Kamis, 08 Januari 2009

PENJELASAN TENTANG KORELASI MASALAH TASYRII`, HUKUM DAN TAHAAKUM DENGAN TAUHIDULLAH `AZZA WA JALLA.

Seorang muslim yang bersimpati terhadap agamanya dan takut akan kedudukannya nanti di hadapan Allah `Azza wa Jalla haruslah mengetahui bahwa masalah-masalah ini –masalah-masalah tasyrii`, hukum dan tahaakum—bukanlah masalah-masalah furu`iyah di dalam agama, tapi ia masuk dalam kategori pokok agama dan pokok tauhid.

Hal ini akan jadi jelas dengan mengetahui bahwa Allah `Azza wa Jalla menciptakan makhluk ciptaan-Nya hanyalah untuk beribadah kepada-Nya saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun jua, dan Dia membuat surga dan neraka bagi mereka untuk membalas amal perbuatan mereka kelak di akherat. Allah Ta`ala berfirman:

(وماخلقت الجن والإنس إلا ليعبدون)

"Dan tidaklah Aku ciptakan bangsa jin dan bangsa manusia kecuali supaya mereka mengabdi/beribadah kepada-Ku" Qs Adz Dzaariyaat 56)

Kendatipun demikian Allah `Azza wa Jalla tidak membutuhkan makhluk ciptaan-Nya dan ibadah mereka, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(وقال موسى إن تكفروا أنتم ومن في الأرض جميعا فإن الله لغنيٌ حميد)

"Dan Musa berkata:"Dan jika kalian dan siapa yang ada di muka bumi semuanya kafir, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (Qs Ibrahim 8)

Allah menciptakan hamba manusia supaya mereka mengenal-Nya dan mentauhidkan-Nya, dan mengutus para Rasul kepada mereka di dunia ini untuk mengingatkan mereka akan maksud tujuan dari penciptaan mereka itu; dan mengajarkan kepada mereka ibadah yang wajib mereka kerjakan kepada-Nya. Hamba manusia terus berada di atas agama yang benar, yakni beribadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya berabad-abad lamanya setelah Allah menurunkan Adam dan istrinya dari surga ke bumi, sampai akhirnya penyakit syirik menjangkiti mereka. Lalu Allah mengutus para Rasul untuk menyampaikan khabar gembira dan peringatan kepada mereka. Allah Ta`ala:

"Adalah manusia itu dahulu ummat yang satu, (lalu setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan Al Kitab bersama mereka membawa kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia atas apa yang mereka perselisihkan" (Qs Al Baqarah 213)

Ibnu Katsir rhm berkata menafsirkan ayat di atas: (Ibnu `Abbas ra berkata:" Adalah rentang masa kehidupan Nabi Nuh dan Nabi Adam itu sepuluh abad lamanya. Mereka semua berada di atas syari`at yang benar, sampai akhirnya mereka berselisih. Maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan." Hadits ini diriwayatkan oleh Al Hakim dengan isnad shahih. Dahulu, ummat manusia mengikuti agama Nabi Adam As, sampai akhirnya mereka menyembah berhala. Maka Allahpun mengutus Nabi Nuh As. Dan ia adalah Rasul yang pertama kali diutus Allah Ta`ala kepada penduduk Bumi.) Tafsir Ibnu Katsir juz: I hal:250, kutipan ringkas.

Ketahuilah bahwa para Rasul `alaihimus-salaam, kendatipun berlainan syari`at mereka di dalam hukum; sebagaimana firman Allah Ta`ala "Untuk tiap-tiap ummat di antara kalian, Kami berikan syari`at dan jalan yang terang" (Qs Al Maa-idah 48); tapi mereka semua diutus dengan satu aqidah, yakni menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya –yakni beriman kepada Allah dan kafir kepada thaghut-, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(ولقد بعثنا في كل أمة ٍ رسولاً أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت)

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan kepada mereka): "Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut" (Qs An Nahl 36)

Thaghut adalah apa saja yang disembah atau diminta hukumnya selain Allah. Mengingat bahwa dakwah para Rasul dalam masalah tauhid itu satu, maka Rasulullah Saw bersabda:

(إنا معاشر الأنبياء ديننا واحد، الأنبياء إخوة لعلاّت)

"Sesungguhnya kami Para Nabi sekalian, agama kami adalah satu, dan para Nabi adalah bersaudara lain ibu" (HR. Al Bukhari)

Ibadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya, maksudnya adalah mentauhidkan-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw --kepada Mu`adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya kepada penduduk Yaman --: "Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari golongan Ahli Kitab, maka hendaklah ajakan yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah Ta`ala" Hadits Muttafaqqun `alaih. Telah diterangkan lebih dari satu tempat dalam buku ini --seperti dalam penjelasan ilmu yang fardhu `ain pada Bab Kedua, dan dalam penjelasan tentang topik-topik aqidah pada tema bahasan I`tiqaad Bab ini-- bahwa tauhid ada dua macam:


Pertama: Tauhid Rububiyah, yakni meyakini keesaan Allah Ta`ala dan kesendirian-Nya dalam Dzat-Nya, perbuatan-Nya, Asma dan sifat-Nya, tak ada sekutu bagi-Nya dalam semua itu. Adapun Rabb adalah pemilik yang mengatur. Tauhid Rububiyah dikenal juga dengan nama Tauhid Ma`rifah wal Itsbaat atau Tauhid al `Ilmi al Khabari al I`tiqaadi, oleh karena yang diminta dari seorang hamba dalam tauhid ini adalah ma`rifatullah dengan af`al/perbuatan-Nya, asma-asma-Nya dan sifat-sifat-Nya, dan menetapkan apa yang wajib bagi Allah dari dzat, af`aal, asma dan sifat-sifat itu dalam bentuk ma`rifat dan keyakinan. Lihat kitab "Fat-hul Majiid" hal:14 dan kitab "Ma`aarijul Qubuul" juz: I hal: 54. Jadi siapa yang menjadikan sekutu bagi Allah dalam dzat-Nya atau af`aal-Nya atau asma-Nya atau sifat-Nya, maka sesungguhnya dia telah mensekutukan Allah dalam Rububiyah-Nya dan kafir kepada Allah Ta`ala, sebagaimana firman-Nya:

(وجعل لله أنداداً ليضل عن سبيله قل تمتع بكفرك قليلا إنك من أصحاب النار)

"Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya, katakanlah:"Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu, sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka" (Qs Az Zumar 8)

Dan di antara af`aal Allah Ta`ala yang Dia khususkan untuk dirinya dan hanya Dia miliki sendiri adalah hak tasyrii` (membuat hukum) untuk makhluk ciptaan-Nya, yakni membuat hukum-hukum, perintah-perintah dan larangan-larangan terhadap mereka. Yang menunjukkan kesendirian Allah Ta`ala dengan perbuatan ini ialah firman-Nya:

(إن الحكم إلا لله)

"Tiadalah (hak membuat) hukum itu kecuali kepunyaan Allah" (Qs Al An`aam 57)

Dan firman-Nya dalam surat Yusuf ayat 40, dan firman-Nya dalam surat Al An`aam 62: (ألا له الحكم) "Ketahuilah bahwa hukum itu adalah kepunyaan-Nya", dan firman Allah Ta`ala dalam surat Al A`raaf ayat 54 (ألا له الخلق والأمر) "Ingatlah menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah", dan firman Allah dalam surat Asy Syuraa ayat 10 (ومااختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله)"Dan perkara apa saja yang kalian perselisihkan, maka hukum (untuk memutuskan)nya haruslah diserahkan kepada Allah"

Allah Ta`ala menegaskan kesendirian dan kekhususan-Nya atas pemilikan hak membuat hukum bagi makhluk-Nya dengan firman-Nya:

(ولايُشرك في حُكمه أحداً)

"Dan Dia tidak mengambil seorangpun jadi teman sekutu dalam hukum-Nya" (Qs Al Kahfi 26)

Dus dengan demikian, siapa saja selain Allah yang mengambil alih hak tasyrii` untuk manusia, berarti dia telah menjadikan dirinya sebagai sekutu Allah dalam rububiyah-Nya, karena dia bersekutu dengan Allah dalam perbuatan-Nya yang Dia khususkan untuk diri-Nya sendiri. Apa yang mereka lakukan itu, diperingatkan Allah Ta`ala dengan firman-Nya:

(أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين مالم يأذن به الله)

"Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu –selain Allah- yang mensyari`atkan untuk mereka agama yang tidak diidzinkan Allah." (Qs Asy Syuraa 21)

Barangsiapa menjadikan dirinya sebagai sekutu Allah dalam membuat aturan hukum untuk manusia, maka sesungguhnya dia telah menjadikan dirinya sebagai Rabb/Tuhan bagi mereka. Dan siapa yang menyerahkan hak ini kepada manusia atau menta`atinya atas apa yang disyari`atkannya, maka sesungguhnya dia telah menjadikan manusia tadi sebagai Rabbnya, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله)

"Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) telah menjadikan rabbi-rabbi mereka dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan-Tuhan selain Allah" (Qs At Taubah 31)

Dari `Adi bin Hatim ra -semula dia adalah seorang penganut Nashrani kemudian masuk Islam -:

Dia datang menemui Nabi Saw, dan ketika itu dia mendengar Nabi Saw membaca ayat: «اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله والمسيح بن مريم، وماأمروا إلا ليعبدوا إلها واحداً، لا إله إلا هو سبحانه عما يشركون» " Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) telah menjadikan rabbi-rabbi mereka dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan-Tuhan selain Allah. Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk mengabdi kepada Tuhan yang satu. Tidak ada Tuhan – yang berhak disembah – kecuali Dia. Maha Suci Allah atas apa yang mereka sekutukan"

"Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka" Sanggahnya.

"Bukankah mereka (para rabbi dan rahib) mengharamkan apa yang diharamkan Allah, lalu mereka (para pengikut) ikut mengharamkannya, dan mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu mereka ikut menghalalkannya?" Kata Nabi Saw. balik menanya.

"Ya, benar" Jawab `Adi.

Lantas beliau berkata: "Itulah bentuk ibadah mereka (kepada Rabbi-rabbi dan rahib-rahib mereka)" Hadits ini diriwayatkan Ahmad dan At Tirmidzi, sedangkan At Tirmidzi menghasankannya.

Al Alusi berkata menafsirkan ayat di atas: "Mayoritas ahli tafsir mengatakan: "Yang dimaksud dengan menjadikan Tuhan-tuhan selain Allah itu bukanlah mereka meyakini bahwa rabbi-rabbi dan rahib-rahib mereka adalah Tuhan-tuhan pencipta alam semesta, tapi maksudnya ialah mereka mena`ati perintah-perintah dan larangan-larangan mereka" selesai.

Di negara-negara jahiliyah modern (lebih dikenal dengan sebutan Negara-negara sekuler), terdapat beberapa lembaga yang memegang kekuasaan tasyrii`/legeslasi, utamanya adalah Parlemen. Konsitusi di negara sekuler tadi menetapkan bahwa Parlemen (DPR) ialah pemegang kekuasaan legeslatip, sedangkan Presiden mempunyai hak untuk mengeluarkan keputusan-keputusan hukum (Kepres-kepres) sesuai dengan ketentuan konstitusi yang berlaku. Mereka, yakni para pembuat syari`at selain Allah, telah menjadikan diri mereka sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam rububiyah-Nya, dan telah mendaulat diri mereka sebagai Tuhan-tuhan manusia selain Allah, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh ayat di atas.

Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syanqithi berkata: (Mengingat bahwa tasyrii` dan seluruh hukum-hukum yang ada, baik syar`i ataupun kauni, merupakan kekhususan Rububiyah Allah sebagaimana telah ditunjukkan oleh ayat-ayat di atas, maka dari itu setiap orang yang mengikuti syari`at selain syari`at Allah berarti telah menjadikan pembuat syari`at itu sebagai Tuhan, dan dia telah menyekutukannya dengan Allah) Kitab: Adhwaa`ul Bayaan VII/169.

Dengan uraian keterangan di atas, kamu mengetahui bahwa mengesakan Allah Ta`ala dalam hak tasyrii` termasuk inti kandungan Tauhid Rububiyah, dan bahwa pelanggaran apapun terhadap prinsip ini adalah bertentangan dengan tauhid Rububiyah dan merupakan kekafiran terhadap Allah Ta`laa, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

"Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya, katakanlah:"Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu, sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka" (Qs Az Zumar 8)

Dan firman Allah Ta`ala:

"Dan tidak (patut pula baginya) menyuruh kalian untuk menjadikan para Malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan-tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kalian kafir di waktu kalian sudah (menganut agama) Islam?" (Qs Ali `Imran 80)

Apabila orang yang menjadikan para malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan-tuhan adalah kafir, lantas bagaimana halnya dengan orang-orang yang lebih rendah tingkatannya daripada mereka?

Inilah penjelasan tentang korelasi hubungan antara masalah hukum dan tasyrii` dengan Tauhid Rububiyah.

Kedua: Tauhid Uluhiyah: Yakni mengesakan Allah Ta`ala dengan ibadah. Ilah/Tuhan adalah ma`buud/sesembahan. Jadi siapa yang beribadah kepada Allah saja dengan segenap bentuk ibadah yang zhahir dan yang batin, maka dia adalah seorang mu`min ahli tauhid. Dan siapa yang beribadah kepada selain-Nya, maka dia adalah seorang musyrik kafir. Ibadah tidak sah kecuali dengan menjauhi syirik, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(واعبـدوا اللـه ولاتشركوا به شيئا)

"Dan sembahlah Allah dan jangan kalian sekutukan Dia dengan sesuatu apapun" (Qs An Nisaa` 36)

Dan firman Allah Ta`ala:

"Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut" (Qs An Nahl 36)

Tauhid Uluhiyah disebut pula dengan nama Tauhid Ibadah, sebagaimana ia disebut pula dengan nama Tauhid Al Iraadi Al Qashdi Ath Thalabi. Dinamai dengan istilah tersebut karena yang diminta dari hamba di dalamnya –bukan sekedar mengenal Allah dan menetapkan apa-apa yang wajib baginya sebagaimana dalam Tauhid Rububiyah- akan tetapi yang diminta dari seorang hamba di dalamnya ialah: Mengesakan Tuhannya dengan ibadah dan mengesakan-Nya dengan kehendak-Nya, maksud keinginan-Nya dan permintaan-Nya; dan dia tidak boleh beribadah kepada selain-Nya ataupun menghendaki kepada selain-Nya. Tidaklah sah iman seorang hamba sampai dia bisa mendatangkan dua macam tauhid ini.

Allah `Azza wa Jalla membuka Al Qur`an dan menutupnya dengan penjelasan tentang dua tauhid ini, yakni dalam dua surat Al Fatihah dan An Naas. Kemudian isi Al Qur`an semuanya menjelaskan dan menerangkan kandungan dua tauhid ini, yakni: Wajibnya mengesakan Allah dengan Rububiyah dan Uluhiyah-Nya; menjelaskan tentang cara beribadah kepada-Nya dan menjelaskan tentang pahala bagi orang yang menta`ati-Nya dan hukuman bagi orang yang mendurhakai-Nya.

Allah Ta`ala berfirman dalam surat Al Fatihah:

(الحمـد للــه رب العالمــين الرحــمن الرحيم مالك يوم الدين)

Segala puji bagi Allah Tuhan pemilik semesta alam,

Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

Raja Yang menguasai hari pembalasan.

Ayat-ayat di atas menjelaskan tentang Tauhid Rububiyah, yakni menetapkan Rubuyiyah (kepemilikan) dan mulku (kepenguasaan) hanya bagi Allah, serta menetapkan asma-asma-Nya dan sifat-sifat-Nya (الرحمن الرحيم) , kemudian Allah Ta`ala berfirman: (إياك نعبد وإياك نستعين) "Hanya kepada-Mu-lah Kami beribadah, dan hanya kepada-Mu-lah kami minta pertolongan", ayat ini menjelaskan tentang Tauhid Uluhiyah. Yakni, mengesakan Allah Swt dengan ibadah dan isti`aanah/hal meminta pertolongan. Sedangkan isti`aanah termasuk salah satu bentuk ibadah. Pada penempatan objek (إياك)--kata ini termasuk salah satu bentuk kata pembatas-- di awal kalimat mendahului subjek dan predikat, terdapat dalil yang mewajibkan pentauhidan Allah dengan ibadah.

Allah `Azza wa Jalla berfirman dalam surat An Naas: قل أعوذ برب الناس ملك الناس) "Katakanlah (Muhammad): Aku berlindung diri kepada Tuhan (pemilik) manusia. Raja manusia." Ayat ini menetapkan Tauhid Rububiyah.

Kemudian Allah `Azza wa Jalla berfirman: (إله الناس) "Tuhan sesembahan manusia". Ayat ini menetapkan Tauhid Uluhiyah. Dengan kedua surat ini Allah Ta`ala membuka Al Qur`an dan menutup dengan penjelasan tentang dua macam tauhid tersebut.

Ketahuilah bahwa Tauhid Uluhiyah mencakup Tauhid Rububiyah tapi tidak sebaliknya. Jadi tidak akan mentauhidkan Allah dengan ibadah (inilah yang disebut Tauhid Uluhiyah) melainkan orang yang meyakini akan keesaan-Nya dan kesendirian-Nya dalam Dzat, Af`aal, Asma dan Sifat-sifat-Nya (inilah yang disebut Tauhid Rububiyah).

Tetapi terkadang ada Tauhid Rububiyah tanpa Tauhid Uluhiyah. Yang demikian itu bisa terjadi ketika seseorang mengetahui wujudnya Allah Swt dan menetapkan bahwa pemilikan, penciptaan dan pengaturan adalah milik Allah, namun demikian dia tidak mau beribadah kepada-Nya atau mempersekutukan Allah dalam ibadah dia kepada-Nya. Peri keadaan orang ini adalah seperti peri keadaan seluruh ummat yang mana para Rasul diutus kepada mereka, yakni mereka mengakui bahwa Allah adalah Sang Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta. Itu adalah pengakuan terhadap Rububiyah Allah. Kendati demikian mereka beribadah kepada selain-Nya dengan berbagai macam bentuk ibadah seperti: Takut, berharap, mencintai, berdo`a, bernadzar, menyembelih dan berhukum. Dan itu adalah penyekutuan terhadap Uluhiyah Allah. Allah mencela mereka dalam Al Qur`an, sebab mengapa mereka mengakui Rububiyah-Nya kemudian tidak mau mentauhidkannya dengan ibadah? Di antara celaan Allah terhadap mereka adalah firman Allah Ta`ala:

(قل من يرزقكم من السماء والأرض، أم من يملك السمع والأبصار ومن يُخرج الحي من الميت ويُخرج الميت من الحي، ومن يدبر الأمر، فسيقولون الله، فقل أفلا تتقون)

"Katakanlah: Siapakah yang memberi rezki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur semua urusan? Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakana: "Mengapa kalian tidak bertakwa (kepada-Nya)?" (Qs Yunus 31)

Dan firman Allah Ta`ala:

(ولئن سألتهم من خلقهم ليقولن الله، فأنى يؤفكون)

"Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka?", niscaya mereka akan menjawab: "Allah", maka bagaimana mereka dapat dipalingkankan (dari menyembah Allah)" (Qs Az Zukhruf 87)

Kendati mereka mengakui terhadap Rububiyah-Nya, Allah tetap mencela mereka dan mengatakan bahwa Sang Pencipta, Pemilik, Pemberi Rezki dan Pengatur, Dia sajalah yang berhak diibadahi. Allah Ta`ala berfirman:

(ياأيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم)

"Wahai manusia sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian" (Qs Al Baqarah 21).

Allah Ta`ala berfirman:

(أفمـن يخلُـق كمن لايخلـق أفـلا تـذكــرون)

"Apakah yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka kenapa kalian tidak mengambil pelajaran" (Qs An Nahl 17)

Allah Ta`ala berfirman:

(والذين يدعون من دون الله لا يخلقون شيئا وهم يُخلقون)

"Dan orang-orang (atau berhala-berhala) yang mereka seru selain Allah, tidak dapat menciptakan sesuatu apapun, sedang mereka diciptakan." (Qs An Nahl 20)

Allah Ta`ala berfirman:

(أيُشركون مالا يخلُق شيئا وهم يُخلقون)

"Apakah mereka menyekutukan (Allah) dengan sesuatu yang tidak dapat menciptakan sesuatu, sedang mereka diciptakan" (Qs Al A`raaf 131)

Allah Ta`ala berfirman:

(ألا له الخلق والأمر)

"Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah" (Qs Al A`raaf 54)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: (Yang dimaksud dengan tauhid bukanlah sekedar Tauhid Rububiyah, yakni meyakini bahwa Allah sajalah Yang menciptakan alam semesta, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian ahli kalam dan ahli tashawwuf. Mereka meyakini bahwa apabila mereka telah menetapkan tauhid ini, maka mereka telah menetapkan puncak tauhid. Dan bahwasanya apabila mereka telah mengakui tauhid ini dan mati di dalamnya, maka sesungguhnya mereka telah mati dalam puncak tauhid. Ketahuilah bahwa sekiranya seseorang mengakui sifat-sifat yang berhak disandang oleh Allah Ta`ala dan dia mensucikan-Nya dari sifat apa saja yang tidak layak disandang-Nya, dan dia mengakui bahwa Allah sajalah yang menciptakan segala sesuatu, maka dia belum dikatakan sebagai ahli tauhid sampai dia bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah saja, kemudian dia mengakui bahwa Allah sajalah Tuhan yang berhak diibadahi, dan konsisten dengan ibadahnya kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun –sampai dengan perkataan beliau— karena kaum musyrikin Arab dahulu juga mengakui bahwa Allah sajalah yang menciptakan segala sesuatu. Kendatipun demikian, mereka mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Allah Ta`ala berfirman:

(ومايؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون)

"Dan tidaklah kebanyakan dari mereka itu beriman kepada Allah kecuali mereka itu musyrik" (Qs Yusuf 106)

Segolongan ulama salaf berkata menafsirkan ayat di atas: "Tanyakan pada mereka: "Siapa yang menciptakan langit dan bumi", pasti mereka akan menjawab: "Allah", meski demikian mereka tetap menyembah kepada yang lain.") Dikutip dari kitab "Fat-hul Majiid" syarah Kitabut-tauhiid. Hal: 16. Cet: Daarul Fikr.


Kesimpulan: Bahwa tidak sah iman seorang hamba sampai dia mendatangkan dua macam tauhid di atas. Telah jelas olehmu melalui uraian penjelasan di muka bahwa kaum musyrikin Arab dahulu juga mengakui Rububiyah Allah. Akan tetapi pengakuan mereka akan tauhid ini, tidak bisa melindungi darah dan harta mereka. Bahkan Rasulullah Saw tetap memerangi mereka karena kemusyrikan mereka terhadap Uluhiyah Allah sampai mereka mendatangkan Tauhid Uluhiyah ini.

Adapun Tauhid Uluhiyah --sebagaimana telah dijelaskan di muka-- ialah mengesakan Allah dengan ibadah. Dan di antara ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah terhadap hamba-Nya adalah memutuskan hukum dengan syari`at-Nya dan berhukum kepadanya, sebagaimana firman Allah Ta`ala:


"Tiadalah (hak membuat) hukum itu kecuali kepunyaan Allah, dan Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya" (Qs Yusuf 40)

Ini adalah nash yang sharih (jelas) yang menerangkan bahwa hukum itu termasuk bagian dari ibadah yang mana seorang hamba wajib mengesakan Allah Ta`ala dengannya untuk merealisir Tauhid Uluhiyah. Maka dari itu syirik kepada Allah dalam hukum-Nya adalah sama dengan syirik kepada-Nya dalam ibadah. Allah Ta`ala berfirman:

"Dan Dia tidak mengambil seorangpun jadi teman sekutu dalam hukum-Nya" (Qs Al Kahfi 26)

Ibadah ini, yakni memutuskan hukum dengan syari`at Allah adalah wajib bagi semua hamba, baik para penguasa maupun rakyat, masing-masing menurut kadar tingkatannya. Para penguasa wajib memutuskan hukum di antara manusia dengan syari`at Allah. Allah Ta`ala berfirman:


وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولاتتبع أهواءهم)

"Dan putuskanlah perkara di antara mereka dengan hukum yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka" (Qs Al Maa-idah 49)

Allah Ta`ala menetapkan kekafiran mereka jika mereka tidak memutuskan hukum dengan syari`at Allah. Allah Ta`ala berfirman:

(ومـن لـم يحكـم بمـا أنـزل اللـه فأولئــك هـم الكافرون)

"Dan barangsiapa tidak memutuskan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir" (Qs Al Maa-idah 44)

Semua manusia, baik yang memimpin dan yang dipimpin, wajib atas mereka berhukum kepada syari`at Allah. Dan tidak sah keimanan mereka kecuali dengan berhukum kepada syari`at Allah, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(فلا وربك لايؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لايجدوا في أنفسهم حرجاً مما قضيت ويسلموا تسليما)

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan penerimaan yang sepenuhnya." (Qs An Nisaa` 85)

Nash-nash di atas menunjukkan kekafiran orang yang tidak memutuskan hukum dengan syari`at Allah atau tidak berhukum kepadanya. Itu berarti bahwa memutus hukum dengan syari`at Allah dan berhukum kepadanya merupakan ibadah yang wajib dan masuk dalam kategori pokok iman. Telah saya sampaikan --dalam ta`liiq/ulasan saya terhadap Aqidah Thahawiyah pada awal pembahasan tema I`tiqaad -- bahwa tiap perbuatan yang membuat kafir orang yang meninggalkannya, maka dia termasuk dalam kategori pokok iman, dan tidak sah iman seseorang kecuali dengan mengerjakannya.

Jadi jelas sudah melalui uraian keterangan di muka, bahwa mentauhidkan Allah Ta`ala dengan tasyrii`-Nya atas manusia --dan ia termasuk af`aal Allah-- termasuk Tauhid Rububiyah. Dan bahwa pengesaan-Nya dengan memutuskan hukum berdasarkan syari`at-Nya dan berhukum kepada syari`at-Nya --dan ia termasuk perbuatan hamba-- termasuk Tauhid Uluhiyah. Itu karena Tauhid Rububiyah ialah mengesakan Allah dengan af`aal-Nya, dan Tauhid Uluhiyah ialah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba yang dengan perbuatan itu Allah memerintahkan hamba supaya beribadah kepada-Nya.

Tidak sah kalimat tauhid, yakni kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, kecuali dengan mengesakan Allah Ta`ala dalam perkara itu semua --yaitu tasyrii`, memutuskan hukum dengan syari`at Allah dan berhukum kepada syari`at-Nya—Barangsiapa memaling sesuatu dari ibadah-ibadah ini kepada selain Allah, maka sesungguhnya dia telah mengambil sekutu dan Tuhan lain di samping Allah dan belum merealisir makna kalimat "Laa ilaaha illallaah". Allah Ta`ala berfirman:


"Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu –selain Allah- yang mensyari`atkan untuk mereka agama yang tidak diidzinkan Allah." (Qs Asy Syuraa 21)

Allah Ta`ala berfirman:

"Dan Dia tidak mengambil seorangpun jadi teman sekutu dalam hukum-Nya" (Qs Al Kahfi 26)

Yang dikehendaki dari kalimat tauhid bukanlah sekedar mengucapkannya tapi beriltizam/komitmen dengan apa-apa yang diwajibkannya, yakni mengesakan Allah dengan ibadah. Dengan makna pengertian seperti itu, Rasulullah Saw dahulu menafsirkan makna kalimat tauhid. Beliau Saw bersabda:


"Islam dibangun di atas lima perkara: Kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, hajji ke Baitullah dan puasa Ramadhan " (Muttafaqqun `alaih dari Ibnu `Umar).

Dan dalam riwayat muslim, Nabi Saw menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan syahadat ialah:

(بني الإسلام على خمس: على أن يُعبد الله ويُكفر بما دونه، وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان)

"Islam dibangun di atas lima perkara: beribadah kepada Allah dan mengkafiri apa-apa selain-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, hajji ke Baitullah dan puasa Ramadhan" Muttafaqqun `alaih.

Beliau menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat tauhid ialah: Beribadah kepada Allah saja tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian pula dalam sabda Nabi Saw:

(أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله، فإذا قالوا لا إله إلا الله عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقها)

"Aku diutus untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan "Laa ilaaha illallaah". Maka apabila mereka sudah mengatakan "Laa ilaaha illallaah", maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dari aku (perangi) kecuali dengan haknya" Hadits Muttafaqqun `alaih.

Dan bahwa maksud mengucapkan syahadat bukanlah sekedar mengucapkannya tapi merealisasikannya dengan beribadah kepada Allah saja. Itu bisa dipahami melalui sabda Nabi Saw:

(بُعثت بالسيف بين يدي الساعة حتى يُعبد الله وحده لاشريك له)

"Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang hingga Allah diibadahi sendirian saja tidak ada sekutu bagi-Nya" Hadits shahih riwayat Imam Ahmad.

Nabi Saw menjelaskan bahwa yang diminta dari orang-orang kafir --yang diperangi karenanya-- adalah mentauhidkan Allah saja dengan ibadah, tidak hanya sekedar pengucapan mereka terhadap kalimat laa ilaaha illallaah, kendatipun mereka tidak diperangi setelah mengucapkannya sampai ada kejelasan bahwa mereka telah melakukan hal-hal yang membatalkan syahadatnya. Inilah makna sabda Nabi Saw dalam hadits pertama (kecuali dengan haknya). Adapun di antara hak-haknya ialah mentauhidkan Allah dengan ibadah, sebagaimana sabda Nabi Saw:

(حق الله على العباد أن يعبدوه ولايشركوا به شيئا)

"Hak Allah atas hamba ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu apapun" Hadits Muttafaqqun `alaih.

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa yang dikehendaki dari kalimat tauhid bukanlah sekedar mengucapkannya saja, tapi beriltizam dengan apa-apa yang diwajibkan oleh kalimat tauhid, yakni mengesakan Allah Ta`ala dengan ibadah. Orang-orang kafir dari seluruh ummat manusia yang ada dahulu, mengetahui betul hal ini. Ketika Hud As berkata kepada kaumnya: (اعبدوا الله مالكم من إله غيره) "Ibadahilah Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian Tuhan selain-Nya" (Qs Al A`raaf 65). (قالوا أجئتنا لنعبد الله وحده ونَذَرَ ماكان يعبد آباؤنا) "Mereka menjawab: Apakah engkau datang pada kami (menyeru) supaya kami beribadah kepada Allah saja, dan meninggalkan apa yang dahulu disembah oleh bapak-bapak kami?" (Qs Al A`raaf 70). Maka mereka langsung tahu bahwa yang dikehendaki Nabi Hud As atas mereka adalah mengesakan Allah dengan ibadah dan meninggalkan peribadatan kepada Tuhan-tuhan selain-Nya.

Allah Ta`ala berfirman:

(إنهم كانوا إذا قيل لهم لا إله إلا الله يستكبرون، ويقولون أئنا لتاركوا آلهتنا لشاعر مجنون)

"Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallaah", maka mereka menyombongkan diri.

Dan mereka berkata:" Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan Tuhan-tuhan sesembahan kami karena seorang penyair gila." (Qs Ash Shaaffaat 36-37)

Mereka mengetahui bahwa yang dikehendaki dari mereka bukanlah sekedar mengucapkan kalimat tersebut, tapi beriltizam kepada apa-apa yang diwajibkannya, yakni meninggalkan Tuhan-tuhan mereka. Maka dari itu mereka menolak mengucapkannya dan menyombongkan diri daripadanya. Inilah yang dipahami oleh orang-orang kafir dari seluruh ummat yang ada dahulu. Adapun sekarang, maka banyak orang-orang yang mengaku beragama Islam tidak memahami apa yang dipahami oleh orang-orang kafir dahulu. Mereka lebih buruk dari orang-orang kafir dahulu. Sebab mereka mengucapkan kalimat tauhid dengan lesan-lesan mereka, tapi mereka membatalkannya dengan amal perbuatan mereka. Di tentang persoalan ini, Syeikhul Islam Muhammad bin `Abdul Wahhab rhm berkata: (Lalu Nabi Saw datang pada mereka untuk menyeru mereka kepada kalimat tauhid, yakni "Laa ilaaha illallaah". Yang dikehendaki Nabi Saw dari kalimat ini, bukanlah sekedar mengucapkannya. Orang-orang kafir yang jahil dahulu mengetahui bahwa yang dikehendaki Nabi Saw dengan kalimat ini adalah mengesakan Allah Ta`ala dengan bergantung kepada-Nya dan mengkafiri apa-apa yang disembah selain Allah dan berlepas diri daripadanya. Karena Rasulullah Saw menyeru kepada mereka: Katakanlah: "Laa ilaaha illallaah", lalu mereka menjawab: «أجعَلَ الآلهة إلها واحداً إن هذا لشيء عُجاب» "Apakah dia hendak menjadikan tuhan-tuhan itu menjadi satu Tuhan, sesungguhnya (perkataannya) itu benar-benar sesuatu yang mengherankan"

Jika kamu tahu bahwa orang-orang kafir yang jahil itu mengetahui hal tersebut, maka sungguh sangat mengherankan sekali ihwal orang yang mengaku Islam tapi dia tidak tahu menafsirkan kalimat ini seperti yang dipahami oleh orang-orang kafir yang jahil dahulu?!) Dikutip dari Risalah tulisan Syeikhul Islam Muhammad bin `Abdul Wahhab "Kasyfusy Syubhaat" hal: 6-7

Jika kamu telah tahu kalau yang dikehendaki dari kalimat tauhid adalah merealisir maknanya, yakni mengesakan Allah dengan ibadah, maka jelaslah olehmu bahwa orang yang mengaku Islam, mengerjakan shalat dan puasa, akan tetapi dia memutuskan hukum atau berhukum dengan selain syari`at Allah, maka dia bukanlah seorang muslim, oleh karena dia tidak mengesakan Allah dengan ibadah. Jadi dengan demikian, dia belum merealisir makna kalimat tauhid. Atau katakanlah: Dia mengucapkan kalimat tauhid dengan lesannya tapi membatalkannya dengan perbuatannya. Jika tidak demikian, Allah Ta`ala telah berfiirman: (فَصَلِّ لربك) "Maka shalatlah kamu untuk Tuhanmu" (Qs Al Kautsar), sebagaimana Dia berfirman: (إن الحكم إلا لله) "Tiadalah (hak membuat) hukum itu kecuali kepunyaan Allah " (Qs Yusuf 40). Jadi Allah Ta`ala memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya mengerjakan shalat untuk-Nya saja dan berhukum kepada-Nya saja. Maka siapa yang shalat untuk Allah tapi berhukum kepada selain-Nya, berarti dia belum mengesakan Allah dengan ibadah, bahkan beribadah kepada Allah dan beribadah kepada selain-Nya. Inilah perbuatan syirik yang dilakukan oleh ummat-ummat terdahulu. Mereka, di samping beribadah kepada selain Allah, maka mereka juga beribadah kepada Allah dengan sebagian bentuk-bentuk ibadah, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(ومايؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون)

"Dan tidaklah kebanyakan dari mereka itu beriman kepada Allah kecuali mereka itu musyrik" (Qs Yusuf 106).

Allah Ta`ala berfirman:

(والذين اتخذوا من دونه أولياء ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى)

"Dan orang-orang yang mengambil wali-wali (penolong-penolong) selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya" (Qs Az Zumar 3)

Allah Ta`ala berfirman:

(وإذ اعتزلتموهم ومايعبدون إلا الله)

"Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah" (Qs Al Kahfi 16).

Mereka meninggalkan Tuhan-tuhan yang disembah oleh kaum mereka selain Allah, jadi ayat ini menunjukkan bahwa Allah masuk dalam sekian banyak Tuhan-tuhan yang mereka sembah. Karena mereka dahulu menyembah-Nya dan menyembah pula Tuhan-tuhan selain-Nya. Inilah makna syirik, yakni mengambil sekutu di samping Allah dalam ibadah. Kesyirikan inilah yang ditunjukkan oleh uslub (cara pengungkapan) kata pengecualian yang datang dalam nash di atas. Uslub itu datang pula dalam firman Allah Ta`ala:

(وإذ قال إبراهيم لأبيه وقومه إنني براء مما تعبدون إلا الذي فطرني)

"Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian sembah,

kecuali (Tuhan) Yang telah menciptakanku" (Qs Az Zukhruf 26-27)

Dan ayat yang senada dengannya, yakni ayat 75-77 dari surat Asy Syu`araa'.


Kesimpulan: Bahwa siapa yang shalat dan berpuasa untuk Allah, tapi dia memberikan hak tasyrii` kepada manusia atau memutuskan hukum atau berhukum kepada selain syari`at-Nya, maka dia telah beribadah kepada Allah dan beribadah kepada selain-Nya. Dan dia dengan apa yang dilakukannya itu, jadi seorang musyrik dan kafir bukan seorang muslim. Inilah keadaan yang terjadi pada seluruh masyarakat jahiliyah sekarang, mereka shalat dan berpuasa untuk Allah, tapi di samping itu mereka memberikan hak tasyrii` kepada selain Allah, ini adalah syirik dalam rububiyah-Nya; dan memutuskan hukum serta berhukum kepada selain syari`at Allah, ini adalah syirik dalam uluhiyah-Nya. Undang-undang mereka menyatakan dengan jelas, sejelas-jelasnya akan kekafiran tersebut. Mereka mengatakan:


  1. (Parlemen memegang kekuasaan tasyrii`/legeslatif). Lihat sebagai misal (Materi ke 165 dari Konstitusi Mesir).

  2. (Keputusan hukum di mahkamah-mahkamah pengadilan adalah berdasarkan hukum) Lihat sebagai misal (Materi ke 86 dari konstitusi Mesir).

  3. (Tak ada kejahatan ataupun saksi hukuman kecuali berdasarkan hukum) Lihat sebagai misal (Materi ke 66 dari konstitusi Mesir).

  4. (Prinsip-prinsip Islam adalah sumber utama tasyrii`) lihat sebagai misal (Materi ke 2 dari konstitusi Mesir).

Sebagian besar konstitusi-konstitusi sekuler menetapkan hal-hal di atas kendatipun berbeda-beda ungkapan katanya.

Teks materi paling akhir yang telah disebutkan di muka adalah bentuk kekafiran terbesar, karena ia menetapkan bahwa mereka berhak membuat tasyrii`, dan itu jelas-jelas menjadikan Tuhan-tuhan lain disamping Allah. Oleh karena hak tasyrii` adalah milik Allah saja --seperti telah diterangkan di muka--. Makna bahwa syari`at Islam adalah sumber utama tasyrii` --bukan satu-satunya--menunjukkan bahwa di sana ada sumber-sumber tasyrii` yang lain, dan di sana ada Tuhan-tuhan lain di samping Allah yang diambil tasyrii`nya. Maka dari itu, Allah tidak mengampuni mereka, meskipun hukum-hukum positip mereka memuat sebagian hukum-hukum syar`i --yang mereka sebut dengan istilah Hukum Purusa atau dengan istilah-istilah lain-- Apa yang mereka lakukan dengan mengadopsi sebagian dari syari`at Islam, tidak diampunkan Allah dosanya karena mereka telah mengambil hukum-hukum di luar syari`at Allah. Dengan uraian penjelasan di atas, tahulah kami bahwa perkataan mereka (Syari`at Islam adalah sumber utama tasyrii`) mempunyai arti bahwa (Tidak ada Tuhan yang utama kecuali Allah), oleh karena mereka menjadikan Tuhan-tuhan lain di samping Allah, yang mereka ibadahi selain Allah dengan tahaakum (berhukumnya) mereka kepada Tuhan-tuhan itu tadi. Tidakkah kamu lihat, ketika sebagian pengikut Nabi Saw berkata padanya: (اجعــل لنــا ذات أنواط) "Buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath", maka beliau berkata pada mereka: "Allahu Akbar sesungguhnya itu adalah sunnah (Allah). Demi Dzat yang mana jiwaku berada di tangan-Nya, kalian mengatakan seperti apa yang dikatakan Bani Israel kepada Musa: «اجعل لنا إلها كما لهم آلهة»"Buatkanlah untuk kami Tuhan sebagaimana mereka punya Tuhan-tuhan" HR. At Tirmidzi dan dia menshahihkannya. Beliau menyamakan perkataan mereka --kaum muslimin-- dengan perkataan mereka --Bani Israel--, oleh karena `ibrah (mengambil pelajaran) itu dengan kandungan makna dan isi, meskipun berlainan nama dan lafazhnya. Menjadikan Tuhan-tuhan selain Allah dalam hak tasyrii` dan hukum adalah jelas-jelas kesyirikan yang dilarang Allah Ta`ala dengan firman-Nya:

وقال الله لاتتخذوا إلهين اثنين، إنما هو إله واحد، فإياي فارهبون)

"Janganlah kalian mengambil dua Tuhan, sesungguhnya Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa, maka kepada-Ku sajalah hendaknya kalian takut" (Qs An Nahl 51).

Tuhan-tuhan lain di samping Allah yang diibadahi manusia ini adalah thaghut-thaghut yang Allah memerintahkan mereka supaya menjauhinya dan mengkafirinya, sebagaimana firman Allah Ta`ala:


"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan kepada mereka): "Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut" (Qs An Nahl 36).

Telah diterangkan di muka, yakni di bagian akhir tema bahasan "I`tiqaad" --dalam kritikan saya terhadap kitab "Ar Risaalah Al Liimaaniyah fil Muwaalaah"-- tentang makna thaghut dan macam-macamnya. Dan salah satu di antaranya ialah "Setiap apa yang dimintai hukumnya selain Allah, seperti undang-undang atau hukum atau hakim, atau pemimpin atau pemuka kaum atau yang lain". Yang demikian itu adalah berdasarkan firman Allah Ta`ala:

(يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت وقد أمِروا أن يكفروا به)

"Mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka diperintahkan untuk mengkafirinya" (Qs An Nisaa` 60)

Syeikh Asy Syanqithi berkata: (Setiap tahaakum --berhukum-- kepada selain syari`at, maka ia adalah tahaakum kepada thaghut) Lalu beliau menyitir ayat di atas. Lihat kitab "Adhwaa`ul Bayaa" VII/165,

Allah `Azza wa Jalla telah menetapkan bahwa soal hukum (memutuskan hukum) dan tahaakum (berhukum) adalah ibadah. Allah Ta`ala berfirman:

"Tiadalah (hak membuat) hukum itu kecuali kepunyaan Allah, dan Dia telah memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya" (Qs Yusuf 40)

Jadi siapa yang mengalihkan kedua ibadah tersebut kepada selain Allah, maka sesungguhnya dia telah beribadah kepadanya.

Saya ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa materi konstitusi kufur di muka, yakni (prinsip-prinsip yang menyatakan bahwa syari`at Islam sebagai sumber utama tasyrii`) tidak mengharuskan para pembuatnya untuk berpegang pada hukum Islam manapun, karena ia hanya menetapkan untuk berpegang pada prinsip-prinsip syari`at bukan hukum-hukum syari`at, sementara antara keduanya ada perbedaan yang sangat prinsipil, seperti hal itu diakui sendiri oleh para pengabdi/penjaga hukum-hukum positip yang kafir, ketika mereka mengatakan bahwa prinsip-prinsip syari`at adalah benar, adil dan equaliti (tidak diskriminatif), dan bahwa prinsip asal hukum dibangun di atas dasar baroo`ah adz dzimmah (seseorang belum dinyatakan bersalah sampai ada pembuktian secara hukum) serta prinsip-prinsip yang lain. Prinsip-prinsip inipun dijamin oleh hukum-hukum positip. Dengan uraian keterangan ini tahulah kamu bahwa materi konstitusi di atas tidak mengakibatkan suatu keharusan apapun untuk menjadikan syari`at sebagai hukum yang berlaku.

Pembuatan syari`at yang bukan dari Allah, memutuskan hukum dan berhukum kepada selain syari`at Allah ini, maknanya adalah menjadikan manusia sebagai tandingan-tandingan di sisi Allah. Perbuatan ini adalah kekafiran itu sendiri, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

"Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya, katakanlah:"Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu, sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka" (Qs Az Zumar 8).

Ibnu Taimiyah rhm berkata: "Barangsiapa yang menjadikan bagi Allah satu tandingan dari makhluk ciptaan-Nya dalam Uluhiyah dan Rububiyah yang berhak disandang-Nya, maka dia telah kafir menurut ijma` ummat" (Majmuu` Fatawa I/88).

Pembuatan syari`at yang bukan dari Allah, memutuskan hukum dan berhukum kepada selain syari`at Allah ini adalah salah satu bentuk paganisme (penyembahan terhadap berhala), sebagaimana perkataan Syeikh `Abdurrahman Ad Dusari:


"Sesungguhnya paganisme itu berlainan tata caranya namun satu bentuknya, adapun yang menyatukannya adalah penyucian terhadap selain Allah atau menjadikan selain Allah sebagai hakim pengadil atau membuat syari`at yang bertentangan dengan syari`at-Nya. Akan tetapi maknanya bukanlah membatasi paganisme dengan tata cara tertentu yang telah berlalu atau dengan satu bentuk di mana orang-orang selain kita terlibat di dalamnya sedangkan kita terbebas darinya, tapi cabang-cabang dari ketiga kaedah yang keji ini sangatlah banyak. Setiap orang yang terlibat dalam satu cabang dari cabang-cabang paganisme, maka dia adalah seorang paganis atau terdapat paganisme dalam dirinya sesuai dengan kadar keterlibatannya, siapapun orangnya dan di lingkungan manapun dia berada" Selesai…dikutip dari kitabnya "Al Ajwubah al Mufiidah li Muhimmaatul Aqiidah" cet: Maktabah Daarul Arqam th 1404 H hal: 44.

Kesimpulan: Maksud saya menyampaikan masalah ini adalah mengingatkan bahwa masalah tasyrii`, hukum dan tahaakum bukanlah masalah yang kategorinya adalah hukum-hukum cabang, tapi ia berkaitan erat dengan pokok tauhid dan masuk dalam prinsip iman. Maka dari itu, sesungguhnya perbedaan antara "mengerjakannya" dengan "meninggalkannya" bukan hanya sekedar perbedaan antara yang halal dengan yang haram, tapi ia adalah perbedaan antara:

  1. Iman dengan kekafiran

  2. Islam dengan jahiliyah

  3. Tauhid dengan syirik

  4. Eksisnya "Tidak ada Tuhan selain Allah" atau eksisnya "Tuhan-tuhan lain di samping Allah".

Apabila tasyrii`, hukum dan tahaakum dialihkan kepada Allah saja di suatu tatanan/sistem di antara tatanan-tatanan yang berkuasa, maka tatanan tersebut dihukumi dengan iman, Islam dan tauhid. Jika ketiga perkara tersebut dialihkan kepada selain Allah Ta`ala, maka ia dihukumi sebagai tatanan kafir, jahiliyah dan syirik. Allah Ta`ala berfirman:

(أفحكم الجاهلية يبغون ومن أحسن من الله حكماً لقوم يوقنون)

"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih bagus hukumnya dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Qs Al Maa-idah 50)

Membedakan antara kedua tatanan yang berkuasa ini adalah wajib sebagaimana firman Allah Ta`ala:

(ليميز الله الخبيث من الطيب، ويجعل الخبيث بعضه على بعض فيركمه جميعا فيجعله في جهنم أولئك هم الخاسرون)

"Supaya Allah membedakan (golongan) yang buruk dari (golongan) yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagian di atas sebagian yang lain, lalu Allah menumpuknya semua, lalu memasukkan mereka ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi." (Qs Al Anfaal 37)

Pemisahan antara kedua tatanan ini merupakan Miftaah at taghyiir "Kunci pembuka untuk melakukan perubahan" di negeri ini, karena ia akan mengakibatkan pemisahan antara barisan-barisan yang ada. Apabila kaum muslimin mengetahui kekafiran tatanan-tatanan yang memerintah mereka dan mengetahui perbedaan antara tatanan tadi dengan kalimat tauhid, yang mana setiap muslim merasa mulia dengannya; maka menyebarkan ilmu tentang perbedaan itu tadi adalah wajib, agar supaya setiap orang Islam mengetahui apa yang diwajibkan Allah atasnya, yakni merubah tatanan-tatanan kafir tadi dan menggantikan tempatnya dengan tatanan-tatanan Islam.

Penjelasan di atas, semuanya menerangkan tentang korelasi masalah-masalah tasyrii`, hukum dan tahaakum dengan tauhidullah `Azza wa Jalla, dan bahwasanya pengalihan ketiga hal tersebut kepada selain Allah adalah bertentangan dengan tauhid dan merupakan perbuatan syirik kepada Allah Ta`ala.

Tidak ada komentar: