Renungan Ke Enam Belas
Antara Yang boleh Dengan Yang Lebih Baik
& Antara Yang Disyari’atkan
Dengan Yang Lebih Manfa’at
“Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (Al Isra’ : 9).
Saya ditanya oleh seorang kawan di penjara tentang pendapat saya berkenaan dengan pengakuan sebagian mujahidin terhadap penyembelihan tawanan warga sipil Amerika, penampakan hal itu di hadapan kamera dan penayangannya lewat jaringan internet agar dunia semuanya menyaksikannya, sehingga ia menjadi momok pembicaraan hari ini bagi orang yang jauh dan yang dekat sampai hal itu menutupi pembicaraan mereka tentang kebiadaban-kebiadaban Amerika para pengklaim HAM di penjara Abu Gharib !!
Maka saya berkata : saya tidak mendukung hal itu dan itu tidak membuat saya tertarik, padahal saya mengetahui pengagungan orang yang melakukannya terhadap dienullah, keseriusan dia dalam menegakkannya, kepedihannya terhadap kondisi yang dialami umatnya dan kegeramannya dari persekongkolan musuh-musuh terhadapnya, dan itu semua termasuk yang mendorong dia untuk tergesa-gesa mengumumkan hal itu dan menampakkannya. Namun demikian saya tegaskan bahwa saya tidak tertarik dengannya dan saya berangan-angan andai saja dia tidak mengumumkannya dan tidak mengakuinya. Lebih utama bagi orang yang intima kepada madrasah Jihad Islamiy yang agung adalah ia tidak mengumumkan atau mengakui dari berbagai tindakan kecuali apa yang tidak diperselisihkan yang termasuk hal yang mengangkat panji jihad dalam keadaan bersih dan menjauhkannya dari apa yang mengeruhkannya atau yang memungkinkannya bagi musuh untuk memanfaatkannya dalam memutar balik fakta dan mencoreng mujahidin atau menggunakannya bagi kepentingan-kepentingan musuh…
Kawan saya berkata : “Aneh engkau ini, kenapa tidak tertarik, bukankah itu boleh ?”
Maka saya berkata : Wahai saudaraku, saat saya mengatakan bahwa hal itu tidak menarik saya, maka ini bukan untuk sekedar penyelisihan dan penentangan, karena tidak ada yang lebih saya cintai selain persetujuan dan pengiyaan terhadap kebaikan…,akan tetapi ia adalah keseriusan saya terhadap penjauhan apa yang membahayakan jihad dan nama baiknya di zaman di mana peperangan tidak terbatas pada qital saja, akan tetapi media pemberitaan memiliki peran besar dalam ikut serta dalam peperangan ini, dan pilihan saya adalah pada apa yang lebih bersih dan lebih manfaat bagi dakwah, jihad dan kaum muslimin di kondisi ini.
Telah sering saya ulang-ulang berkali-kali dalam tulisan-tulisan saya, lontaran-lontaran saya dan kajian-kajian saya bagimu dan bagi yang lainnya bahwa para du’at dan mujahidin tidak akan mencapai kemenangan yang mereka inginkan dan tidak akan menghadirkan manfaat bagi umat mereka dan jihad mereka sebagaimana yang mereka inginkan sampai mereka meningkat dari level penglihatan kepada hal yang boleh dan yang tidak boleh saja; kepada level perbandingan antara hal yang manfaat dan yang tidak manfaat dari hal yang boleh itu pada waktu ini, apa yang rajih dan yang marjuh darinya, apa yang utama dan yang tidak utama darinya, hal-hal yang mashlahat dalam amal yang telah dipilih serta hal-hal yang rusak yang beraneka ragam dari hal-hal yang boleh itu.
Allah ta’ala berfirman : “Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus “,(Al Isra : 9) yaitu yang lebih mashlahat.
Dan firman-Nya ta’ala : “Ikutlah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu “, (Az Zumar : 55). Allah ta’ala memerintahkan kita untuk mengikuti amalan yang paling mashlahat, paling baik dan paling manfaat bagi dien kita.
Dan firman-Nya ta’ala : “Yang medengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”, (Az Zumar : 18)
Kita sebagai kaum muslimin, seharusnya sesungguhnya masalah ‘boleh’, disayari’atkan dan halal itu harus sudah selesai dan beres di sisi kita ; yaitu bahwa hal itu adalah sudah ma’lum dan tergolong hal yang sudah diterima. Maka tidak boleh kita memilih dari amal dan jihad, kecuali apa yang seperti itu, karena apa yang ada di sisi Allah adalah tidak dicapai dengan maksiat-Nya, dan dienullah serta panji-Nya tidak boleh dibela dan diangkat dengan hal yang haram apalagi dengan kekafiran dan syirik. Ini wajib termasuk hal yang di terima secara pasti oleh kalangan aktivis pada dien ini serta termasuk kamus anshar dan mujahidinnya. Dan karenanya, masalah-masalah itu tidak selayaknya ditanggulangi dan dilontarkan di atas bahasan dari sisi pandang ini saja, akan tetapi sebagaimana yang telah sering kami katakan, wajib dalam penyelesaian dan pilihannya mempertimbangkan apa yang lebih manfaat bagi jihad dan lebih mashlahat bagi kaum muslimin serta lebih menikam pada musuh.
Saya katakan …:Kenapa bila masalahnya berkaitan dengan makanan dan minuman kita atau calon isteri kita, kita tidak puas pada pencarian dan penilaian saja pada yang boleh, mubah dan yang sah, akan tetapi kita memilih dari hal itu buat diri kita apa-apa yang paling enak dari makanan, minuman dan pakaian serta wanita-wanita yang cantik
Adapun saat masalah atau pilihan itu berkaitan dengan agama, dakwah dan jihad, kita menerima baginya dan merasa puas dengan apa saja dan baik bahkan unik dan banyak -dan bisa saja sebagian kita merasa berjasa- bila hal itu dalam ruang lingkup mubah atau masyru’ atau boleh dan selamat dari yang haram …..
Bukankah mubah dan boleh serta sah umpamanya kamu menikah dengan wanita yang lumpuh, picak lagi kudisan, tidak ragu bahwa itu boleh lagi sah dan kamu mendapat pahala di dalamnya, maka kalau begitu kenapa kamu antusias, meniliti dan berupaya untuk memilih wanita yang sehat normal dan cantik…..??!
Saya di sini ingat suatu kisah menarik yang dengannya saya melembutkan kekeringan materi ini….salah seorang ikhwan yang berada di Bosnia menceritakan kepada saya bahwa sejumlah pemuda Arab meminta dari sebagian mujahidin di sana untuk mengupayakan dalam menikahkan mereka dengan sebagian akhwat Bosnia yang yatim dengan alasan melindungi dan membina mereka serta mereka mengutarakan kepadanya apa yang di alami Bosnia berupa pembantaian, pemerkosaan, pengotoran kehormatan, serta mereka menampakkan rasa iba dan perhatian mereka dan mereka meminta hal itu dengan sangat terhadapnya, maka al akh itu menjanjikan kepada mereka untuk memberi jawaban setelah beberapa hari, kemudian kembali mereka mendesak dia dalam urusan itu, maka ia berkata kepada mereka: “Sungguh saya telah berpikir tentang permintaan kalian dan saya amat menghargai perhatian dan kebesaran jiwa kalian, dan saya mengetahui banyak akhwat yang faqir dan yatim di banyak Negara Afrika seperti Ethiopia, Somalia dan yang lainnya, dan saya akan berupaya bila kalian mau menikah dengan mereka dan membina mereka!!” Maka para pemuda itu langsung saja menjanjikan jawaban kepadanya sebagaimana yang pernah dilakukan al akh terhadap mereka setelah beberapa hari; namun teryata mereka malah pergi dan tidak datang lagi !!
Saya katakan : Kenapa mereka keluar dan tidak kembali ?! Bukankah yang di tawarkan kepada mereka itu adalah boleh dan di syari’atkan bahkan ada pahala di dalamnya ?!!
Ataukah masalahnya tidak cukup dilihat dari ruang lingkup boleh dan masyru’; akan tetapi pengamatan dan pencarian kejelasan pada ruang lingkup apa yang lebih utama, lebih manis dan lebih indah !!
Wahai ikhwan kami, apakah sah atau masuk akal kita tidak ridla bagi makanan kita, pakaian kita dan calon istri kita kecuali hal- hal yang tinggi dan pilihan, dan kita malah puas bagi agama kita, jihad kita dan dakwah kita dengan hal-hal yang rendah ?
Semoga Allah melindungi Ummu Nidlal Al Filisthiniyyah, dia itulah yang mengirim anaknya Mahmud ketempat pendudukan Yahudi di Palestina, kemudian ia memasukinya secara mengagetkan dengan peluru-peluru dan bom-bomnya setelah itu ia bersembunyi tujuh jam seraya menunggu buruannya, maka ia menyerang dan membunuh banyak orang sampai ia sendiri terbunuh. Dan saat ibunya ditanya tentang dia setelah keterbunuhannya, maka ia berkata bahwa ia telah menyiapkannya untuk hari seperti ini, dan ia dulu melarangnya dari ikut serta melempari kaum Yahudi dengan batu agar ia tidak terkena tembakan yang bisa menghambatnya dari melakukan apa yang ia tabung baginya berupa operasi besar yang ia cita-citakan baginya, dan iaberkata kepadanya : “Saya menginginkan kamu melakukan sesuatu yang labih besar dari sekedar melempar batu,“ dan ia berkata : “Saya punya enam anak yang sudah siap agar saya persembahkan mereka di jalan Allah akan tetapi dengan operasi yang besar seperti apa yang dilakukan Mahmud…”
Kapan pemuda mujahid matang sehingga pikirannya bergerak seperti macam ini dan yang lebih besar darinya ? Sesungguhnya tiga perempat upaya kita, harta kita dan pengorbanan-pengorbanan ikhwan kita hari ini berceceran dengan sebab pendeknya pandangan mereka atau pendeknya pandangan para pimpinan dan komandan mereka pada amalan-amalan yang tidak utama dengan klaim bahwa ia amalan yangmasyru’ (sah) !!
Maka kapan upaya kita terarah dan jihad kita terfokus pada penimbangan apa yang lebih mashlahat dan lebih manfa’at bagi umat ? dan pada pemilihan apa yang lebih berarti dan lebih berguna baginya serta lebih menikam musuh-mushnya ?
Tidaklah diam berdiri di batas boleh dan sah saja, akan tetapi menyelam di kedalaman hal yang boleh dan yang sah (masyru’) kemudian di memilih dan mengambil darinya apa yang paling mulia dan paling agung serta paling bersih yang mana bisa mengangkat panji jihad dalam keadaan indah lagi bercahaya.
Saya katakan kepada teman-teman bicara saya –dan ia adalah di antara orang yang dipenjara seumur hidup karena meledakkan bioskop dan bar kemudian dia matang dan pemikirannya meningkat dari level itu bersama lamanya masa penjara dan thalabul ‘ilmi di dalamnya– saya katakan : Bila ucapan saya ini tidak menarikmu dan kamu tidak puas degannya, maka bila kamu sudah keluar dari penjara, maka kembalilah ledakkan bioskop dan bar sekali lagi, di waktu yang mana kaum muslimin hari ini mengamati operasi-operasi besar dan mereka di dalamnya menghadapi kekuatan-kekuatan bumi paling besar seraya mereka berupaya agar memiliki Negara dan power dalam pengaturan alam ini serta penghancuran kekafiran di dalamnya, dan mereka itu amat butuh untuk merealisasikan tujuan ini kepada setiap upaya keras, dan setiap tetesan darah dan setiap orang yang ikhlas serta mujahid ; tinggallah kamu, jangan ikut serta dalam operasi-operasi besar ini dan silahkan kembali serta tabuhlah genderang perang terhadap kaum muslimin yang fasiq dan kaum awam mereka. Dan silahkan ledakkan bioskop yang mereka datangi….
Bukankah ini boleh dan disyari’atkan serta pengingkaran terhadap yang mungkar…??
Ia berkata :…Saya tidak lakukan ini, dan saya tidak akan memulai dengannya, sungguh saya telah telah paham dan telah belajar dan saya melaju kepada yang lebih besar.
Saya berkata : Bila akalmu tidak menguasai apa yang saya katakan kepadamu, maka pemahamanmu dan ilmumu masih butuh kepada kematangan, dan kamu belum paham dan belum menguasai pemahaman dan ilmu yang selaras dengan realita dan tantangan-tantangan zaman serta kebutuhan-kebutuhan dien dan umat kita ….
Bila engkau mengamati reaksi yang terjadi akibat penayangan gambar penyembelihan orang Amerika itu yang disebut ‘sipil’ dalam istilah zaman kita ini, dengan disertai pemotongan kepalanya secara nyata di siaran-siaran televisi setelah penyembelihannya dan yang mana hal itu dianggap tamtsil (mutilasi) oleh sebagian ulama…
Dan engkau memperhatikan pemanfaatan musuh-musuh Allah dan ulama suu’ terhadap tragedi ini, dan penggunaan Amerika dan para thoghut terhadapanya untuk mencoreng nama baik jihad dan mujahidin, pengecaman terhadap mereka, dan penjauhan kaum muslimin secara umum dan bangsa Iraq secara khusus dari mujahidin, serta mafsadah-mafsadah lainnya tanpa ada faidah atau manfaat yang besar akibat penyiaran, penayangan dan pengakuan akan hal itu ; maka engkau mengetahui bahwa orang yang melakukan hal itu tidaklah tepat dalam pilihannya ini. Dan sesungguhnya agar dia bisa menjauhkan pemanfaatan musuh-musuh Allah dari hal ini semuanya, maka ia wajib meningkat dengan pemikirannya kepada pengetahuan akan realita peperangan bersama musuh-musuh Allah hari ini serta hakikat persenjataan-persenjataan dan alat-alatnya ; dan bahwa peperangan itu tidak terhenti pada pisau yang dengannya ia menyembelih si Amerika itu, dan bahwa kematangan dan keluasan wawasan dalam memahami jihad dan alat-alatnya bukanlah terdapat pada besarnya pisau itu akan tetapi pada keluasan jihad dan alat-alatnya untuk menyiarkan serta yang lainnya, dan keluasan pemahaman para pelaksananya serta kematangan pilihan-pilihan mereka ; Maka kadang meninggalkan banyak hal dan perbuatan karena hal-hal yang lebih penting, dan kadang mereka mengedepankan sesuatu terhadap yang lain karena perencanaan tertentu, dan kadang mereka melakukan dan memilih tanpa mengakui terang-terangan dan tanpa mengumumkan, dan kadang mereka mengumumkan dan menyiarkan apa yang di dalamnya terdapat mashlahat yang murni dan amalan yang bersih yang tidak diperselisihkan dan tidak dimasalahkan oleh seorangpun. Kemudian bila mereka melakukan hal itu dan bisa memanfaatkan media pemberitaan musuh di samping media mujahidin, serta mereka mengarahkannya sesuai keinginan mereka bukan keinginan musuh-musuh mereka karena mereka tidak membiarkan kesempatan bagi musuh dalam memanfaatkan kesalahan atau mengarahkannya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan mereka yang busuk, dan hal seperti ini tidaklah cukup untuk merealisasikannya dan untuk keberhasilan di dalamnya ilmu syar’I saja walaupun ia amat penting namun disamping itu harus disertai pengamatan yang lihai dan cepat terhadap realita, perkembangannya, musuh dan tipu daya mereka serta pengamatan terhadap kondisi-kondisi umat, kebutuhan terpentingnya dan bencana terbesarnya.
Dan bila engkau berkata kepada saya, wahai syaikh, sungguh engkau telah terlalu jauh dan telah mempersempit apa yang luas, Rasulullah saw sendiri telah membunuh sebagian orang secara pelan-pelan (yaitu dalam tawanan) dan beliau membunuh mayoritas laki-lakiBanu Quraidhah, sedangkan sebaik-baiknya tuntunan adalah tuntunan Muahmmad saw….
Saya katakan : Ya, saya tidak ragu bahwa sebaik-baiknya tuntunan adalah tuntunan Muhammad saw, dan andaikata engkau mentadabburinya, memahaminya, mencermatinya dan mengamatinya tentulah engkau amat beruntung.
Oleh sebab itu para ulama muhaqqiqin yang berwawasan luas telah menegaskan dengan berpatokan pada tuntunan yang agung ini terhadap sikap imam boleh memilih dalam memperlakukan para tawanan anatara membebaskan cuma-cuma atau dengan tebusan atau menukar dengan tawanan kaum muslimin atau membunuh atau pilihan-pilihan lainnya sesuai agama si tawanan dan dasyatnya permusuhan dia serta bahayanya.
Pilihan dalam itu semuanya kembali sebagaimana yang mereka tegaskan kepada (apa yang lebih menguntungkan, lebih manfa’at dan lebih mashlahat bagi Islam dan kaum muslimin) ….perhatikan; kalau begitu kita kembali kepada yang lebih menguntungkan, lebih manfa’at dan lebih mashlahat ; dan inilah yang kami gembar-gemborkan tentangnya dan kami menganjurkan kepadanya serta mengarahkan para mujahidin selalu terhadapnya dalam setiap permasalahan jihad hari ini….
Seandainya engkau mengamati dan menelusuri bersama saya sikap Rasulullah saw terhadap para tawanan, tentu engkau akan melihat bahwa beliau tidak di atas satu politik tentang perlakuan kepada mereka, akan tetapi kadang beliau membebaskan cuma-Cuma (tanpa syarat) sebagaimana yang dilakukan terhadap Tsumamah ibnu Utsal, kadang beliau menerima tebusan dan bayaran, kadang beliau membunuh sebagian mereka sebagai qishash atau balasan atau yang lainnya sebagaimana beliau lakukan terhadap Uraniyyin yang murtad dan membunuh para pengembala serta mencongkel mata mereka, maka beliau melakukan pembalasan yang setimpal terhadap mereka, dan beliau membunuh sebagian kaum kafir sedang dia bergelantungan di tirai Ka’bah seraya beliau menyiarkan pembunuhannya di hadapan khalayak ramai sebagai pelajaran bagi setiap orang yang mencela dien ini lagi memerangi atau melecehkan Islam dan kaum muslimin, …dan beliau dalam semua itu tidaklah membunuh dengan cara pelan-pelan dan dengan cara yang disiarkan kecuali orang yang paling dasyat permusuhannya terhadap beliau dan agamanya…
Abdul ‘Uzza atau Abdullah ibnu Khathal yang dibunuh beliau saw dalam keadaan bergelantungan di tirai Ka’bah adalah termasuk beberapa orang yang Rasulullah saw tampakkan darah mereka di hari penaklukan Mekkah di antara sekian banyak orang—orang yang telah kafir kepada agama beliau dan memeranginya, dan itu dikarenakan begitu dasyatnya permusuhan, penabuhan genderang perang dan hujjatan mereka itu terhadap Islam dan muslim….
Abdullah ibnu Khathal dahulunya telah masuk Islam, kemudian Rasulullah saw mengutusnya bersama seorang laki-laki Anshar, terus dia malah membunuh laki-laki Anshar itu dan ia murtad sebagai musyrik dan kemudian sering menghujat Rasulullah dengan syairnya, dan dia memiliki dua wanita penyanyi yang menyanyikan syair hujatan itu di hadapan kaum musyikin, maka Nabi membunuh ibnu Khathal itu secara pelan-pelan dan juga beliau membunuh salah seorang penyanyinya itu ….
Dan di antara mereka Muqais ibnu Shababah, dia murtad setelah Islamnya dan membunuh serta bergabung dengan kaum musyrikin seraya menghina Rasulullah dan memeranginya dengan penuh kebencian.
Perhatikanlah ‘keistimewaan’ kejahatan-kejahatan orang-orang yang beliau bunuh secara pelan-pelan di antara sekian penduduk Mekkah yang beliau beri mereka jaminan aman seluruhnya. Mereka itu telah menyatukan antara riddah, pembunuhan, memerangi, permusuhan yang amat dan hinaan, oleh sebab itu Syaikhul Islam berdalil dengan pembunuhan mereka secara pelan-pelan di antara sekian musyrikin Mekkah itu atas wajibnya membunuh orang yang menghina Nabi saw.
Namun demikian, orang yang lari di antara mereka terus masuk Islam dan meminta jaminan keamanan baginya, maka beliau memaafkannya seperti Habbar ibnu Aswad yang merintangi Zainabputeri Rasulullah saw saat hijrah, terus dia menusuk unta Zainab sampaiZainab terjatuh ke atas batu besar padahal ia hamil sehingga ia keguguran dan sepertiIkrimah ibnu Abi Jahl dan seperti penyanyi ibnu Khathal yang satu lagi serta yang lainnya….
Dari tawanan perang Badr tidak dibunuh secara pelan-pelan dari kalangan muqatilin yang tertawan, kecuali An Nadlr ibnu Harits yang mana sering menyakiti Nabi saw dengan perbuatan dan ucapan, dan serupa dengannya ‘Uqbah ibnu Abi Mu’uith yang mana di samping sikap berlebihannya dalam menyakiti dan mengintimidasi para sahabat Nabi saw, dia juga sering menghina Al Qur’an dan Nabi saw, menyakitinya, mencekiknya dengan kainnya untuk membunuhnya dan meletakkan isi perut unta di atas punggungnya saat beliau sujud, Nabi saw tidak membunuh secara pelan-pelan dari kalangan tawanan itu selain mereka berdua…
Adapun Banu Quraidhah maka mereka itu sebagaimana yang dikatakan Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad : (Mereka adalah) kaum yahudi yang paling dasyat permusuhannya terhadap Rasulullah saw dan yang paling tebal kekafirannya oleh sebab itu diberlakukan terhadap mereka apa yang tidak diberlakukan terhadap ikhwan mereka dari kalangan Yahudi Banu Qainuqa dan An Nadlir…
Maka beliau membunuh orang-orang muqatil di antara mereka sebagaimana yang ada dalam Shahih Al Bukhariy, dan itu setelah mereka melanggar perjanjian, membantu Quraisy dan menyokong mereka atas beliau, mereka mengompori Quraisy, Ghathafan dan yang lainnya untuk memerangi beliau, dan merekalah penyebab terjadinyaPerang Khandaq, maka tidaklah aneh kalau beliau saw memperlakukan mereka dengan hal itu di antara kaum Yahudi lainnya. Namun demikian di antara keagungan pemahaman beliau saw dan pertimbangan darinya terhadap orang-orang yang baru masuk Islam dari kalangan shahabatnya dari kaum Anshar serta dalam rangka menghindarkan mafshadah apa saja yang mungkin terjadi ; beliau tidak langsung memutuskan vonis pembunuhan mereka, akan tetapi beliau kembalikan vonis mereka kepada koalisi-koalisi dan sekutu-sekutu mereka dari kalangan Aus, maka Banu Quraidhah memilih dengan diri mereka sendiri dan mereka menerima putusan apa saja yang diputuskan atas mereka oleh koalisi mereka Sa’ad ibnu Mu’adz, maka beliau ra memutuskan pembunuhan para muqatil (yang mampu perang) di antara mereka.
Dan begitulah dengan penelusuran tidak didapatkan atsar dari Nabi saw bahwa beliau membunuh secara pelan-pelan dari kalangan kafir harbiy orang yang bukan muqatil atau ‘sipil’ sebagaimana apa yang mereka namakan hari ini, bahkan termasuk dari kalangan muqatilin, beliau tidak membunuh secara pelan-pelan, kecuali orang yang ‘istimewa’ dari mereka dengan ketebalan kekafirannya, dasyat permusuhannya, perangnya, celaannya serta hinaannya terhadap beliau dan terhadap kaum muslimin. Tidaklah ragu bahwa dalam hal itu terdapat hikmah yang amat berpengaruh darinya, pertengahan dalam pilihan dan ketidakcukupan darinya dengan sekedar melihat pada keabsahan hal itu dan kebolehannya saja, akan tetapi pertimbangannya buat mashlahat Islam dan kaum muslimin, serta pilihannya terhadap apa yang paling memukul pada musuh-musuh Allah yang muharibin, sehingga dengan hal itu memberi pelajaran dan memutus jalan setiap musuh yang memerangi lagi jahat, dan membedakan selain mereka dari kalangan yang tidak dasyat penyerangannya terhadap beliau dan diennya, dan dengan hal itu beliau mendorong mereka untuk komitmen dengan garis mereka dan tidak melampuinya dengan sikap penyerangan dan permusuhan serta mashlahat-mashlahat lainnya yang bisa direalisasikan oleh sikap pertengahan dan hikmah dalam pilihan ini.
Sikap pertengahan yang memilih macam pembunuhan yang paling memukul dan paling menyakitkan bagi musuh-musuh yang paling jahat dan paling bengis permusuhannya yang mana dalam hal itu tidak disamakan dengan mereka orang-orang kafir lainnya, apalagi kaum kafir yang tidak muqatil, dan di antara hal itu sikap beliau menjauhi pada umumnya sikapmutslah atau mutilasi (memotong-motong anggota badan mayat) dan larangan beliau dari hal itu serta sikap beliau menahan diri dari mutslah terhadap kaum musyrikin yang mana beliau telah berazam untuk melakukannya setelah melihat mutslah dilakukan terhadap paman berliau Hamzah ra, padahal sesungguhnya hukuman, balasan & qishash dengan yang setimpal adalah boleh dan masyru’ (sah).
Akan tetapi beliau saw mengajarkan kepada umatnya agar mengambil suatu yang paling tinggi, paling mashlahat, paling bersih dan paling sempurna dari amalan dan jihad, sebagaimana arahan Allah kepadanya dengan firman-Nya :
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakkan kepadamu”, (An Nahl : 126).
Kemudian Dia membimbing kepada apa yang paling utama dan paling sempurna, Dia berfirman :
“Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”, (An Nahl : 126).
Dan Dia berfirman swt :
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,” (Asy Syura : 40).
Dia berfirman :
“Maka barangsiapa mema’afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah,” (Asy Syura : 40).
Dan firman-Nya ta’ala :
“Dan luka-luka (pun) ada qishashnya,” (Al Maidah : 45).
Terus Dia berfirman :
“Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya,”(Al Maidah : 45).
Saya katakan : cita-cita tinggi inilah yang saya selalu ingin memalingkan pandangan ikhwan saya al mujahidin dan du’at kepadanya, serta saya berupaya keras untuk mengarahkan cita-cita dan harapan-harapan mereka kepadanya, serta membimbing langkah-langkah keduanya ke arahnya, dan memfokuskan upaya keras mereka terhadapnya, dan meningkatkan pemikiran mereka ke level jihad islamiy yang agung dan kejernihannya, serta mempertimbangkan kebutuhan terbesar umat dan dien mereka, agar pilihan-pilihan mereka ini tidak hanya dikendalikan oleh roda boleh dan masyru’ yang berputar dan berkutat padanya saja, akan tetapi sebagaimana yang telah saya utarakan ia menyelam ke dalam suatu yang boleh dan masyru’ itu agar ia mengeluarkan dari mutiara-mutiara itu apa yang paling manf’aat bagi umat dan jihad, paling mashlahat, paling berguna dan paling memberikan…ia mentarbiyah para panglima, du’at, dan mujahidin yang tidak melihat kepada boleh, masyru’ dan mubah dengan pandangan yang dangkal ; akan tetapi mereka menajamkan pandangan di dalamnya, memeriksanya dan mempertimbangkannya agar darinya mereka memilih apa yang paling manfa’at untuk saat ini atau itu, dan yang paling mashlahat dari sekian amalan, dan yang paling berguna dari banyak pilihan serta yang paling menghujam bahkan paling mematikan bagi musuh.
Bahkan sesungguhnya saya melangkah lebih jauh dari hal ini, maka saya katakan bahwa hal yang wajib atas mereka adalah mereka berinteraksi seperti itu bersama hal-hal yang wajib dan hal-hal yang fardlu juga, terutama saat hal-hal itu berdesakan dan banyak atas ahli Islam hari ini….
Maka mereka mengedepankan kewajiban yang mendesak atau yang lebih utama dan lebih penting terhadap kewajiban yang lapang atau yangmarjuh (tidak unggul).
Maka dalam jihad yang kita dengung-dengungkan tentangnya dalam pembicaraan kita ini, tidaklah layak para pemuda dikompori dengan alasan kefardluan jihad terhadap front mana saja dan terhadap operasi apa saja dan di bawah kepemimpinan siapa saja, namun yang wajib atas mereka di saat berdesakannya medan-medan jihad, berbilangnya front-front jihad itu, banyaknya penderitaan kaum muslimin, perang-perang yang dinyalakan terhadap mereka dan (keberagaman) musuh-musuh yang memerangi mereka dan yang merampas kehormatan-kehormatan mereka, saya katakan wajib atas mereka dalam bingkai realita ini mereka memilih yang paling utama dan paling penting serta paling menguntungkan dari medan-medan jihad yang diharapkan di atasnya kemenangan islam dan muslimin serta tamkin bagi mereka dan dien mereka, dan mereka memilih panji yang paling bersih dan pimpinan yang paling matang, dan tidak boleh pilihan mereka itu dibangun di atas semangat kosong atau terdorong dan terpengaruh oleh tabuhan para syaikh dan ulama pemerintah atau keramaian pemberitaan mereka, media cetak mereka dan siaran udara mereka, akan tetapi ia dikendalikan sebagaimana yang telah kami ketengahkan dan kami ulang-ulang dengan apa yang paling menguntungkan dan paling bermanfa’at bagi Islam wal muslimin dan paling jernih bagi jihad mereka serta paling menghujam dan paling mematikan pada musuh…
Dan agar mengedepankan apa yang tergolong jihad defensifterhadap apa yang tergolong jenis jihad ofensif, karenajihad thalab(ofensif / infasi) adalah fardlu kifayah, adapun jihad defensif maka ia adalah fardlu ‘ain, oleh sebab itu para ulama mensyaratkan dalam jihad thalab izin kedua orang tua, beda halnya dengan jihad defensif yang mana mereka tidak menyaratkan sesuatupun dari hal itu di dalamnya.
Dan hendaklah mereka mengetahui bahwa di antara jenis jihad defensif adalah qital yang memilih pembebasan sebagian negeri kaum muslimin dari para thoghut kufur dalam atau luar negeri sertatamkin bagi ahlul Islam dan dien mereka sebagai target program-program mereka dan tujuan serta aulawiyyat dalam perhitungan-perhitungan mereka, oleh sebab itu qital semacam ini di dahulukan terhadap macam qital lain apa saja yang hanya bersifat nikayah saja atau amal hisbah yang terputus dan tidak ada tindak lanjut.
Bahkan dikedepankan terhadap macam yang akhir ini dan mendekati qital defensif yaitu upaya dalam membebaskan tawanan kaum muslimin serta qital dalam rangka membebaskan kaummustadl’afin, sebagaimana firman-Nya ta’ala :“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela ) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berkata : “Ya Tuhan kami keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau,” (An Nisa : 75).
Dan dalam shahih Al Bukhariy dari Abu Musa Al Asy’ariy secara marfu’ : “Bebaskanlah tawanan….”
Oleh sebab itu An Nawawiy berkata : (Bila musuh menawan seorang muslim atau dua muslim maka yang rajih adalah bahwa masalahnya seperti masuknya musuh ke negeri Islam (yaitu seperti qital defensif) karena kehormatan muslim itu lebih besar dari kehormatan negeri, maka wajib berupaya untuk membebaskan seorang tawanan atau dua orang tawanan) selesai.
Dan pengetahuan terhadap perbedaan keutamaan ini, pemahaman terhadapnya serta kejelian terhadap realita, serta sejauh mata perbandingan musuh-musuh itu dalam kebusukan mereka, tingkat permusuhan dan penyerangan terhadap islam dan kaum muslimin, adalah membantu mujahid dalam mentarjih di antara sekian kewajiban dan faraidl yang beraneka ragam dan berdesakan, sehingga ia mendahulukan wajib ‘ainiy darinya terhadap wajib kifa’iy dan yang sempit waktunya yang tidak halal didiamkan atau diakhirkan, seperti umpamanya dalam pengakhiran itu terdapat penodaan terhadap kehormatan atau penumpahan darah-darah yang ma’shum atau hal serupa itu, maka hal itu didahulukan terhadap apa yang yang lebih lapang darinya. Dan tidak dirasa cukup dengan sekedar klaim wajib atau fardlu…
Dan saya memohon kepada Allah yang Maha Agung agar Dia memudahkan bagi kaum muslimin hidayah kebenaran dari urusan mereka, dan membimbing mereka kepada apa yang dicinta dan diridla-Nya. Dia-lah yang berhak akan hal itu dan yang kuasa terhadapnya. Allah yang mengatakan al haq dan menunjukan jalan yang lurus.
Sebagian ikhwan dari kalangan yang membaca sebagian renungan-renungan ini terus mereka membatasinya pada hal-hal tertentu yang terbatas ada pada benak mereka, berkata kepada saya : pelan-pelan kasihanilah penamu ya syaikh…
Maka saya katakan : justeru saya mengasihaninya dan membahagiakannya dengan sikap membela jihadul muslimin dan membersihkannya dari apa saja yang mengotorinya atau mencorengnya atau memalingkan dan menyimpangkannya dari garisnya yang benar.
Jihad ini bukan milik seseorang dari manusia yang merasa dirinya saja yang berhak mengarahkannya sesuka dia ; akan tetapi di dalamnya seluruh kaum muslimin berserikat dan mereka wajib berupaya serius untuk membuatnya istimewa dan bersih, beramal untuk meluruskannya dan berusaha keras dalam hal itu dengan ikut serta di dalamnya, dengan nasihat, arahan dan do’a, dan atas orang-orang yang dinilai sebagai para tokoh dan rujukan di dalamnya ada bagian yang besar dari hal itu…
Dan tidak boleh sama sekali mereka bersikap lembut ataumudahanah atau mengakui penyimpangan atau pencorengan di dalamnya atau kekeliruan ; walau muncul dari orang paling dekat kepada mereka…dan wajib mereka mengedepankan mashlahat dien, jihad dan muslimin atas nama-nama dan sosok-sosok itu.
Maka saya katakan kepadanya dan kepada yang lainnya : “Tadabburuilah apa yang saya tulis buatmu dan selainmu dalam lembaran-lembaran ini, karena ia adalah lembaran-lembaran yang penuh dengan kepedihan yang di dalamnya saya kerahkan ringkasan nasihat saya buat para du’at, jihad dan mujahidin, dan jangan kamu membatasi pemikiranmu, dan (jangan) memperkecilnya dalam upaya mengorek-ngorek dan mencari serta menyatakan bahwa syaikh memaksudkan si fulan atau si alan atau yang lainnya, sehingga kamu menghalangi dirimu dari kebaikan yang besar yang ada di dalamnya, karena masalahnya lebih besar dari apa yang kami kira dan saya tidak membiasakan diri saya dengan menyibukannya dengan sosok-sosok tertentu, apalagi saya menyibukkan pada para du’at atau mujahidin yang kami anggap mereka insya Allah bagian dari orang-orang pemegang kejujuran dan keikhlasan, dan kami tidak mensucikan seorangpun di hadapan Allah…
Akan tetapi sesungguhnya saya dalam tulisan-tulisan saya yang meneteskan kepedihan dan kesedihan terhadap jihad mereka adalah menyayangi mereka dan membantu mereka dengan bantuan yang lebih dasyat dari bantuan senjata dan harta andaikata mereka itu paham, dan itu dengan upaya serius ingin meluruskan jihad ini dan mengarahkannya kepada apa yang lebih manfa’at dan lebih berguna bagi dienullah, serta menghati-hatikannya dari penyimpangan-penyimpangan dan menjauhkannya dari kesalahan-kesalahan dan buah-buah yang mencoreng…
Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali (Qs..Hud..: 88).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar