membutuhkan Rasul lain sesudahnya. Ini semua disebabkan karena apa yang dibawa Nabi Saw. masih tersembunyi oleh orang yang meyakini hal itu, dan karena sedikitnya bagian dia dari pemahaman yang diberikan Allah kepada para sahabat Nabi-Nya. Mereka adalah orang-orang yang mencukupkan diri dengan apa yang dibawa Nabi Saw, dan merasa cukup dengannya dan tidak membutuhkan kepada selainnya. Dengan pemahaman itu mereka membuka hati manusia dan menakhlukkan negeri-negeri (dunia). Mereka berkata: "Inilah wasiat Nabi kita kepada kita, dan ia adalah wasiat kami kepada kalian." Dahulu `Umar ra melarang para sahabat untuk menekuni hadits yang berasal dari Rasulullah Saw, karena khawatir hal itu bisa mengalihkan perhatian mereka dari Al Qur`an. Lantas bagaimana andaikata dia melihat kesibukan manusia menekuni pendapat-pendapat mereka, ampas-ampas pemikiran mereka dan sampah-sampah akal pikiran mereka sehingga memalingkan mereka dari Al Qur`an dan Al Hadits? Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya.

Allah Ta`ala berfirman:

(أو لم يكفهم أنا أنزلنا عليك الكتاب يُتْلَى عليهم، إن في ذلك لرحمة وذكرى لقوم يؤمنون)

"Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepada mu Al Kitab (Al Qur`an) yang dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Qur`an) itu benar-benar terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman" (Qs Al `Ankabuut 51)

Allah Ta`ala berfirman:

(وأنزلنا عليك الكتاب تبياناً لكل شىء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين)

"Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri" (Qs An Nahl 89)

Allah Ta`ala berfirman:

(ياأيها النـاس قـد جاءتكـم موعظة من ربكم، وشفاء لما في الصدور، وهدى ورحمة للمؤمنين)

"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang beriman" (Qs Yunus 57) ) Selesai perkataan Ibnul Qayyim (I`laam al Muwaqqi`iin juz: 375-377)

Kedua: Syari`at dapat mewujudkan berbagai maslahat duniawi dan ukhrawi ummat manusia.

Ilmu tentang hukum-hukum syari`at dan pemenuhannya terhadap berbagai maslahat ummat manusia, menghasilkan ilmu tentang sifat-sifat Dzat yang mensyari`atkannya, yakni Allah Tabaaraka wa Ta`aala. Dia, Allah Swt, adalah (أحكم الحاكمين) "Hakim yang seadil-adilnya" Qs Hud 45; dan Dia, Allah Swt, adalah(خير الحاكمين) "Hakim yang sebaik-baiknya" Qs Yusuf 80; dan Dia, Allah Swt, adalah (العليم الحكيم) "Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana Qs Yusuf 83; dan Dia, Allah Swt, adalah (خير الراحمين) "Sebaik-baik pengasih" Qs Al Mu`minun 118; dan Dia, Allah Swt, (يقضي بالحق والذين يدعون من دونه لايقضون بشيء، إن الله هو السميع البصير) "Menghukum dengan kebenaran. Dan sesembahan-sesembahan yang mereka seru selain Allah tidak dapat menghukum dengan sesuatu apapun. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" Qs Al Mu`min 20; dan Dia, Allah Swt, (يقصُّ الحق وهو خيرالفاصلين) "Menceritakan yang benar, dan Dia adalah sebaik-baik Pemisah –yang baik dan yang batil-" Qs Al An`aam 57; dan Dia, Allah Swt, adalah (عليم بـذات الصـدور) "Dia mengetahui segala isi hati" Qs Al Hadiid 6; dan Dia, Allah Swt (يعلم خائنة الأعين وماتخفي الصدور) "Mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati." Qs Al Mu`min 19; dan Dia, Allah Swt "Mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan rahasia) antara empat orang, melainkan Dia-lah yang kelimanya. Dan tiada (pembicaraan rahasia) antara lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula pembicaraan rahasia) antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka atas apa yang mereka perbuat pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu." Qs Al Mujaadilah 7).

Allah Ta`ala berfirman:

(ألا يعلم من خَلَق وهو اللطيف الخبير)

"Apakah Allah Yang menciptakan tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan kamu rahasiakan?); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui" (Qs Al Mulk 14)

Allah Ta`ala berfirman:

ولقد خلقنا الإنسان ونعلم ماتوسوس به نفسه ونحن أقرب إليه من حبل الوريد

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qs Qaaf 16)

Dan Dia, Allah Swt:

"Kepada-Nyalah kalian kembali. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada kalian atas apa-apa yang dahulu kalian kerjakan.

Dan Dia Maha Perkasa di atas hamba-hamba-Nya, dan Dia mengutus kepada kalian malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salahseorang di antara kalian, maka para utusan Kami mematikannya, sedang mereka tidak melalaikan kewajibannnya..

Kemudian mereka (hamba-hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Tuan Pemilik mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa (keputusan) hukum (saat) itu adalah kepunyaan-Nya. Dan Dia adalah secepat-cepat Pembuat perhitungan." (Qs Al An`aam 60-61)

Dan Dia Allah Swt:

"Kepada-Nyalah kalian semua akan kembali, sebagai janji yang benar dari Allah. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada permulaannya, kemudian mengulangnya (menghidupkannya) kembali (sesudah berbangkit), agar Dia memberi balasan kepada orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal shaleh dengan adil. Dan orang-orang yang kafir, bagi mereka minuman air yang panas serta adzab yang pedih disebabkan kekafiran mereka" (QS Yunus 4)

Inilah sebagian dari sifat-sifat Syaari` (pembuat syari`at) `Azza wa Jalla. Bukankah syari`at-Nya itu ada karena pengaruh dari sifat-sifat-Nya? Jawabannya adalah "Ya, tentu saja". Dengan sifat-sifat itu, Allah menamai syari`at-Nya. Jadi ia adalah syari`at yang baik, syari`at pembawa rahmat, syari`at yang adil, syari`at yang bijaksana, dan syari`at yang menjaga berbagai maslahat duniawi dan ukhrawi ummat manusia.

Allah `Azza wa Jalla berfirman:

(إن هذا القرآن يهدي للتي هى أقوم)

"Sesungguhnya Al Qur`an ini menunjukkan kepada (jalan) yang lebih lurus" (Qs Al Israa` 9)

(ياأيها الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما في الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين)

"Wahai manusia, telah datang kepada kalian peringatan dari Tuhan kalian, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." (Qs Yunus 57)

Allah Ta`ala berfirman:

(أو من كان ميتاً فأحييناه وجعلنا له نوراً يمشي به في الناس، كمن مثلُه في الظلمات ليس بخارج منها، كذلك زُين للكافرين ماكانوا يعملون)

"Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian Kami hidupkan dia, dan Kami berikan kepadanya cahaya, dan dengan cahaya itu dia bisa berjalan di tengah-tengah manusia adalah sama seperti orang yang berada dalam kegelapan, yang sekali-kali dia tidak dapat keluar darinya? Demikianlah Kami jadikan orang-orang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan." (Qs Al An`aam 122)

Allah Ta`ala menyifati syari`at-Nya bahwa ia adalah cahaya, rahmat, penyembuh dan petunjuk, sebagaimana Allah menyifati Nabi-Nya Saw yang Dia utus untuk membawa syari`at ini dengan firman-Nya:

(وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين)

"Dan tiadalah Kami mengutus kamu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta" (Qs Al Anbiyaa` 107)

Ini adalah sifat-sifat Syaari` `Azza wa Jalla, apakah di kalangan orang-orang kafir lagi najis yang membuat hukum-hukum positip itu terdapat seseorang yang memiliki sebagian dari sifat-sifat di atas? Apakah di tengah tengah mereka ada Ahkamul Haakimiin (hakim yang seadil-adilnya) atau ada Arhamur Raahimiin (Yang paling penyayang di antara para penyayang)? Apakah di antara mereka ada yang mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi, dan mengetahui pandangan mata yang khianat, dan mengetahui apa-apa yang tersembunyi di dalam hati?

Allah Ta`ala berfirman:

(قل هل من شركائكم من يبدؤا الخلق ثم يعيده؟ قل الله يبدؤا الخلق ثم يعيده، فأنى تؤفكون؟ * قل هـل من شركائكـم من يهـدي إلى الحـق؟ قل الله يهدي للحق، أفمن يهدي إلى الحق أحق أن يتبع أمَّن لا يَهِدّي إلا أن يُهْدَى؟ فما لكم كيف تحكمون؟)

"Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekutu kalian ada yang dapat memulai penciptaan makhluk, kemudian mengulangnya (menghidupkannya) kembali" Katakanlah:"Allah yang memulai penciptaan makhluk, kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali, maka bagaimana kalian dipalingkan (kepada menyembah selain Allah)?

Katakanlah:"Apakah di antara sekutu-sekutu kalian ada yang bisa memberi petunjuk kepada kebenaran?" Katakanlah: "Allah-lah yang memberi petunjuk kepada kebenaran. Maka apakah orang yang memberi petunjuk kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kalian (berbuat demikian)? Bagaimanakah kalian mengambil keputusan?" (Qs Yunus 34-35)

Apakah di antara orang-orang kafir lagi najis pembuat syari`at yang menandingi syari`at Allah itu ada yang bisa memberitahukan kepada manusia terhadap apa yang dahulu mereka lakukan di hari kiamat? Tentang perkara apakah Allah Ta`ala akan menanyakan pada makhluk-Nya kelak di hari kiamat? Tentang syari`at-Nya dan apa yang mereka perbuat di dalamnya ataukah tentang hukum-hukum positip? Tak ada keraguan lagi bahwa Allah Swt akan menanyakan pada mereka tentang syari`at-Nya, sebagaimana firman-Nya:

(ويوم يناديهم ماذا أجبتم المرسلين، فعَمِيَت عليهم الأنباء يومئذ فهم لايتساءلون، فأما من تاب وآمن وعمل صالحاً فعسى أن يكون من المفلحين)

"Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata: "Apakah jawaban kalian terhadap (seruan) para Rasul?

Maka tertutuplah (tersembuyilah) bagi mereka segala macam alasan pada hari itu, dan mereka tidak berani saling bertanya.

Adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal yang shaleh, maka semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung." (Qs Al Qashshash 65-67)

Ketahuilah bahwa di sana ada maslahat-maslahat yang mana manusia tidak akan bisa menegakkan agama mereka dan tidak bisa lurus dunia ataupun akherat mereka kecuali dengan menjaga maslahat-maslahat tersebut. Apabila maslahat-maslahat ini diabaikan, maka akan rusaklah dunia manusia dan akherat mereka. Maslahat-maslahat inilah yang dikenal dengan istilah "Lima Kepentingan Utama", yakni: Penjagaan agama, penjagaan jiwa, penjagaan akal, penjagaan nasab/keturunan dan kehormatan serta penjagaan harta. Syari`at datang untuk menjaga kepentingan-kepentingan utama ini dan memelihara maslahat-maslahat ini secara benar dan sempurna, sebagaimana penjelasan mengenai hal ini akan saya sampaikan sebentar lagi Insya Allah. Di sisi lain, hukum-hukum positip kafir datang untuk mengabaikan kepentingan-kepentingan ini dan menyia-nyiakan kelima maslahat utama ini, sebagaimana penjelasan mengenai hal ini akan saya sampaikan nanti pada Masalah berikut Insya Allah. Pengabaian terhadap lima kepentingan utama ini termasuk sebagian di antara tanda-tanda kiamat dan isyarat-isyaratnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:


(إن من أشراط الساعة أن يُرفع العلم ويثبت الجهل ويُشرب الخمر ويظهر الزنا)

"Sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat adalah ilmu diangkat, kebodohan dimapankan, khamer diminum dan zina nampak secara terang-terangan"

Dan dalam riwayat yang lain dikatakan:

(من أشراط الساعة أن يقل العلم ويظهر الجهل ويظهر الزنا وتكثر النساء ويقل الرجال حتى يكون لخمسين امرأة القيّم الواحد)

"Di antara tanda-tanda kiamat ialah: Sedikit ilmu, timbul kebodohan, zina nampak secara terang-terang, banyak perempuan dan sedikit lelaki, sehingga lima puluh wanita hanya dijaga oleh seorang lelaki." Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari no: 80,81.

Maksud diminumnya khamer dan nampaknya zina ialah: Perbuatan keji ini banyak dilakukan manusia dan sangat masyhur, sebagaimana hal tersebut disinyalir dalam hadits-hadits yang lain. Dan banyaknya perempuan disebabkan oleh banyaknya fitnah, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya banyak menyebabkan terbunuhnya kaum lelaki. Sebagaimana keterangan mengenai hal ini datang dalam sebagian hadits-hadits yang membicarakan tentang tanda-tanda kiamat. Di dalamnya disebutkan (ويكثر القتل) "Banyak terjadi pembunuhan". Adapun sebab adanya tanda-tanda kiamat yang telah disebutkan dalam hadits di muka ialah seperti yang dikatakan Ibnu Hajar rhm berikut:

(Seolah-olah kelima perkara ini disebut secara khusus karena keadaannya yang memberitahukan tentang kacaunya urusan, yang dengan menjaganya akan tercapai kebaikan penghidupan dunia dan akherat, kelima perkara itu adalah: Agama, oleh karena diangkatnya ilmu akan merusak agama; dan akal, oleh karena minum khamer akan merusak akal; dan nasab, oleh karena zina akan merusak nasab; dan jiwa serta harta, oleh karena banyaknya fitnah akan merusak jiwa dan harta. Al Karmani berkata: "Kacaunya perkara-perkara ini memberitahukan tentang kerusakan dunia, oleh karena manusia tidak dibiarkan begitu saja (berbuat menurut keinginannya masing-masing), sementara tidak ada Nabi setelah Nabi kita Saw., maka menjaga lima perkara tersebut menjadi fardhu `ain hukumnya. Al Qurthubi mengatakan dalam kitab "Al Mufham": "Dalam hadits ini terdapat tanda di antara tanda-tanda nubuwwah, sebab beliau mengkhabarkan perkara-perkara yang akan terjadi, dan perkara-perkara yang beliau khabarkan itu benar-benar terjadi, khususnya di zaman ini" ) Fathul Baari juz: 1 hal: 179.

Dari uraian keterangan di atas, tahulah anda bahwa rusaknya lima kepentingan utama -yang terjadi akibat diterapkannya hukum-hukum positip, yang tidak menjaga agama atau jiwa atau nasab atau akal ataupun harta- memberitahukan tentang rusaknya dunia. Adapun indikasi-indikasi kerusakan ini jelas terlihat di sebagian besar negeri-negeri yang diperintah dengan hukum-hukum positip.

Adapun syari`at yang suci datang untuk menjaga lima kepentingan ini, di antaranya ialah:

1_ Dalam menjaga agama: Syari`at datang membawa hukum-hukum yang menjamin atas penjagaan agama, antara lain ialah:

  1. Wajibnya menuntut ilmu bagi setiap muslim (yakni ilmu yang fardhu `ain), dan bagi kaum muslimin pada umumnya (yakni ilmu yang fardhu kifaayah).

  2. Wajibnya orang-orang awam meruju` kepada para ulama dalam perkara-perkara yang masih belum jelas mereka pahami, dan juga dalam fatwa-fatwa dan kasus-kasus kejadian yang menimpa mereka.

  3. Wajibnya mengangkat Khalifah Islam, yang mana kewajiban pertama yang harus dikerjakannya adalah menjaga agama menurut prinsip-prinsipnya yang telah baku.

  4. Wajibnya berdakwah menyeru manusia kepada Islam.

  5. Wajibnya beramar ma`ruf dan nahi munkar.

  6. Wajibnya berjihad di jalan Allah, dan jihad adalah memerangi orang-orang kafir, defensip dan ofensip.

  7. Disyari`atkannya memerangi kaum Khawarij dan kaum Bughat.

  8. Menetapkan prinsip-prinsip wala` dan Barro`, sehingga orang kafir atau munafik atau ahli bid`ah tidak bisa bercampur gaul dengan kaum muslimin dan merusak agama mereka.

  9. Menghukum orang yang murtad dari agamanya.

  10. Membuka pintu taubat bagi ahli maksiat hingga datang sekarat.


2__ Dalam menjaga jiwa, syari`at datang:

  1. Mensyari`atkan hukum qishash dalam kasus pembunuhan yang disengaja, Allah Ta`ala berfirman: (ولكم في القصاص حياة) "Dan dalam (hukum) qishash itu terdapat (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian" (Qs AlBaqarah 179)

  2. Mensyari`atkan diyat dalam kasus pembunuhan yang tak disengaja dan perusakan selain nyawa.

  3. Mensyari`atkan Daf`ush Shaa`il `alan nafs "Menolak serangan yang mengancam keselamatan jiwa".

  4. Mensyari`atkan hukum had bagi perampok.

  5. Membolehkan berobat dari sakit.

  6. Mengharamkan setiap perkara yang membahayakan kesehatan, bahkan mengharamkan "Jallaalah", yakni binatang sembelihan yang makanannya adalah bangkai dan kotoran manusia sehingga binatang itu bersih.


3__ Dan dalam menjaga akal, syari`at datang:

  1. Mengharamkan minum khamer dan setiap yang memabokkan dan membius kesadaran akal.

  2. Mewajibkan hukuman had bagi peminumnya.

  3. Menutup setiap sarana perantaraan yang mendorong kepada pengkomsomsian khamer, yakni mengharamkan pembuatannya dan pengangkutannya serta perdagangannya.

  4. Mengharamkan setiap yang membahayakan kesehatan.


4__ Dan dalam menjaga nasab, syari`at datang:

  1. Mengharamkan zina dan mewajibkan hukum had di dalamnya, berupa pencambukan, atau pengasingan atau rajam.

  2. Menutup setiap sarana perantaraan zina: Yakni mendorong pernikahan, memperbolehkan nikah dengan budak wanita bagi seseorang yang takut berzina, mewajibkan hijab atas wanita dan mengharamkan mereka dari melunakkan suara saat bicara, mewajibkan kaum lelaki dan kaum wanita untuk merendahkan pandangan mata dan untuk meminta idzin (kalau hendak masuk rumah orang), mengharamkan berkhalwat (menyepi berduaan) dengan wanita ajnabi saat tinggal di rumah dan saat bepergian, membolehkan thalak dan khulu` bagi orang yang akan terancam bahaya apabila terus melanjutkan hubungan pernikahan.

  3. Mewajibkan `iddah bagi kaum wanita yang ditinggal suaminya dengan sebab thalak atau khulu` atau kematian, supaya air mani bekas suami tidak bercampur dengan air mani lelaki lain dalam rahimnya untuk menjaga keturunan, sedangkan ` iddah ini tidak dipraktekkan pada masa jahiliyah sebelum Islam.


5__ Dalam menjaga kehormatan, syari`at datang:

  1. Mewajibkan had qadhaf bagi orang yang menuduh orang lain berzina tanpa menghadirkan empat orang saksi.

  2. Mengharamkan ghibah dan at-tanaabuzu bil alqaab (panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk).

  3. Memerintahkan kaum muslimin untuk menjauhi tempat-tempat yang bisa mendatangkan tuduhan dan syubhat, sebagaimana sabda Nabi Saw: (فمـن اتقـى الشبـهات فقـد استبـرأ لدينـه وعرضه) "Barangsiapa yang berhati-hati dari/meninggalkan syubhat, maka sesungguhnya dia telah membuat bersih agama dan kehormatannya" Hadits Muttafaqqun `alaih.


6__ Dan dalam menjaga harta, syari`at datang:

  1. Mengharamkan "Mencuri" dan mewajibkan hukum had bagi pencuri.

  2. Mengharamkan riba dan menutup setiap pintu perantaraannya. Oleh karena di dalamnya ada unsur memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

  3. Mengharamkan "Memalsu dan menipu" dalam jual beli, oleh karena di dalamnya ada unsur memakan harta dengan cara yang batil.

  4. Mengharamkan ghashab (mengambil milik orang lain dengan cara paksa) dan mengharamkan mencari nafkah dari yang haram atau dari hasil-hasil faedah yang diharamkan.

  5. Mensyari`atkan penulisan akad-akad perjanjian dan hutang-hutang serta mendatangkan saksi atasnya untuk memberi perlindungan terhadap hak milik.

  6. Mengharamkan perbuatan "Menghambur-hampurkan harta dan menggunakan harta itu tanpa alasan yang benar" atau menyerahkan penguasaan harta itu kepada orang-orang bodoh.

  7. Mensyari`atkan "Perwalian atas harta" bagi anak yang belum baligh.

  8. Mensyari`atkan "pembagian harta warisan" menurut kadar bagian yang sudah ditentukan kepada para pemilik haknya, dan mengharamkan "perbuatan zhalim" di dalamnya.

  9. Mewajibkan zakat, mendorong shadaqah dan mewajibkan pemberian nafkah kepada karib kerabat, agar supaya tangan-tangan orang fakir tidak menyentuh harta milik orang-orang kaya, yakni dengan jalan mencuri atau menjarahnya.

Ringkasnya, tiada satu perkara yang bisa menjaga harta dan mencegah pengambilannya atau mencegah penggunaannya tanpa alasan yang hak melainkan syari`at pasti datang memerintahkannya.

Bisa dilihat bahwa kejahatan-kejahatan yang bisa merusak agama atau menimbulkan kerusakan besar terhadap ajaran-ajaran agama, maka sanksi hukumannya telah ditentukan dalam syari`at, dan ia tidak meninggalkan ruang sama sekali bagi ijtihad. Sanksi hukuman yang dimaksud adalah hukum hudud:

  1. Untuk menjaga agama: maka disyari`atkan hukum had bagi orang yang murtad.

  2. Untuk menjaga jiwa: maka disyari`atkan hukum had bagi perampok (yang membunuh) dan disyari`atkan hukum qishash.

  3. Untuk menjaga akal: maka disyari`atkan hukum had bagi peminum khamer.

  4. Untuk menjaga nasab dan kehormatan: maka disyari`atkan hukum had bagi pezina dan hukum had qadzaf (menuduh seseorang berzina tanpa bukti) .

  5. Untuk menjaga harta: maka disyari`atkan hukum had bagi pencuri dan hukum had bagi perampok.

Jadi hukum had itu disyari`atkan untuk menjaga lima kepentingan utama ini dan memberi sanksi hukuman kepada orang yang berbuat aniaya di dalamnya. Sebab tegaknya agama dan dunia adalah dengan menjaga lima kepentingan utama tersebut. Khususnya dengan banyaknya faktor-faktor pendorong dan potensi-potensi di dalam diri manusia untuk melakukan perbuatan aniaya di dalamnya. Nafsu sexual yang ada pada diri manusia mendorongnya untuk melakukan perbuatan aniaya yang bisa merusak nasab dan kehormatan, dengan zina. Nafsu tamak kepada harta mendorongnya melakukan perbuatan aniaya terhadap harta milik orang lain, dengan jalan mencuri atau merampok. Nafsu kemarahan dalam diri manusia mendorongnya untuk melakukan perbuatan aniaya terhadap nyawa orang lain, dengan membunuh dan melukai. Sifat sombong yang ada dalam diri manusia mendorongnya untuk kafir dan murtad serta berbuat aniaya terhadap orang lain, dengan memfitnah atau yang lain. Oleh karena sanksi-sanksi hukuman yang ada dalam hukum-hukum positip tidak bisa mencegah (mendatangkan efek jera), maka para pelaku kriminal berani melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap lima kepentingan utama ini. Maka dari itu, kamu dapati manusia yang hidup di lingkungan masyarakat yang diperintah dengan hukum-hukum thaghut lagi batil ini, tidak memperoleh rasa aman terhadap keselamatan jiwa mereka atau kehormatan mereka atau harta mereka.

Adapun kejahatan-kejahatan di luar itu yang tidak menimbulkan bahaya kerusakan besar terhadap agama dan dunia, maka sanksi hukumannya tunduk menurut ketentuan ijtihad, yaitu hukum-hukum ta`ziir. Hukum ta`ziir ditentukan menurut kadar yang bisa menolak kerusakan, kendatipun berupa hukuman mati, sebagaimana hukum ta`ziir seperti ini pernah dipraktekkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Itu bisa dilihat dalam kitabnya "As Siyaasah Asy Syar`iyyah", dan juga dalam kitabnya "Majmuu` Fatawa" jilid: XXVIII.

Ringkas kata, syari`at Islam datang membawa kebaikan dunia dan akherat bagi manusia. Ia datang membawa keamanan, ketenangan, kesucian dan rahmat bagi mereka. Ia datang pada mereka untuk menjaga maslahat-maslahat duniawi dan ukhrawi mereka. Dengan mengetahui hal ini, maka anda akan tahu sejauh mana kejinya kejahatan para penguasa pembuat kerusakan; yang mengharamkan kaum muslimin beroleh kenikmatan berhukum dengan syari`at Allah; dan memerintah mereka dengan hukum-hukum kafir sebagai gantinya. Yakni, hukum-hukum kafir yang merusak agama dan dunia manusia.

Keterangan di muka, semuanya menjelaskan bahwa hukum-hukum syari`at bisa memenuhi dan menjawab berbagai persoalan hidup manusia hingga hari kiamat, dan mampu mewujudkan maslahat-maslahat duniawi dan ukhrawi mereka. Masalah ini berhubungan erat dengan Tauhid Rububiyah, dan berhubungan dengan ilmu tentang Asma-asma Allah dan sifat-sifat-Nya --seperti sifat ilmu, hikmah, adil dan rahmat-- dan efek-efek pengaruh dari sifat-sifat ini dalam syari`at-Nya yang telah Dia syari`atkan kepada hamba-Nya melalui lesan penutup para Nabi-Nya yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.

PENJELASAN TENTANG KORELASI MASALAH TASYRII`, HUKUM DAN TAHAAKUM DENGAN TAUHIDULLAH `AZZA WA JALLA.

Seorang muslim yang bersimpati terhadap agamanya dan takut akan kedudukannya nanti di hadapan Allah `Azza wa Jalla haruslah mengetahui bahwa masalah-masalah ini –masalah-masalah tasyrii`, hukum dan tahaakum—bukanlah masalah-masalah furu`iyah di dalam agama, tapi ia masuk dalam kategori pokok agama dan pokok tauhid.

Hal ini akan jadi jelas dengan mengetahui bahwa Allah `Azza wa Jalla menciptakan makhluk ciptaan-Nya hanyalah untuk beribadah kepada-Nya saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun jua, dan Dia membuat surga dan neraka bagi mereka untuk membalas amal perbuatan mereka kelak di akherat. Allah Ta`ala berfirman:

(وماخلقت الجن والإنس إلا ليعبدون)

"Dan tidaklah Aku ciptakan bangsa jin dan bangsa manusia kecuali supaya mereka mengabdi/beribadah kepada-Ku" Qs Adz Dzaariyaat 56)

Kendatipun demikian Allah `Azza wa Jalla tidak membutuhkan makhluk ciptaan-Nya dan ibadah mereka, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(وقال موسى إن تكفروا أنتم ومن في الأرض جميعا فإن الله لغنيٌ حميد)

"Dan Musa berkata:"Dan jika kalian dan siapa yang ada di muka bumi semuanya kafir, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (Qs Ibrahim 8)

Allah menciptakan hamba manusia supaya mereka mengenal-Nya dan mentauhidkan-Nya, dan mengutus para Rasul kepada mereka di dunia ini untuk mengingatkan mereka akan maksud tujuan dari penciptaan mereka itu; dan mengajarkan kepada mereka ibadah yang wajib mereka kerjakan kepada-Nya. Hamba manusia terus berada di atas agama yang benar, yakni beribadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya berabad-abad lamanya setelah Allah menurunkan Adam dan istrinya dari surga ke bumi, sampai akhirnya penyakit syirik menjangkiti mereka. Lalu Allah mengutus para Rasul untuk menyampaikan khabar gembira dan peringatan kepada mereka. Allah Ta`ala:

"Adalah manusia itu dahulu ummat yang satu, (lalu setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan Al Kitab bersama mereka membawa kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia atas apa yang mereka perselisihkan" (Qs Al Baqarah 213)

Ibnu Katsir rhm berkata menafsirkan ayat di atas: (Ibnu `Abbas ra berkata:" Adalah rentang masa kehidupan Nabi Nuh dan Nabi Adam itu sepuluh abad lamanya. Mereka semua berada di atas syari`at yang benar, sampai akhirnya mereka berselisih. Maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan." Hadits ini diriwayatkan oleh Al Hakim dengan isnad shahih. Dahulu, ummat manusia mengikuti agama Nabi Adam As, sampai akhirnya mereka menyembah berhala. Maka Allahpun mengutus Nabi Nuh As. Dan ia adalah Rasul yang pertama kali diutus Allah Ta`ala kepada penduduk Bumi.) Tafsir Ibnu Katsir juz: I hal:250, kutipan ringkas.

Ketahuilah bahwa para Rasul `alaihimus-salaam, kendatipun berlainan syari`at mereka di dalam hukum; sebagaimana firman Allah Ta`ala "Untuk tiap-tiap ummat di antara kalian, Kami berikan syari`at dan jalan yang terang" (Qs Al Maa-idah 48); tapi mereka semua diutus dengan satu aqidah, yakni menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya –yakni beriman kepada Allah dan kafir kepada thaghut-, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(ولقد بعثنا في كل أمة ٍ رسولاً أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت)

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan kepada mereka): "Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut" (Qs An Nahl 36)

Thaghut adalah apa saja yang disembah atau diminta hukumnya selain Allah. Mengingat bahwa dakwah para Rasul dalam masalah tauhid itu satu, maka Rasulullah Saw bersabda:

(إنا معاشر الأنبياء ديننا واحد، الأنبياء إخوة لعلاّت)

"Sesungguhnya kami Para Nabi sekalian, agama kami adalah satu, dan para Nabi adalah bersaudara lain ibu" (HR. Al Bukhari)

Ibadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya, maksudnya adalah mentauhidkan-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw --kepada Mu`adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya kepada penduduk Yaman --: "Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari golongan Ahli Kitab, maka hendaklah ajakan yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah Ta`ala" Hadits Muttafaqqun `alaih. Telah diterangkan lebih dari satu tempat dalam buku ini --seperti dalam penjelasan ilmu yang fardhu `ain pada Bab Kedua, dan dalam penjelasan tentang topik-topik aqidah pada tema bahasan I`tiqaad Bab ini-- bahwa tauhid ada dua macam:


Pertama: Tauhid Rububiyah, yakni meyakini keesaan Allah Ta`ala dan kesendirian-Nya dalam Dzat-Nya, perbuatan-Nya, Asma dan sifat-Nya, tak ada sekutu bagi-Nya dalam semua itu. Adapun Rabb adalah pemilik yang mengatur. Tauhid Rububiyah dikenal juga dengan nama Tauhid Ma`rifah wal Itsbaat atau Tauhid al `Ilmi al Khabari al I`tiqaadi, oleh karena yang diminta dari seorang hamba dalam tauhid ini adalah ma`rifatullah dengan af`al/perbuatan-Nya, asma-asma-Nya dan sifat-sifat-Nya, dan menetapkan apa yang wajib bagi Allah dari dzat, af`aal, asma dan sifat-sifat itu dalam bentuk ma`rifat dan keyakinan. Lihat kitab "Fat-hul Majiid" hal:14 dan kitab "Ma`aarijul Qubuul" juz: I hal: 54. Jadi siapa yang menjadikan sekutu bagi Allah dalam dzat-Nya atau af`aal-Nya atau asma-Nya atau sifat-Nya, maka sesungguhnya dia telah mensekutukan Allah dalam Rububiyah-Nya dan kafir kepada Allah Ta`ala, sebagaimana firman-Nya:

(وجعل لله أنداداً ليضل عن سبيله قل تمتع بكفرك قليلا إنك من أصحاب النار)

"Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya, katakanlah:"Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu, sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka" (Qs Az Zumar 8)

Dan di antara af`aal Allah Ta`ala yang Dia khususkan untuk dirinya dan hanya Dia miliki sendiri adalah hak tasyrii` (membuat hukum) untuk makhluk ciptaan-Nya, yakni membuat hukum-hukum, perintah-perintah dan larangan-larangan terhadap mereka. Yang menunjukkan kesendirian Allah Ta`ala dengan perbuatan ini ialah firman-Nya:

(إن الحكم إلا لله)

"Tiadalah (hak membuat) hukum itu kecuali kepunyaan Allah" (Qs Al An`aam 57)

Dan firman-Nya dalam surat Yusuf ayat 40, dan firman-Nya dalam surat Al An`aam 62: (ألا له الحكم) "Ketahuilah bahwa hukum itu adalah kepunyaan-Nya", dan firman Allah Ta`ala dalam surat Al A`raaf ayat 54 (ألا له الخلق والأمر) "Ingatlah menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah", dan firman Allah dalam surat Asy Syuraa ayat 10 (ومااختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله)"Dan perkara apa saja yang kalian perselisihkan, maka hukum (untuk memutuskan)nya haruslah diserahkan kepada Allah"

Allah Ta`ala menegaskan kesendirian dan kekhususan-Nya atas pemilikan hak membuat hukum bagi makhluk-Nya dengan firman-Nya:

(ولايُشرك في حُكمه أحداً)

"Dan Dia tidak mengambil seorangpun jadi teman sekutu dalam hukum-Nya" (Qs Al Kahfi 26)

Dus dengan demikian, siapa saja selain Allah yang mengambil alih hak tasyrii` untuk manusia, berarti dia telah menjadikan dirinya sebagai sekutu Allah dalam rububiyah-Nya, karena dia bersekutu dengan Allah dalam perbuatan-Nya yang Dia khususkan untuk diri-Nya sendiri. Apa yang mereka lakukan itu, diperingatkan Allah Ta`ala dengan firman-Nya:

(أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين مالم يأذن به الله)

"Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu –selain Allah- yang mensyari`atkan untuk mereka agama yang tidak diidzinkan Allah." (Qs Asy Syuraa 21)

Barangsiapa menjadikan dirinya sebagai sekutu Allah dalam membuat aturan hukum untuk manusia, maka sesungguhnya dia telah menjadikan dirinya sebagai Rabb/Tuhan bagi mereka. Dan siapa yang menyerahkan hak ini kepada manusia atau menta`atinya atas apa yang disyari`atkannya, maka sesungguhnya dia telah menjadikan manusia tadi sebagai Rabbnya, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله)

"Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) telah menjadikan rabbi-rabbi mereka dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan-Tuhan selain Allah" (Qs At Taubah 31)

Dari `Adi bin Hatim ra -semula dia adalah seorang penganut Nashrani kemudian masuk Islam -:

Dia datang menemui Nabi Saw, dan ketika itu dia mendengar Nabi Saw membaca ayat: «اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله والمسيح بن مريم، وماأمروا إلا ليعبدوا إلها واحداً، لا إله إلا هو سبحانه عما يشركون» " Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) telah menjadikan rabbi-rabbi mereka dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan-Tuhan selain Allah. Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk mengabdi kepada Tuhan yang satu. Tidak ada Tuhan – yang berhak disembah – kecuali Dia. Maha Suci Allah atas apa yang mereka sekutukan"

"Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka" Sanggahnya.

"Bukankah mereka (para rabbi dan rahib) mengharamkan apa yang diharamkan Allah, lalu mereka (para pengikut) ikut mengharamkannya, dan mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu mereka ikut menghalalkannya?" Kata Nabi Saw. balik menanya.

"Ya, benar" Jawab `Adi.

Lantas beliau berkata: "Itulah bentuk ibadah mereka (kepada Rabbi-rabbi dan rahib-rahib mereka)" Hadits ini diriwayatkan Ahmad dan At Tirmidzi, sedangkan At Tirmidzi menghasankannya.

Al Alusi berkata menafsirkan ayat di atas: "Mayoritas ahli tafsir mengatakan: "Yang dimaksud dengan menjadikan Tuhan-tuhan selain Allah itu bukanlah mereka meyakini bahwa rabbi-rabbi dan rahib-rahib mereka adalah Tuhan-tuhan pencipta alam semesta, tapi maksudnya ialah mereka mena`ati perintah-perintah dan larangan-larangan mereka" selesai.

Di negara-negara jahiliyah modern (lebih dikenal dengan sebutan Negara-negara sekuler), terdapat beberapa lembaga yang memegang kekuasaan tasyrii`/legeslasi, utamanya adalah Parlemen. Konsitusi di negara sekuler tadi menetapkan bahwa Parlemen (DPR) ialah pemegang kekuasaan legeslatip, sedangkan Presiden mempunyai hak untuk mengeluarkan keputusan-keputusan hukum (Kepres-kepres) sesuai dengan ketentuan konstitusi yang berlaku. Mereka, yakni para pembuat syari`at selain Allah, telah menjadikan diri mereka sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam rububiyah-Nya, dan telah mendaulat diri mereka sebagai Tuhan-tuhan manusia selain Allah, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh ayat di atas.

Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syanqithi berkata: (Mengingat bahwa tasyrii` dan seluruh hukum-hukum yang ada, baik syar`i ataupun kauni, merupakan kekhususan Rububiyah Allah sebagaimana telah ditunjukkan oleh ayat-ayat di atas, maka dari itu setiap orang yang mengikuti syari`at selain syari`at Allah berarti telah menjadikan pembuat syari`at itu sebagai Tuhan, dan dia telah menyekutukannya dengan Allah) Kitab: Adhwaa`ul Bayaan VII/169.

Dengan uraian keterangan di atas, kamu mengetahui bahwa mengesakan Allah Ta`ala dalam hak tasyrii` termasuk inti kandungan Tauhid Rububiyah, dan bahwa pelanggaran apapun terhadap prinsip ini adalah bertentangan dengan tauhid Rububiyah dan merupakan kekafiran terhadap Allah Ta`laa, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

"Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya, katakanlah:"Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu, sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka" (Qs Az Zumar 8)

Dan firman Allah Ta`ala:

"Dan tidak (patut pula baginya) menyuruh kalian untuk menjadikan para Malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan-tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kalian kafir di waktu kalian sudah (menganut agama) Islam?" (Qs Ali `Imran 80)

Apabila orang yang menjadikan para malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan-tuhan adalah kafir, lantas bagaimana halnya dengan orang-orang yang lebih rendah tingkatannya daripada mereka?

Inilah penjelasan tentang korelasi hubungan antara masalah hukum dan tasyrii` dengan Tauhid Rububiyah.

Kedua: Tauhid Uluhiyah: Yakni mengesakan Allah Ta`ala dengan ibadah. Ilah/Tuhan adalah ma`buud/sesembahan. Jadi siapa yang beribadah kepada Allah saja dengan segenap bentuk ibadah yang zhahir dan yang batin, maka dia adalah seorang mu`min ahli tauhid. Dan siapa yang beribadah kepada selain-Nya, maka dia adalah seorang musyrik kafir. Ibadah tidak sah kecuali dengan menjauhi syirik, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(واعبـدوا اللـه ولاتشركوا به شيئا)

"Dan sembahlah Allah dan jangan kalian sekutukan Dia dengan sesuatu apapun" (Qs An Nisaa` 36)

Dan firman Allah Ta`ala:

"Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut" (Qs An Nahl 36)

Tauhid Uluhiyah disebut pula dengan nama Tauhid Ibadah, sebagaimana ia disebut pula dengan nama Tauhid Al Iraadi Al Qashdi Ath Thalabi. Dinamai dengan istilah tersebut karena yang diminta dari hamba di dalamnya –bukan sekedar mengenal Allah dan menetapkan apa-apa yang wajib baginya sebagaimana dalam Tauhid Rububiyah- akan tetapi yang diminta dari seorang hamba di dalamnya ialah: Mengesakan Tuhannya dengan ibadah dan mengesakan-Nya dengan kehendak-Nya, maksud keinginan-Nya dan permintaan-Nya; dan dia tidak boleh beribadah kepada selain-Nya ataupun menghendaki kepada selain-Nya. Tidaklah sah iman seorang hamba sampai dia bisa mendatangkan dua macam tauhid ini.

Allah `Azza wa Jalla membuka Al Qur`an dan menutupnya dengan penjelasan tentang dua tauhid ini, yakni dalam dua surat Al Fatihah dan An Naas. Kemudian isi Al Qur`an semuanya menjelaskan dan menerangkan kandungan dua tauhid ini, yakni: Wajibnya mengesakan Allah dengan Rububiyah dan Uluhiyah-Nya; menjelaskan tentang cara beribadah kepada-Nya dan menjelaskan tentang pahala bagi orang yang menta`ati-Nya dan hukuman bagi orang yang mendurhakai-Nya.

Allah Ta`ala berfirman dalam surat Al Fatihah:

(الحمـد للــه رب العالمــين الرحــمن الرحيم مالك يوم الدين)

Segala puji bagi Allah Tuhan pemilik semesta alam,

Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

Raja Yang menguasai hari pembalasan.

Ayat-ayat di atas menjelaskan tentang Tauhid Rububiyah, yakni menetapkan Rubuyiyah (kepemilikan) dan mulku (kepenguasaan) hanya bagi Allah, serta menetapkan asma-asma-Nya dan sifat-sifat-Nya (الرحمن الرحيم) , kemudian Allah Ta`ala berfirman: (إياك نعبد وإياك نستعين) "Hanya kepada-Mu-lah Kami beribadah, dan hanya kepada-Mu-lah kami minta pertolongan", ayat ini menjelaskan tentang Tauhid Uluhiyah. Yakni, mengesakan Allah Swt dengan ibadah dan isti`aanah/hal meminta pertolongan. Sedangkan isti`aanah termasuk salah satu bentuk ibadah. Pada penempatan objek (إياك)--kata ini termasuk salah satu bentuk kata pembatas-- di awal kalimat mendahului subjek dan predikat, terdapat dalil yang mewajibkan pentauhidan Allah dengan ibadah.

Allah `Azza wa Jalla berfirman dalam surat An Naas: قل أعوذ برب الناس ملك الناس) "Katakanlah (Muhammad): Aku berlindung diri kepada Tuhan (pemilik) manusia. Raja manusia." Ayat ini menetapkan Tauhid Rububiyah.

Kemudian Allah `Azza wa Jalla berfirman: (إله الناس) "Tuhan sesembahan manusia". Ayat ini menetapkan Tauhid Uluhiyah. Dengan kedua surat ini Allah Ta`ala membuka Al Qur`an dan menutup dengan penjelasan tentang dua macam tauhid tersebut.

Ketahuilah bahwa Tauhid Uluhiyah mencakup Tauhid Rububiyah tapi tidak sebaliknya. Jadi tidak akan mentauhidkan Allah dengan ibadah (inilah yang disebut Tauhid Uluhiyah) melainkan orang yang meyakini akan keesaan-Nya dan kesendirian-Nya dalam Dzat, Af`aal, Asma dan Sifat-sifat-Nya (inilah yang disebut Tauhid Rububiyah).

Tetapi terkadang ada Tauhid Rububiyah tanpa Tauhid Uluhiyah. Yang demikian itu bisa terjadi ketika seseorang mengetahui wujudnya Allah Swt dan menetapkan bahwa pemilikan, penciptaan dan pengaturan adalah milik Allah, namun demikian dia tidak mau beribadah kepada-Nya atau mempersekutukan Allah dalam ibadah dia kepada-Nya. Peri keadaan orang ini adalah seperti peri keadaan seluruh ummat yang mana para Rasul diutus kepada mereka, yakni mereka mengakui bahwa Allah adalah Sang Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta. Itu adalah pengakuan terhadap Rububiyah Allah. Kendati demikian mereka beribadah kepada selain-Nya dengan berbagai macam bentuk ibadah seperti: Takut, berharap, mencintai, berdo`a, bernadzar, menyembelih dan berhukum. Dan itu adalah penyekutuan terhadap Uluhiyah Allah. Allah mencela mereka dalam Al Qur`an, sebab mengapa mereka mengakui Rububiyah-Nya kemudian tidak mau mentauhidkannya dengan ibadah? Di antara celaan Allah terhadap mereka adalah firman Allah Ta`ala:

(قل من يرزقكم من السماء والأرض، أم من يملك السمع والأبصار ومن يُخرج الحي من الميت ويُخرج الميت من الحي، ومن يدبر الأمر، فسيقولون الله، فقل أفلا تتقون)

"Katakanlah: Siapakah yang memberi rezki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur semua urusan? Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakana: "Mengapa kalian tidak bertakwa (kepada-Nya)?" (Qs Yunus 31)

Dan firman Allah Ta`ala:

(ولئن سألتهم من خلقهم ليقولن الله، فأنى يؤفكون)

"Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka?", niscaya mereka akan menjawab: "Allah", maka bagaimana mereka dapat dipalingkankan (dari menyembah Allah)" (Qs Az Zukhruf 87)

Kendati mereka mengakui terhadap Rububiyah-Nya, Allah tetap mencela mereka dan mengatakan bahwa Sang Pencipta, Pemilik, Pemberi Rezki dan Pengatur, Dia sajalah yang berhak diibadahi. Allah Ta`ala berfirman:

(ياأيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم)

"Wahai manusia sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian" (Qs Al Baqarah 21).

Allah Ta`ala berfirman:

(أفمـن يخلُـق كمن لايخلـق أفـلا تـذكــرون)

"Apakah yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka kenapa kalian tidak mengambil pelajaran" (Qs An Nahl 17)

Allah Ta`ala berfirman:

(والذين يدعون من دون الله لا يخلقون شيئا وهم يُخلقون)

"Dan orang-orang (atau berhala-berhala) yang mereka seru selain Allah, tidak dapat menciptakan sesuatu apapun, sedang mereka diciptakan." (Qs An Nahl 20)

Allah Ta`ala berfirman:

(أيُشركون مالا يخلُق شيئا وهم يُخلقون)

"Apakah mereka menyekutukan (Allah) dengan sesuatu yang tidak dapat menciptakan sesuatu, sedang mereka diciptakan" (Qs Al A`raaf 131)

Allah Ta`ala berfirman:

(ألا له الخلق والأمر)

"Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah" (Qs Al A`raaf 54)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: (Yang dimaksud dengan tauhid bukanlah sekedar Tauhid Rububiyah, yakni meyakini bahwa Allah sajalah Yang menciptakan alam semesta, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian ahli kalam dan ahli tashawwuf. Mereka meyakini bahwa apabila mereka telah menetapkan tauhid ini, maka mereka telah menetapkan puncak tauhid. Dan bahwasanya apabila mereka telah mengakui tauhid ini dan mati di dalamnya, maka sesungguhnya mereka telah mati dalam puncak tauhid. Ketahuilah bahwa sekiranya seseorang mengakui sifat-sifat yang berhak disandang oleh Allah Ta`ala dan dia mensucikan-Nya dari sifat apa saja yang tidak layak disandang-Nya, dan dia mengakui bahwa Allah sajalah yang menciptakan segala sesuatu, maka dia belum dikatakan sebagai ahli tauhid sampai dia bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah saja, kemudian dia mengakui bahwa Allah sajalah Tuhan yang berhak diibadahi, dan konsisten dengan ibadahnya kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun –sampai dengan perkataan beliau— karena kaum musyrikin Arab dahulu juga mengakui bahwa Allah sajalah yang menciptakan segala sesuatu. Kendatipun demikian, mereka mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Allah Ta`ala berfirman:

(ومايؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون)

"Dan tidaklah kebanyakan dari mereka itu beriman kepada Allah kecuali mereka itu musyrik" (Qs Yusuf 106)

Segolongan ulama salaf berkata menafsirkan ayat di atas: "Tanyakan pada mereka: "Siapa yang menciptakan langit dan bumi", pasti mereka akan menjawab: "Allah", meski demikian mereka tetap menyembah kepada yang lain.") Dikutip dari kitab "Fat-hul Majiid" syarah Kitabut-tauhiid. Hal: 16. Cet: Daarul Fikr.


Kesimpulan: Bahwa tidak sah iman seorang hamba sampai dia mendatangkan dua macam tauhid di atas. Telah jelas olehmu melalui uraian penjelasan di muka bahwa kaum musyrikin Arab dahulu juga mengakui Rububiyah Allah. Akan tetapi pengakuan mereka akan tauhid ini, tidak bisa melindungi darah dan harta mereka. Bahkan Rasulullah Saw tetap memerangi mereka karena kemusyrikan mereka terhadap Uluhiyah Allah sampai mereka mendatangkan Tauhid Uluhiyah ini.

Adapun Tauhid Uluhiyah --sebagaimana telah dijelaskan di muka-- ialah mengesakan Allah dengan ibadah. Dan di antara ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah terhadap hamba-Nya adalah memutuskan hukum dengan syari`at-Nya dan berhukum kepadanya, sebagaimana firman Allah Ta`ala:


"Tiadalah (hak membuat) hukum itu kecuali kepunyaan Allah, dan Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya" (Qs Yusuf 40)

Ini adalah nash yang sharih (jelas) yang menerangkan bahwa hukum itu termasuk bagian dari ibadah yang mana seorang hamba wajib mengesakan Allah Ta`ala dengannya untuk merealisir Tauhid Uluhiyah. Maka dari itu syirik kepada Allah dalam hukum-Nya adalah sama dengan syirik kepada-Nya dalam ibadah. Allah Ta`ala berfirman:

"Dan Dia tidak mengambil seorangpun jadi teman sekutu dalam hukum-Nya" (Qs Al Kahfi 26)

Ibadah ini, yakni memutuskan hukum dengan syari`at Allah adalah wajib bagi semua hamba, baik para penguasa maupun rakyat, masing-masing menurut kadar tingkatannya. Para penguasa wajib memutuskan hukum di antara manusia dengan syari`at Allah. Allah Ta`ala berfirman:


وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولاتتبع أهواءهم)

"Dan putuskanlah perkara di antara mereka dengan hukum yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka" (Qs Al Maa-idah 49)

Allah Ta`ala menetapkan kekafiran mereka jika mereka tidak memutuskan hukum dengan syari`at Allah. Allah Ta`ala berfirman:

(ومـن لـم يحكـم بمـا أنـزل اللـه فأولئــك هـم الكافرون)

"Dan barangsiapa tidak memutuskan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir" (Qs Al Maa-idah 44)

Semua manusia, baik yang memimpin dan yang dipimpin, wajib atas mereka berhukum kepada syari`at Allah. Dan tidak sah keimanan mereka kecuali dengan berhukum kepada syari`at Allah, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(فلا وربك لايؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لايجدوا في أنفسهم حرجاً مما قضيت ويسلموا تسليما)

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan penerimaan yang sepenuhnya." (Qs An Nisaa` 85)

Nash-nash di atas menunjukkan kekafiran orang yang tidak memutuskan hukum dengan syari`at Allah atau tidak berhukum kepadanya. Itu berarti bahwa memutus hukum dengan syari`at Allah dan berhukum kepadanya merupakan ibadah yang wajib dan masuk dalam kategori pokok iman. Telah saya sampaikan --dalam ta`liiq/ulasan saya terhadap Aqidah Thahawiyah pada awal pembahasan tema I`tiqaad -- bahwa tiap perbuatan yang membuat kafir orang yang meninggalkannya, maka dia termasuk dalam kategori pokok iman, dan tidak sah iman seseorang kecuali dengan mengerjakannya.

Jadi jelas sudah melalui uraian keterangan di muka, bahwa mentauhidkan Allah Ta`ala dengan tasyrii`-Nya atas manusia --dan ia termasuk af`aal Allah-- termasuk Tauhid Rububiyah. Dan bahwa pengesaan-Nya dengan memutuskan hukum berdasarkan syari`at-Nya dan berhukum kepada syari`at-Nya --dan ia termasuk perbuatan hamba-- termasuk Tauhid Uluhiyah. Itu karena Tauhid Rububiyah ialah mengesakan Allah dengan af`aal-Nya, dan Tauhid Uluhiyah ialah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba yang dengan perbuatan itu Allah memerintahkan hamba supaya beribadah kepada-Nya.

Tidak sah kalimat tauhid, yakni kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, kecuali dengan mengesakan Allah Ta`ala dalam perkara itu semua --yaitu tasyrii`, memutuskan hukum dengan syari`at Allah dan berhukum kepada syari`at-Nya—Barangsiapa memaling sesuatu dari ibadah-ibadah ini kepada selain Allah, maka sesungguhnya dia telah mengambil sekutu dan Tuhan lain di samping Allah dan belum merealisir makna kalimat "Laa ilaaha illallaah". Allah Ta`ala berfirman:


"Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu –selain Allah- yang mensyari`atkan untuk mereka agama yang tidak diidzinkan Allah." (Qs Asy Syuraa 21)

Allah Ta`ala berfirman:

"Dan Dia tidak mengambil seorangpun jadi teman sekutu dalam hukum-Nya" (Qs Al Kahfi 26)

Yang dikehendaki dari kalimat tauhid bukanlah sekedar mengucapkannya tapi beriltizam/komitmen dengan apa-apa yang diwajibkannya, yakni mengesakan Allah dengan ibadah. Dengan makna pengertian seperti itu, Rasulullah Saw dahulu menafsirkan makna kalimat tauhid. Beliau Saw bersabda:


"Islam dibangun di atas lima perkara: Kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, hajji ke Baitullah dan puasa Ramadhan " (Muttafaqqun `alaih dari Ibnu `Umar).

Dan dalam riwayat muslim, Nabi Saw menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan syahadat ialah:

(بني الإسلام على خمس: على أن يُعبد الله ويُكفر بما دونه، وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان)

"Islam dibangun di atas lima perkara: beribadah kepada Allah dan mengkafiri apa-apa selain-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, hajji ke Baitullah dan puasa Ramadhan" Muttafaqqun `alaih.

Beliau menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat tauhid ialah: Beribadah kepada Allah saja tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian pula dalam sabda Nabi Saw:

(أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله، فإذا قالوا لا إله إلا الله عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقها)

"Aku diutus untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan "Laa ilaaha illallaah". Maka apabila mereka sudah mengatakan "Laa ilaaha illallaah", maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dari aku (perangi) kecuali dengan haknya" Hadits Muttafaqqun `alaih.

Dan bahwa maksud mengucapkan syahadat bukanlah sekedar mengucapkannya tapi merealisasikannya dengan beribadah kepada Allah saja. Itu bisa dipahami melalui sabda Nabi Saw:

(بُعثت بالسيف بين يدي الساعة حتى يُعبد الله وحده لاشريك له)

"Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang hingga Allah diibadahi sendirian saja tidak ada sekutu bagi-Nya" Hadits shahih riwayat Imam Ahmad.

Nabi Saw menjelaskan bahwa yang diminta dari orang-orang kafir --yang diperangi karenanya-- adalah mentauhidkan Allah saja dengan ibadah, tidak hanya sekedar pengucapan mereka terhadap kalimat laa ilaaha illallaah, kendatipun mereka tidak diperangi setelah mengucapkannya sampai ada kejelasan bahwa mereka telah melakukan hal-hal yang membatalkan syahadatnya. Inilah makna sabda Nabi Saw dalam hadits pertama (kecuali dengan haknya). Adapun di antara hak-haknya ialah mentauhidkan Allah dengan ibadah, sebagaimana sabda Nabi Saw:

(حق الله على العباد أن يعبدوه ولايشركوا به شيئا)

"Hak Allah atas hamba ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu apapun" Hadits Muttafaqqun `alaih.

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa yang dikehendaki dari kalimat tauhid bukanlah sekedar mengucapkannya saja, tapi beriltizam dengan apa-apa yang diwajibkan oleh kalimat tauhid, yakni mengesakan Allah Ta`ala dengan ibadah. Orang-orang kafir dari seluruh ummat manusia yang ada dahulu, mengetahui betul hal ini. Ketika Hud As berkata kepada kaumnya: (اعبدوا الله مالكم من إله غيره) "Ibadahilah Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian Tuhan selain-Nya" (Qs Al A`raaf 65). (قالوا أجئتنا لنعبد الله وحده ونَذَرَ ماكان يعبد آباؤنا) "Mereka menjawab: Apakah engkau datang pada kami (menyeru) supaya kami beribadah kepada Allah saja, dan meninggalkan apa yang dahulu disembah oleh bapak-bapak kami?" (Qs Al A`raaf 70). Maka mereka langsung tahu bahwa yang dikehendaki Nabi Hud As atas mereka adalah mengesakan Allah dengan ibadah dan meninggalkan peribadatan kepada Tuhan-tuhan selain-Nya.

Allah Ta`ala berfirman:

(إنهم كانوا إذا قيل لهم لا إله إلا الله يستكبرون، ويقولون أئنا لتاركوا آلهتنا لشاعر مجنون)

"Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallaah", maka mereka menyombongkan diri.

Dan mereka berkata:" Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan Tuhan-tuhan sesembahan kami karena seorang penyair gila." (Qs Ash Shaaffaat 36-37)

Mereka mengetahui bahwa yang dikehendaki dari mereka bukanlah sekedar mengucapkan kalimat tersebut, tapi beriltizam kepada apa-apa yang diwajibkannya, yakni meninggalkan Tuhan-tuhan mereka. Maka dari itu mereka menolak mengucapkannya dan menyombongkan diri daripadanya. Inilah yang dipahami oleh orang-orang kafir dari seluruh ummat yang ada dahulu. Adapun sekarang, maka banyak orang-orang yang mengaku beragama Islam tidak memahami apa yang dipahami oleh orang-orang kafir dahulu. Mereka lebih buruk dari orang-orang kafir dahulu. Sebab mereka mengucapkan kalimat tauhid dengan lesan-lesan mereka, tapi mereka membatalkannya dengan amal perbuatan mereka. Di tentang persoalan ini, Syeikhul Islam Muhammad bin `Abdul Wahhab rhm berkata: (Lalu Nabi Saw datang pada mereka untuk menyeru mereka kepada kalimat tauhid, yakni "Laa ilaaha illallaah". Yang dikehendaki Nabi Saw dari kalimat ini, bukanlah sekedar mengucapkannya. Orang-orang kafir yang jahil dahulu mengetahui bahwa yang dikehendaki Nabi Saw dengan kalimat ini adalah mengesakan Allah Ta`ala dengan bergantung kepada-Nya dan mengkafiri apa-apa yang disembah selain Allah dan berlepas diri daripadanya. Karena Rasulullah Saw menyeru kepada mereka: Katakanlah: "Laa ilaaha illallaah", lalu mereka menjawab: «أجعَلَ الآلهة إلها واحداً إن هذا لشيء عُجاب» "Apakah dia hendak menjadikan tuhan-tuhan itu menjadi satu Tuhan, sesungguhnya (perkataannya) itu benar-benar sesuatu yang mengherankan"

Jika kamu tahu bahwa orang-orang kafir yang jahil itu mengetahui hal tersebut, maka sungguh sangat mengherankan sekali ihwal orang yang mengaku Islam tapi dia tidak tahu menafsirkan kalimat ini seperti yang dipahami oleh orang-orang kafir yang jahil dahulu?!) Dikutip dari Risalah tulisan Syeikhul Islam Muhammad bin `Abdul Wahhab "Kasyfusy Syubhaat" hal: 6-7

Jika kamu telah tahu kalau yang dikehendaki dari kalimat tauhid adalah merealisir maknanya, yakni mengesakan Allah dengan ibadah, maka jelaslah olehmu bahwa orang yang mengaku Islam, mengerjakan shalat dan puasa, akan tetapi dia memutuskan hukum atau berhukum dengan selain syari`at Allah, maka dia bukanlah seorang muslim, oleh karena dia tidak mengesakan Allah dengan ibadah. Jadi dengan demikian, dia belum merealisir makna kalimat tauhid. Atau katakanlah: Dia mengucapkan kalimat tauhid dengan lesannya tapi membatalkannya dengan perbuatannya. Jika tidak demikian, Allah Ta`ala telah berfiirman: (فَصَلِّ لربك) "Maka shalatlah kamu untuk Tuhanmu" (Qs Al Kautsar), sebagaimana Dia berfirman: (إن الحكم إلا لله) "Tiadalah (hak membuat) hukum itu kecuali kepunyaan Allah " (Qs Yusuf 40). Jadi Allah Ta`ala memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya mengerjakan shalat untuk-Nya saja dan berhukum kepada-Nya saja. Maka siapa yang shalat untuk Allah tapi berhukum kepada selain-Nya, berarti dia belum mengesakan Allah dengan ibadah, bahkan beribadah kepada Allah dan beribadah kepada selain-Nya. Inilah perbuatan syirik yang dilakukan oleh ummat-ummat terdahulu. Mereka, di samping beribadah kepada selain Allah, maka mereka juga beribadah kepada Allah dengan sebagian bentuk-bentuk ibadah, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(ومايؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون)

"Dan tidaklah kebanyakan dari mereka itu beriman kepada Allah kecuali mereka itu musyrik" (Qs Yusuf 106).

Allah Ta`ala berfirman:

(والذين اتخذوا من دونه أولياء ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى)

"Dan orang-orang yang mengambil wali-wali (penolong-penolong) selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya" (Qs Az Zumar 3)

Allah Ta`ala berfirman:

(وإذ اعتزلتموهم ومايعبدون إلا الله)

"Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah" (Qs Al Kahfi 16).

Mereka meninggalkan Tuhan-tuhan yang disembah oleh kaum mereka selain Allah, jadi ayat ini menunjukkan bahwa Allah masuk dalam sekian banyak Tuhan-tuhan yang mereka sembah. Karena mereka dahulu menyembah-Nya dan menyembah pula Tuhan-tuhan selain-Nya. Inilah makna syirik, yakni mengambil sekutu di samping Allah dalam ibadah. Kesyirikan inilah yang ditunjukkan oleh uslub (cara pengungkapan) kata pengecualian yang datang dalam nash di atas. Uslub itu datang pula dalam firman Allah Ta`ala:

(وإذ قال إبراهيم لأبيه وقومه إنني براء مما تعبدون إلا الذي فطرني)

"Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian sembah,

kecuali (Tuhan) Yang telah menciptakanku" (Qs Az Zukhruf 26-27)

Dan ayat yang senada dengannya, yakni ayat 75-77 dari surat Asy Syu`araa'.


Kesimpulan: Bahwa siapa yang shalat dan berpuasa untuk Allah, tapi dia memberikan hak tasyrii` kepada manusia atau memutuskan hukum atau berhukum kepada selain syari`at-Nya, maka dia telah beribadah kepada Allah dan beribadah kepada selain-Nya. Dan dia dengan apa yang dilakukannya itu, jadi seorang musyrik dan kafir bukan seorang muslim. Inilah keadaan yang terjadi pada seluruh masyarakat jahiliyah sekarang, mereka shalat dan berpuasa untuk Allah, tapi di samping itu mereka memberikan hak tasyrii` kepada selain Allah, ini adalah syirik dalam rububiyah-Nya; dan memutuskan hukum serta berhukum kepada selain syari`at Allah, ini adalah syirik dalam uluhiyah-Nya. Undang-undang mereka menyatakan dengan jelas, sejelas-jelasnya akan kekafiran tersebut. Mereka mengatakan:


  1. (Parlemen memegang kekuasaan tasyrii`/legeslatif). Lihat sebagai misal (Materi ke 165 dari Konstitusi Mesir).

  2. (Keputusan hukum di mahkamah-mahkamah pengadilan adalah berdasarkan hukum) Lihat sebagai misal (Materi ke 86 dari konstitusi Mesir).

  3. (Tak ada kejahatan ataupun saksi hukuman kecuali berdasarkan hukum) Lihat sebagai misal (Materi ke 66 dari konstitusi Mesir).

  4. (Prinsip-prinsip Islam adalah sumber utama tasyrii`) lihat sebagai misal (Materi ke 2 dari konstitusi Mesir).

Sebagian besar konstitusi-konstitusi sekuler menetapkan hal-hal di atas kendatipun berbeda-beda ungkapan katanya.

Teks materi paling akhir yang telah disebutkan di muka adalah bentuk kekafiran terbesar, karena ia menetapkan bahwa mereka berhak membuat tasyrii`, dan itu jelas-jelas menjadikan Tuhan-tuhan lain disamping Allah. Oleh karena hak tasyrii` adalah milik Allah saja --seperti telah diterangkan di muka--. Makna bahwa syari`at Islam adalah sumber utama tasyrii` --bukan satu-satunya--menunjukkan bahwa di sana ada sumber-sumber tasyrii` yang lain, dan di sana ada Tuhan-tuhan lain di samping Allah yang diambil tasyrii`nya. Maka dari itu, Allah tidak mengampuni mereka, meskipun hukum-hukum positip mereka memuat sebagian hukum-hukum syar`i --yang mereka sebut dengan istilah Hukum Purusa atau dengan istilah-istilah lain-- Apa yang mereka lakukan dengan mengadopsi sebagian dari syari`at Islam, tidak diampunkan Allah dosanya karena mereka telah mengambil hukum-hukum di luar syari`at Allah. Dengan uraian penjelasan di atas, tahulah kami bahwa perkataan mereka (Syari`at Islam adalah sumber utama tasyrii`) mempunyai arti bahwa (Tidak ada Tuhan yang utama kecuali Allah), oleh karena mereka menjadikan Tuhan-tuhan lain di samping Allah, yang mereka ibadahi selain Allah dengan tahaakum (berhukumnya) mereka kepada Tuhan-tuhan itu tadi. Tidakkah kamu lihat, ketika sebagian pengikut Nabi Saw berkata padanya: (اجعــل لنــا ذات أنواط) "Buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath", maka beliau berkata pada mereka: "Allahu Akbar sesungguhnya itu adalah sunnah (Allah). Demi Dzat yang mana jiwaku berada di tangan-Nya, kalian mengatakan seperti apa yang dikatakan Bani Israel kepada Musa: «اجعل لنا إلها كما لهم آلهة»"Buatkanlah untuk kami Tuhan sebagaimana mereka punya Tuhan-tuhan" HR. At Tirmidzi dan dia menshahihkannya. Beliau menyamakan perkataan mereka --kaum muslimin-- dengan perkataan mereka --Bani Israel--, oleh karena `ibrah (mengambil pelajaran) itu dengan kandungan makna dan isi, meskipun berlainan nama dan lafazhnya. Menjadikan Tuhan-tuhan selain Allah dalam hak tasyrii` dan hukum adalah jelas-jelas kesyirikan yang dilarang Allah Ta`ala dengan firman-Nya:

وقال الله لاتتخذوا إلهين اثنين، إنما هو إله واحد، فإياي فارهبون)

"Janganlah kalian mengambil dua Tuhan, sesungguhnya Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa, maka kepada-Ku sajalah hendaknya kalian takut" (Qs An Nahl 51).

Tuhan-tuhan lain di samping Allah yang diibadahi manusia ini adalah thaghut-thaghut yang Allah memerintahkan mereka supaya menjauhinya dan mengkafirinya, sebagaimana firman Allah Ta`ala:


"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan kepada mereka): "Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut" (Qs An Nahl 36).

Telah diterangkan di muka, yakni di bagian akhir tema bahasan "I`tiqaad" --dalam kritikan saya terhadap kitab "Ar Risaalah Al Liimaaniyah fil Muwaalaah"-- tentang makna thaghut dan macam-macamnya. Dan salah satu di antaranya ialah "Setiap apa yang dimintai hukumnya selain Allah, seperti undang-undang atau hukum atau hakim, atau pemimpin atau pemuka kaum atau yang lain". Yang demikian itu adalah berdasarkan firman Allah Ta`ala:

(يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت وقد أمِروا أن يكفروا به)

"Mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka diperintahkan untuk mengkafirinya" (Qs An Nisaa` 60)

Syeikh Asy Syanqithi berkata: (Setiap tahaakum --berhukum-- kepada selain syari`at, maka ia adalah tahaakum kepada thaghut) Lalu beliau menyitir ayat di atas. Lihat kitab "Adhwaa`ul Bayaa" VII/165,

Allah `Azza wa Jalla telah menetapkan bahwa soal hukum (memutuskan hukum) dan tahaakum (berhukum) adalah ibadah. Allah Ta`ala berfirman:

"Tiadalah (hak membuat) hukum itu kecuali kepunyaan Allah, dan Dia telah memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya" (Qs Yusuf 40)

Jadi siapa yang mengalihkan kedua ibadah tersebut kepada selain Allah, maka sesungguhnya dia telah beribadah kepadanya.

Saya ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa materi konstitusi kufur di muka, yakni (prinsip-prinsip yang menyatakan bahwa syari`at Islam sebagai sumber utama tasyrii`) tidak mengharuskan para pembuatnya untuk berpegang pada hukum Islam manapun, karena ia hanya menetapkan untuk berpegang pada prinsip-prinsip syari`at bukan hukum-hukum syari`at, sementara antara keduanya ada perbedaan yang sangat prinsipil, seperti hal itu diakui sendiri oleh para pengabdi/penjaga hukum-hukum positip yang kafir, ketika mereka mengatakan bahwa prinsip-prinsip syari`at adalah benar, adil dan equaliti (tidak diskriminatif), dan bahwa prinsip asal hukum dibangun di atas dasar baroo`ah adz dzimmah (seseorang belum dinyatakan bersalah sampai ada pembuktian secara hukum) serta prinsip-prinsip yang lain. Prinsip-prinsip inipun dijamin oleh hukum-hukum positip. Dengan uraian keterangan ini tahulah kamu bahwa materi konstitusi di atas tidak mengakibatkan suatu keharusan apapun untuk menjadikan syari`at sebagai hukum yang berlaku.

Pembuatan syari`at yang bukan dari Allah, memutuskan hukum dan berhukum kepada selain syari`at Allah ini, maknanya adalah menjadikan manusia sebagai tandingan-tandingan di sisi Allah. Perbuatan ini adalah kekafiran itu sendiri, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

"Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya, katakanlah:"Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu, sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka" (Qs Az Zumar 8).

Ibnu Taimiyah rhm berkata: "Barangsiapa yang menjadikan bagi Allah satu tandingan dari makhluk ciptaan-Nya dalam Uluhiyah dan Rububiyah yang berhak disandang-Nya, maka dia telah kafir menurut ijma` ummat" (Majmuu` Fatawa I/88).

Pembuatan syari`at yang bukan dari Allah, memutuskan hukum dan berhukum kepada selain syari`at Allah ini adalah salah satu bentuk paganisme (penyembahan terhadap berhala), sebagaimana perkataan Syeikh `Abdurrahman Ad Dusari:


"Sesungguhnya paganisme itu berlainan tata caranya namun satu bentuknya, adapun yang menyatukannya adalah penyucian terhadap selain Allah atau menjadikan selain Allah sebagai hakim pengadil atau membuat syari`at yang bertentangan dengan syari`at-Nya. Akan tetapi maknanya bukanlah membatasi paganisme dengan tata cara tertentu yang telah berlalu atau dengan satu bentuk di mana orang-orang selain kita terlibat di dalamnya sedangkan kita terbebas darinya, tapi cabang-cabang dari ketiga kaedah yang keji ini sangatlah banyak. Setiap orang yang terlibat dalam satu cabang dari cabang-cabang paganisme, maka dia adalah seorang paganis atau terdapat paganisme dalam dirinya sesuai dengan kadar keterlibatannya, siapapun orangnya dan di lingkungan manapun dia berada" Selesai…dikutip dari kitabnya "Al Ajwubah al Mufiidah li Muhimmaatul Aqiidah" cet: Maktabah Daarul Arqam th 1404 H hal: 44.

Kesimpulan: Maksud saya menyampaikan masalah ini adalah mengingatkan bahwa masalah tasyrii`, hukum dan tahaakum bukanlah masalah yang kategorinya adalah hukum-hukum cabang, tapi ia berkaitan erat dengan pokok tauhid dan masuk dalam prinsip iman. Maka dari itu, sesungguhnya perbedaan antara "mengerjakannya" dengan "meninggalkannya" bukan hanya sekedar perbedaan antara yang halal dengan yang haram, tapi ia adalah perbedaan antara:

  1. Iman dengan kekafiran

  2. Islam dengan jahiliyah

  3. Tauhid dengan syirik

  4. Eksisnya "Tidak ada Tuhan selain Allah" atau eksisnya "Tuhan-tuhan lain di samping Allah".

Apabila tasyrii`, hukum dan tahaakum dialihkan kepada Allah saja di suatu tatanan/sistem di antara tatanan-tatanan yang berkuasa, maka tatanan tersebut dihukumi dengan iman, Islam dan tauhid. Jika ketiga perkara tersebut dialihkan kepada selain Allah Ta`ala, maka ia dihukumi sebagai tatanan kafir, jahiliyah dan syirik. Allah Ta`ala berfirman:

(أفحكم الجاهلية يبغون ومن أحسن من الله حكماً لقوم يوقنون)

"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih bagus hukumnya dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Qs Al Maa-idah 50)

Membedakan antara kedua tatanan yang berkuasa ini adalah wajib sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(ليميز الله الخبيث من الطيب، ويجعل الخبيث بعضه على بعض فيركمه جميعا فيجعله في جهنم أولئك هم الخاسرون)

"Supaya Allah membedakan (golongan) yang buruk dari (golongan) yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagian di atas sebagian yang lain, lalu Allah menumpuknya semua, lalu memasukkan mereka ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi." (Qs Al Anfaal 37)

Pemisahan antara kedua tatanan ini merupakan Miftaah at taghyiir "Kunci pembuka untuk melakukan perubahan" di negeri ini, karena ia akan mengakibatkan pemisahan antara barisan-barisan yang ada. Apabila kaum muslimin mengetahui kekafiran tatanan-tatanan yang memerintah mereka dan mengetahui perbedaan antara tatanan tadi dengan kalimat tauhid, yang mana setiap muslim merasa mulia dengannya; maka menyebarkan ilmu tentang perbedaan itu tadi adalah wajib, agar supaya setiap orang Islam mengetahui apa yang diwajibkan Allah atasnya, yakni merubah tatanan-tatanan kafir tadi dan menggantikan tempatnya dengan tatanan-tatanan Islam.

Penjelasan di atas, semuanya menerangkan tentang korelasi masalah-masalah tasyrii`, hukum dan tahaakum dengan tauhidullah `Azza wa Jalla, dan bahwasanya pengalihan ketiga hal tersebut kepada selain Allah adalah bertentangan dengan tauhid dan merupakan perbuatan syirik kepada Allah Ta`ala.