Kamis, 14 Mei 2009

Proklamasi Negara Islam IRAK bag.3

Catatan:

Satu hal penting yang mesti diperhatikan di sini, bahwa nash-nash yang kami sebutkan dari para Ulama tentang bolehnya membaiat orang yang berkuasa dengan kudeta atas suatu negeri, itu berbicara tentang sebuah gambaran umum yang cukup populer ketika terjadi masa transisi kekuasaan dari satu khalifah ke khalifah berikutnya. Juga dalam kondisi terjadinya persengkataan untuk merebut kekuasaan antar kelompok-kelompok Islam yang tidak seprinsip mengenai Imam yang layak diangkat. Maka jika saat itu ada orang yang menang dan memerintahkan Umat Islam untuk mentaati dan membaiatnya karena ia telah menang dengan kekuatan, ia wajib diikuti demi menghentikan sengketa dan fitnah.

Secara umum, dua metode pertama merupakan cara pengangkatan pemimpin yang paling tepat menurut Syar‘i, jika kondisi saat itu ada Ahlul Halli wal ‘Aqdi dan mereka bisa memilih. Atau, adaImam sebelumnya yang kemudian menunjuk orang lain.

Namun di sana ada kondisi lain yang berbeda dengan sebelumnya, yang terlihat di saat-saat terjadinya musibah dan krisis dahsyat, ketika Umat Islam tidak memiliki kekuasaan dan berjalan tanpa pemimpin dan pengarah. Biasanya ini terjadi ketika musuh menguasai negeri-negeri Islam dan memasukkannya dalam kekuasaan mereka. Di saat seperti itu, status negeri itu berubah menjadi Negara Kafir yang terjadi tiba-tiba, yang terlihat dengan berkuasanya musuh di tanah tersebut sebagaimana berkuasanya orang-orang kafir Asli di negeri-negeri seperti Palestina, Afghanistan, Irak; atau bisa juga dengan berkuasanya orang-orang murtad seperti yang terjadi di negara-negara Muslim lainnya.

Dalam kondisi seperti ini, syarat dan kriteria yang wajib dipenuhi dalam dua metode pertama tidak mungkin dipenuhi, mengingat tidak adanya Imam sama sekali, juga karena situasi tidak memungkinkan untuk menunjuk Ahlul Halli wal ‘Aqdi sesuai syarat-syaratnya. Atau kalaulah ada, mereka lambat memberikan solusi dan mengambil inisiatif, di samping mereka lemah dan tercerai berai.

Lebih tepatnya kita katakan: Kelompok yang bekerja dan berjuang melakukan perubahan, yang mengusung Manhaj Syar‘i yang benar dan yang berjihad dalam rangka menegakkan agama Islam dan menjadikannya sebagai hukum, merekalah kelompok yang berhak menyandang gelar Ahlul Halli wal ‘Aqdi di saat-saat seperti ini. Sebab kelompok seperti mereka adalah manusia yang paling berhak menyandang sifat Keadilan Agama, seperti diberitakan oleh Nabi SAW tentang kriteria Kelompok kebenaran di saat-saat keterasingan Islam:

المسلمين ووقوعها تحت سلطتهم، فعند ذلك تتحول صفة الدار إلى الكفر الطارئ المتمثل بهيمنة العدو على الأرض وتسلطه عليها كما هو الحال عند تسلط الكفار الأصليين على البلاد كما حدث في فلسطين وأفغانستان والعراق أو بتسلط المرتدين كما هو واقع باقي بلاد المسلمين، وفي هذه الصورة تمتنع الشروط والأوصاف التي تلزم حال سلوك أحد الطريقين السابقين، لفقدان الإمامة أصلاً، ولعدم توافر الظرف على وجود معين لأهل الحل والعقد بصفتهم المشروطة أو لتأخرهم عن الحل والمبادرة مع تواجدهم الضعيف والمتفكك.

والأصح أن نقول إن الطائفة العاملة والناشطة في التغيير والتي تحمل لواء المنهاج الشرعي الصحيح وتجاهد في سبيل إقامة الدِّيْن وتحكيمه هي التي تستحق بالفعل صفة أهل الحل والعقد وقتها لأنها أحق الناس بوصف العدالة الدينية كما أخبر النبي صلى الله عليه وسلم عن صفات طائفة الحق في أوقات الغربة قال:" لا تزال طائفة من أمتي يقاتلون على أمر الله قاهرين لعدوهم لا يضرهم من خالفهم حتى تأتيهم الساعة وهم على ذلك

“Akan senantiasa ada satu kelompok dari Umatku yang berperang di atas perintah Alloh yang mengalahkan musuh-musuhnya, mereka tidak terpengaruh oleh orang yang menentang mereka hingga Kiamat tiba, sementara mereka tetap seperti itu.” (HR. Muslim)

Ketika itu, menempuh dua metode pertama sebagai solusi untuk menegakkan sebuah Negara tidak memungkinkan. Sehingga mau tidak mau harus melangkah di atas jalan yang sesuai dengan kondisi dan memenuhi hak-haknya, sebagai bentuk adaptasi terhadap kenyataan Umat Islam yang tidak memiliki khilafah dan kekuasaan, disertai tidak mampunya Ahlul Halli wal ‘Aqdi melaksanakan proyek yang diberhaki ini.

Sebagaimana Imam yang melaksanakan tugas penunjukkan kepemimpinan kepada seseorang setelahnya juga tidak ada sama sekali.

Oleh karena itu, gambaran waqi‘ saat ini di negeri-negeri kaum Muslimin dalam banyak waktu tidak bisa diterapkan dua metode pertama. Sebab tidak diketahui adanya perkumpulan dan pelantikan Ahlul Halli wal ‘Aqdi selain beberapa gelintir orang-orang terbaik di antara kaum Muslimin di saat tidak adanya Imam Umum.

Dalam kondisi seperti ini, harus ada solusi darurat berupa pengangkata mereka yang berhasi menang dan mengambil tampuk kekuasaan dengan kekuatan, demi menjaga mashalahat-mashlahat penting yang tidak bisa ditunda dan untuk menolak berbagai kejahatan dan kerusakan yang dipastikan akan timbul.

Barangkali, penjelasan tergamblang mengenai pemikiran ini adalah ungkapan indah yang ditulis Imam Juwaini dalam kitab Ghiyatsul Umam , ketika beliau mengkritisi salah satu kondisi darurat di suatu zaman tidak adanya Imam dan kewajiban mengangkatnya serta membentuk Negara secepat mungkin, beliau berkata (I/ 231):

“Jika di suatu zaman tidak ada orang yang memiliki sifat-sifat orang-orang terpilih, lalu orang itu menyerukan untuk mengikutinya dengan sempurna, maka jika ia merebut kepemimpinan dengan kekuatan dan mengambil jabatan kepemimpinan, ia adalah Imam yang benar, dan dia dihukumi sebagai orang yang mengangkat dan diangkat. Dalilnya, bahwa kebutuhan akan seorang Imam sangat jelas, sementara yang cocok menjadi imam hanya satu orang, padahal dalam jangka waktu yang lama terjadi kekosongan dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Maka, tidak ada alasan untuk mengkosongkan suatu zaman dari seorang pemimpin yang bertugas melindungi daerah Islam dan menjaga perbatasannya. Ini adalah hal yang pasti, pengetahuannya tidak samar oleh orang yang memahami kaidah kewilayahan.”

Beliau berkata lagi, “Jika sebuah zaman kosong dari orang yang layak memegang tugas ini, maka tidak perlu penunjukkan dari orang yang mengangkat dan tidak perlu penjelasan. Yang menjelaskan kebenaran ketika itu adalah

[kurang hal. 16]

PASAL: RINCIAN PENJELASAN TENTANG METODE PERTAMA PENGANGKATAN IMAM (BAIAT DARI AHLUL HALLI WAL ‘AQDI)

Maksudnya adalah, Ahlul Halli wal ‘Aqdi memilih seseorang yang layak menjadi Imam.

Imam Nawawi menukil adanya ijmak tentang metode pengangkatan Imam dengan cara dipilih (Syarah Muslim: XII/ 205). Dan ini adalah cara paling ideal menurut Jumhur Ulama, sebab sikap saling ridho ada ketika itu, juga karena kepemimpinan itu datang dari Ahlul Halli wal Aqdi yang merupakan manusia yang paling mengerti tentang mashalahat Umatnya dan paling bersungguh-sungguh merealisasikannya.

Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi yang bisa mengangkat seorang imam. Berikut ini pendapat-pendapat mereka:

Pertama: Kesepakatan seluruh kaum Muslimin. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat Abdus bin Malik dan Ishaq bin Manshur. Ia berkata: “Dan barangsiapa diangkat sebagai khalifah, lalu manusia menyepakatinya dan ridho kepadanya…dst.” (Minhajus Sunnah : I/ 112)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang hadits:

من مات وليس له إمام مات ميتة جاهلية

“Barangsiapa meninggal dunia tanpa memiliki seorang imam, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.”

…apakah maksud hadits ini?

Maka beliau menjawab: “Tahukah kamu apa itu Imam? Imam adalah (pemimpin) yang disepakati kaum Muslimin, yang semuanya mengatakan bahwa dia adalah Imam. Inilah maknanya.” (Lihat As-Sunnah tulisan Al-Kholal: I/ 160)

Ini juga merupakan pendapat Hisyam Al-Futhi dan Abdur Rohman Al-Ashom, keduanya adalah penganut Mu‘tazilah (Lihat kitab Maqolatul Islamiyyin), dan juga pendapat sekte Karomiyah (Lihat Al-Milal wan Nihal).

Pendapat ini bisa dibantah: bahwa itu suatu hal yang mustahil. Kalau kesepakatan anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi saja tidak mungkin, atau sulit, dan pensyaratan harus adanya kesepakatan dari mereka akan menimbulkan banyak mafsadah –seperti akan dijelaskan—maka bagaimana jika seluruh kaum Muslimin harus sepakat?

Kedua: Kesepakatan seluruh anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat Ishaq bin Ibrohim. Ahmad berkata: “Imam adalah yang disepakati oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi.” (Lihat: Al-Ahkam As-Sulthoniyah hal. 23)

Namun pendapat ini tidak direstui oleh kebanyakan Ulama.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Adapun pendapat yang mengatakan bahwa kepemimpinan tidak sah kecuali berdasarkan pengangkatan oleh orang-orang terbaik dari Umat Islam yang berada di berbagai penjuru negeri adalah pendapat batil. Sebab ini adalah pembebanan sesuatu yang tidak bisa dipikul, di luar kemampuan dan merupakan kesasahan terbesar. Padahal Alloh Ta‘ala tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai kemampuannya. Alloh Ta‘ala berfirman: “Dan Alloh tidak menjadikan kesulitan dalam agama bagi kalian…” (QS. Al-Hajj: 78)

Tidak ada kesusahan dan ketidak berdayaan melebihi aktifitas mencari tahu Ijmak para tokoh di negara Mulitan, Manshuroh, hingga negara Mahroh sampai ke ‘Aden, terus hingga ke ujung negeri Mushomadah hingga ke Thonjah, ke Asybunah, ke kepulauan-kepulauan Laut hingga daerah tepi pantai Syam, hingga ke Armenia, Jabal Fath hingga ke Asmaar, Farghonah, Asrusynah, hingga ke ujung Khurosan sampai Jurjan, ke Kabul hingga ke Maulitan, di antara daerah-daerah ini masih ada banyak kota dan desa. Ini mau tidak mau menyebabkan urusan kaum Muslimin terbengkalai sebelum seratus tokoh dari Negeri-negeri ini tadi sempat berkumpul. Dengan demikian, pendapat yang rusak ini batil. Meskipun kalau itu memungkinkan, tentu tidak wajib. Sebab itu adalah klaim tanpa bukti.” (Al-Fishol Fi `l-Milal wa `n-Nihal: III/ 84)

Bahkan, Al-Juwaini menyebutkan adanya Ijmak yang menyatakan tidak diperlukannya syarat adanya kesepakatan dari anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi, ia berkata: “Termasuk perkara yang pasti, bahwa kesepakatan bukan merupakan syarat diangkatnya pemimpin berdasarkan Ijmak.” (Lihat Al-Ghiyatsi: tanpa halaman)

Al-Juwaini memberikan argumen mengapa hal ini tidak disyaratkan, ia berkata: “Tujuan diangkatnya seorang Imam adalah menjaga daerah dan memperhatikan urusan-urusan Islam. Sebagian besar perkara-perkara penting tidak bisa ditunda-tunda, seandainya perkara itu terlambat diperhatikan tentu akan menimbulkan kerusakan yang tak bisa diperbaiki dan kekurangan besar yang tidak bisa digantikan. Maka jelaslah dalam pengangkatan Imam itu mustahil jika disyaratkan adanya kata sepakat.” (Al-Ghiyatsi: hal. 67-68)

Perkataan Al-Juwaini ini semakin diperkuat dengan Khutbah Umar, ketika ia berkata: “Pengambilan sumpah (Baiat) terhadap Abu Bakar terjadi secara mendadak, namun Alloh telah melindungi kaum Muslimin dari keburukannya.” (HR. Bukhori dan lain-lain)

Artinya, pembaiatan Abu Bakar hanya berlangsung sekejap, tetapi dalam waktu sekejap itu terdapat perkara-perkara besar, namun Alloh menyelamatkan.

Ketiga: Pengangkatan cukup dengan kesepakatan anggota Ahlul Halli wal Aqdi yang bisa berkumpul. Pendapat ini dipegang oleh Imam Nawawi, ia berkata: “Yakni para ulama, para pemuka dan tokoh masyarakat yang bisa berkumpul dengan mudah.” (Lihat Ar-Roudhoh dan Nihayatul Muhtaj). Tokoh masyarakat yang dimaksud adalah para pembesarnya dalam urusan kepemimpinan, ilmu, dan lain sebagainya. (Lihat Hawasyi Asy-Syirwani Ali: IX/ 76)

Imam Nawawi juga berkata di dalam Syarah Muslim –setelah beliau mengkisahkan keterlambatan Ali bin Abi Tholib untuk membaiat Abu Bakar Radhiyalloh ‘Anhuma—: “Meskipun demikian, keterlambatannya itu tidak membuat baiat tersebut tercemar dan tidak pula mencemarkan Ali. Adapun baiat, para ulama telah sepakat bahwa membaiat seluruh manusia dan seluruh anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi bukan menjadi syarat sahnya baiat tersebut. Yang disyaratkan adalah membaiat orang yang memungkinkan dengan mudah berkumpul, baik dari kalangan Ulama, para pemimpin dan tokoh masyarakat.” (XII/ 77…)

Ini juga dinukil oleh Asy-Syaukani dari Abu Muhammad Al-Juwain, ayah dari Imam Haramain. (Lihat Irsyadul Fuhul: 161 cet. I terbitan Maktabah Tijariyah)

Dari perkataan Al-Mawardi berikut ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa ia juga memakai pendapat ini, ia berkata: “Orang yang hadir di negeri tempat seorang Imam itu tinggal berhak mengangkat seorang Imam berdasarkan ‘urf, bukan syar‘i. Sebab dialah yang paling pertama mengetahui kematian Imam tersebut, dan karena pada umumnya orang yang layak menerima jabatan Khalifah ada di negerinya.” (Al-Ahkam As-Sulthoniyah: 6)

Al-Qolosyandi berkata: “Dan inilah pendapat yang paling benar menurut pengikut kami, para penganut madzhab Syafi‘i.” (Ma’atsirul Inafah: I/ 44)

Keempat: Diangkat oleh 40 orang, diqiyaskan dengan jumlah orang yang sholat Jum‘at. Ini adalah pendapat sebagian Ulama madzhab Syafi‘i, di antaranya adalah Al-Hulaimi di dalam Al-Minhaj, ia berkata: “Jika orang yang memiliki kelengkapan syarat menjadi Imam tidak ditunjuk oleh Imam sebelumnya, sementara pengangkatan Imam bagi kaum Muslimin diperlukan, lalu ada 40 orang adil dari kaum Muslimin, salah satu dari mereka adalah Ulama yang layak memberi keputusan hukum di tengah manusia, lalu ke-40 orang itu mengangkat seseorang yang dalam dirinya terkumpul syarat-syarat yang telah kami sebutkan, dan setelah melakukan penelitian serta berijtihad secara sungguh-sungguh, maka kepemimpinan itu diberikan kepadanya dan ia wajib ditaati.” (Menukil dari An-Nuwairi dalam Nihayatul Arbi: VI/ 3 dan Thuruq Intihaa’i Wilayatil Hukkaam: hal. 156)

Pendapat ini dilandasi pendapat kalangan madzhab Syafi‘i yang mensyaratkan dalam sholat Jumat harus ada 40 orang.

Tetapi jika Anda melihat lemahnya pensyaratan jumlah tertentu dalam sholat Jumat selain jumlah yang sah untuk melaksanakan sholat jamaah, Anda bisa menyimpulkan bahwa pendapat yang dibangun di atas pensyaratan jumlah tersebut adalah lemah. Abdul Haq berkata di dalam Ahkam-nya: “Tidak ada satu pun pensyaratan jumlah dalam sholat Jumat.” (Lihat Kitab Al-Jum‘ah, Aadaab wa Ahkaam: 85-89)

Kelima: Diangkat oleh lima orang. Inilah pendapat mayoritas Fuqoha dan Mutakallimin dari kalangan penduduk Bashrah dan Qodhi Abdul Jabbar (w. 415 H).

Mereka berdalil bahwa pembaiatan Abu Bakar dilaksanakan oleh lima orang, yaitu: Umar, Abu Ubaidah, Basyir bin Sa‘ad, Salim Maula Abu Hudzaifah, dan Usaid bin Khudhair radhiyallohu ‘anhum. Alasan lain karena Umar membentuk Majelis Syuro beranggotakan enam orang yang mengangkat salah seorang dari mereka dengan keridhoan dari yang lima.

Pendapat ini bisa dijawab: Bahwa proses baiat Abu Bakar tidak hanya dilakukan oleh kelima orang tersebut seperti akan kami jelaskan. Adapun penunjukkan yang dilakukan Umar adalah penunjukan orang-orang yang dipilih, bukan orang-orang yang mengangkat.

Keenam: Diangkat oleh empat orang, diqiyaskan dengan jumlah saksi maksimal, yaitu persaksian dalam kasus perzinaan. Ini adalah pendapat sebagian penganut Mu‘tazilah, tidak diketahui apa argumentasi mereka dalam melakukan qiyas yang ‘agak aneh’ ini.

Ketujuh: Diangkat oleh tiga orang. Ini adalah pendapat sebagian Ulama Kufah sebagaimana disebutkan oleh Al-Mawardi. Alasannya, tiga orang adalah Jamaah yang tidak boleh ditentang. Dan hendaknya mengangkat salah satu dari mereka dengan keridhoan dari yang dua, sehingga salah satu menjadi pemutus dan yang dua sebagai saksi, persis seperti akad Nikah yang sah dengan satu wali dan dua saksi.

Kedelapan: Diangkat oleh dua orang. Ini disebutkan oleh Al-Juwaini, namun ia tidak menisbatkan pendapat ini kepada siapa pun dan tidak menyebutkan dalilnya. Jika yang dimaksud adalah dua orang yang diridhoi oleh orang ketiga, maka berarti sama dengan pendapat sebelumnya.

Kesembilan: Diangkat cukup oleh satu orang dari anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi secara mutlak. Ini adalah pendapat Abul Hasan Al-Asy‘ari sebagaimana disebutkan oleh Al-Baghdadi dan Ibnu Hazm (Al-Fishol: III/ 85), juga pendapat Al-Iijiy dalam Al-Mawaqif, Al-Qurthubi dalam Al-Jami‘ Li Ahkamil Quran (I/ 269) dan Al-Baqilani. Mereka berdalil dengan pembaiatan Abu Bakar, karena Umar-lah yang membaiatnya. Mereka juga berdalil dengan perkataan Abbas kepada Ali dalam perisitiwa As-Saqifah: “Ulurkan tanganmu untuk kubaiat.” Maka orang-orang berkata: “Paman Rosululloh telah membaiat sepupunya, maka tidak ada dua orang yang menyelisihimu.” Alasan lain karena akad adalah hukum dan hukum satu orang itu berlaku.

Ibnu Hazm berdalil bahwa anggota Syuro yang ditunjuk oleh Umar dahulu berlepas diri dari memberikan pilihan dan melimpahkannya kepada satu orang saja, yaitu Abdur Rohman bin Auf. Ia (Ibnu Hazm) berkata: “Secara shohih Ijmak mereka menunjukkan bahwa pemimpin bisa diangkat oleh satu orang.” (Ibid).

Sisi-sisi penggunaan dalil mereka bisa dijawab bahwa pembaiatan Abu Bakar ternyata tidak hanya dilakukan oleh Umar saja, tetapi berdasarkan persetujuan mayoritas shahabat terhadap baiat tersebut. Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun Umar yang mendahului membaiatnya, maka dalam setiap baiat mesti ada yang mengawali.” (Lihat Minhajus Sunnah)

Adapun perkataan Abbas tadi, periwayatannya tidak shohih. Kalaulah itu shohih, itu adalah perkataan Shahabat yang diselisihi oleh Shahabat yang lain, sehingga tidak bisa digunakan sebagai hujjah; atau bisa juga makna riwayat itu adalah bahwa khalifah ditetapkan berdasarkan persetujuan manusia kepadanya, bukan semata-mata pilihan Abbas saja.

Abu Ya‘la membantah pendapat ini dengan menggunakan hadits:

من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة، فإن الشيطان مع الواحد، وهو من الاثنين أبعد

“Barangsiapa menginginkan Surga yang tengah-tengah, hendaknya ia mengikuti Jamaah. Karena setan bersama satu orang, dan dia dari dua orang semakin jauh.” (Hadits shohih riwayat Ahmad dalam Al-Musnad: 114, 177, Nasai di dalam As-Sunan Al-Kubro: 9219 – 9221, sanad kedua riwayat ini shohih, Tirmizi di dalam Al-Fitan –Bab Ma Jaa'a Fi Luzuumil Jamaa‘ah, namun pada sanadnya terdapat Nadhr bin Ismail: Ia bukan perawi yang kuat; diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban: 7254, 4576, 5586, 6728, Hakim: 387 dan ia menshohihkannya menurut Syarat Bukhori Muslim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi; Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubro: 13299, dan Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi di dalam Al-Mukhtaroh: 96, 98, 155, 156 ia berkata: Isnadnya shohih, semuanya bersumber dari hadits Ibnu Umar RA)

Saya katakan: Hadits ini ada yang riwayatnya marfu‘ dan ada yang mauquf, riwayat yang marfu‘ lebih shohih, wallohu A‘lam.

Adapun perkataannya bahwa pengangkatan adalah hukum, jawabannya adalah: Bukan, tetapi itu adalah akad, sedangkan dalam akad harus ada saling ridho antara kedua belah fihak.

Adapun dalil Ibnu Hazm bahwa anggota Majelis Syuro melimpahkan urusan pemilihan kepada Abdur Rohman bin Auf maka bisa dijawab: bahwa Abdur Rohman bin Auf tidak asal mengangkat, namun ia habiskan tiga malam tanpa tidur kecuali sedikit di mana selama itu ia berkeliling kepada orang-orang dan bertanya kepada mereka, barulah setelah itu ia mengatakan: ‘Wahai Ali, aku telah melihat kondisi manusia, ternyata aku melihat mereka tidak bersikap adil terhadap Utsman, maka janganlah kamu biarkan dirimu untuk melakukan hal yang sama.’ Setelah itu ia berkata: ‘Aku baiat kamu sesuai Sunnah Alloh dan Sunnah Rosul-Nya serta Sunnah dua Khalifah sepeninggal beliau.’ Maka Abdur Rohman membaiatnya dan orang-orang pun membaiatnya, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshor, dan para komandan pasukan dan kaum Muslimin. (HR. Bukhori –Kitabul Ahkam- Bab Bagaimana Imam Membaiat Manusia, no: 6781, dan Kitab Fadhoilus Shohabah-Bab Kisah Pembaiatan dan Persetujuan terhadap Utsman: 3497)

Oleh karena itu, Ibnut Tiin berkata: “Diamnya anggota Syuro yang hadir, kaum Muhajirin dan Anshor serta para komandan Pasukan merupakan dalil pembenaran mereka terhadap kata-kata Abdur Rohman dan keridhoan terhadap Utsman.” (Lihat Al-Fath: XIII/ 197)

Kemudian, Abdur Rohman memiliki hak mengangkat Khalifah dan memberikan masukan tentangnya tak lain karena persetujuan shahabat yang lain, bukan asal kemauannya sendiri. Sementara mereka yang berpendapat Imam boleh diangkat oleh satu orang menyebut riwayat ini secara mutlak tanpa memerincikannya.

Di antara dalil lain yang menunjukkan bahwa Imam tidak boleh diangkat oleh satu orang saja adalah pidato Umar di hadapan khalayak kaum Muslimin di Masjid Rosululloh SAW –nanti akan kami sebutkan selengkapnya—, ini merupakan bentuk ijmak yang shohih tanpa diragukan lagi.

Kesepuluh: Diangkat oleh satu orang, asalkan ketika membaiat ada kekuatan. Ini adalah pendapat Al-Juwaini dan Al-Ghozali. Al-Ghozali berkata: “Seandainya yang membaiat Abu Bakar ketika itu bukan Umar, tentu semua orang akan menentang, atau paling tidak mereka akan terpecah kepada dua kekuatan yang berimbang di mana ketika Imam dilantik tidak bisa dibedakan mana fihak yang menang dan mana fihak yang kalah. Maka, sesungguhnya syarat memulai pengangkatan Imam adalah adanya kekuatan dan hati manusia tidak mengarah kepada keberpihakan.” (Lihat Fadho’ihul Bathiniyyah: 176 – 177)

Al-Juwaini berkata: “Akan tetapi, orang yang membaiat itu disyaratkan harus orang yang pembaiatannya bermanfaat, baik dari segi kekuatan maupun kekuasaan.” (Al-Ghiyatsi: hal. 72)

Baik Al-Ghozali maupun Al-Juwaini, sama-sama berpendapat pemimpin bisa diangkat oleh satu orang. Berkata Al-Ghozali: “Pendapat yang kami pilih, satu orang cukup untuk membaiat seorang Imam.” (Fadhoihul Bathiniyah: tanpa halaman)

Al-Juwaini berkata: “Pendapat yang paling dekat dengan kebenaran adalah yang direstui oleh Qodhi Abu Bakar yang dinukil dari Syaikh kami, Abul Hasan, yaitu bahwa: “Kepemimpinan dianggap sah dengan pembaiatan yang dilakukan orang satu orang dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi.” Namun, pendapat yang kami sebutkankan ini mensyaratkan keharusan adanya kekuatan. Maka ia berkata lagi: “Jika satu orang melakukan pembaiatan, yang orang itu memiliki cukup banyak pengikut dan pendukung dan ditaati di kalangan kaumnya, dan baiat yang ia lakukan menghasilkan manfaat seperti yang telah kami sebutkan, maka kepemimpinan itu sah.” (Al-Ghiyatsi: 72)

Kesebelas: Yang dijadikan ukuran adalah Baiat dari Mayoritas anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi, yang dengan keberadaan mereka persenjataan, kekuatan dan loyalitas ada. Inilah pendapat Ibnu Kholdun (Lihat dalam Muqoddimah-nya), An-Nawawi, Ibnu Taimiyah dan lain-lain –rahimahumullah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Abu Bakar menjadi Imam karena baiat dari mayoritas sahabat yang merupakan pemegang kekuatan dan persenjataan. Sehingga ketidak ikut sertaan Sa‘ad bin Ubadah RA tidak begitu berpengaruh, sebab itu tidak mengurangi tujuan dari sebuah kepemimpinan. Karena tujuan kepemimpinan adalah adanya kekuatan dan kekuasaan yang dengan keduanya mashlahat-mashlahat kepemimpinan tercapai. Ini sudah tercapai dengan adanya persetujuan dari mayoritas sahabat. Maka, siapa yang mengatakan Abu Bakar menjadi imam hanya berdasarkan persetujuan satu orang, dua orang atau empat orang saja, padahal mereka bukan pemilik kekuatan dan persenjataan, maka ia telah keliru. Sebaliknya, orang yang berasumsi bahwa ketidak ikut sertaan satu, dua atau empat orang bisa mempengaruhinya, maka ia juga telah keliru.” (Lihat Minhajus Sunnah: I/ 141)

Telah kami sebutkan sebelumnya perkataan Imam Nawawi ketika beliau membahas definisi Ahlul Halli wal ‘Aqdi.

Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat dari semua pendapat, sebab didukung oleh dalil-dalil sebagaimana akan kami kemukanan sebentar lagi. Pendapat ini juga bisa dikembalikan kepada pendapat ketiga, maka renungkanlah.

Untuk pendapat kesepuluh, ada sisi kekuatannya. Sayangnya ia terbantahkan oleh dua hal. Yang pertama bersifat parsial, yang kedua bersifat universal.

Mengenai yang pertama, berdasarkan sebuah riwayat Bukhori (dalam kitab Hudud- Bab Merajam Wanita Yang Hamil Akibat Zina) dan lain-lain mengenai Khutbah Umar ketika ia mendengar ada seseorang berkata: “Seandainya Umar meninggal dunia, aku akan membaiat si Fulan (sebagai pemimpin), bukankah pembaiatan Abu Bakar dilakukan mendadak?” begitu mendengar kata-kata ini Umar marah dan berkata: “Sungguh ada orang yang mengatakan: ‘Seandainya Umar meninggal dunia, aku akan membaiat si Fulan (sebagai pemimpin), bukankah pembaiatan Abu Bakar dilakukan mendadak?’ ya, pembaiatan Abu Bakar memang mendadak, namun Alloh telah menjaga kaum Muslimin dari keburukannya, sedangkan di antara kalian tidak ada orang yang leher rela dipenggal untuknya seperti Abu Bakar. Ingat, jika ada seseorang membaiat orang lain tanpa musyawarah dari kaum Muslimin maka janganlah orang itu diikuti, demikian juga orang yang membaiatnya. Karena ia menipu dirinya sendiri dan menyodorkan dirinya untuk dibunuh.”

Dalam riwayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Umar menjadikan adanya musyawarah dari para cerdik pandai kaum Muslimin sebagai syarat sahnya baiat, dan bahwasanya baiat satu orang untuk satu orang tidak sah, kemudian sikap Umar itu disetujui oleh kaum Muslimin di masjid Rosullulloh SAW sehingga ini merupakan ijmak mereka.

Adapun yang kedua: Bahwa pada umumnya kekuatan itu ada pada mayoritas Anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Jarang kekuatan itu ada pada satu orang saja. Dan syariat itu mengkaitkan berbagai hukum berdasarkan sesuatu yang umum, bukan yang jarang. Maka, syarat adanya persetujuan mayoritas anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi sesuai dengan kaidah Ushul. Dengan demikian jelaslah kuatnya pendapat kesebelas ini, Wallohu Ta‘ala A‘lam.

Alloh telah memberi taufik kepada rekan-rekan kami di sini untuk menyumpah orang-orang baik ( halful Muthibin) yang mewakili mayoritas Ahlul Halli wal ‘Aqdi di negeri ini. Dalam kumpulan ini masuk Majelis Syuro Mujahidin yang terdiri dari tujuh kelompok gerakan jihad, kesemuanya memiliki Nama organisasi, pemimpin dan pasukan yang sudah dikenal. Tidak seperti dikatakan sebagian orang yang mengatakan sebenarnya kelompok-kelompok tersebut tidak ada. padahal, demi Alloh, tidak mungkin kami mengorbankan darah-darah kami, kemudian setelah itu kami berdusta kepada publik.

Telah terjadi musyawarah yang melibatkan lebih dari 60 % tetua kabilah-kabilah Ahlus Sunnah di daerah-daerah keberadaan Mujahidin. Kami melihat bagaimana sambutan dan kegembiraan mereka terhadap urusan ini, walhamdulillah.

Kami juga berjuang untuk mengajak bermusyawarah sebagian pembesar kelompok-kelompok Jihad dan berusaha bertemu langsung dengan mereka. Akan tetapi Alloh Mahatahu, kalau mereka tidak mengizinkan kami untuk itu dengan pertimbangan keamanan. Akhirnya, sudah menjadi kewajiban kami untuk membentuk pemilihan Ahlil Halli wal ‘Aqdi sebatas yang bisa kami kumpulkan, di tengah situasi sulit ini. Maka, alhamdulillah, pengangkatan itu berhasil kami lakukan setelah mengerahkan segala upaya untuk mengumpulkan Ahlul Halli wal ‘Aqdi, segala puji bagi Alloh atas terlaksananya urusan ini.

PASAL:

RINCIAN PENJELASAN METODE KEDUA PENGANGKATAN IMAM (PENUNJUKAN SESE-ORANG SEPENINGGAL IMAM)

Yaitu, Khalifah ketika masih hidup –baik dalam kondisi sakit atau sehat—menunjuk seseorang sebagai Khalifah sepeninggalnya. Oleh karena itu, metode ini disebut metode Al-‘Ahdu (penunjukkan).

Imam Nawawi berkata: “Mereka sepakat bahwa ketika khalifah mengalami tanda-tanda kematian, ia boleh mengangkat orang lain dan boleh juga tidak. Jika ia tidak melakukannya berarti ia telah meneladani Nabi SAW, jika melakukannya berarti ia telah meneladani Abu Bakar. Mereka semua sekapat bahwa khalifah bisa diangkat dengan penunjukkan Imam sebelumnya.” (Syarah Muslim: XII/ 205)

Al-Mawardi juga menyatakan adanya Ijmak mengenai bolehnya Imam diangkat berdasarkan penunjukkan Imam sebelumnya. (Lihat Al-Ahkam As-Sulthoniyah: hal. 10)

Dalam hal itu ia menggunakan dalil dengan penunjukkan Abu Bakar terhadap Umar radhiyallahu ‘anhuma dan kaum Muslimin menyetujuinya. Juga karena Umar menunjuk 6 anggota Majelis Syuro dan kaum Muslimin menerimanya. Inilah inti perkataan Al-Mawardi.

Dalil lain yang menunjukkan bolehnya penunjukkan adalah riwayat yang dibawakan Muslim dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: “Rosululloh SAW berkata kepadaku:

ادعي لي أباكِ وأخاكِ حتى أكتب كتاباً، فإني أخاف أن يتمنى متمنّ ويقول قائل: أنا أولى. ويأبى الله والمؤمنون إلا أبا بكر

“Panggillah ayah dan saudaramu agar kutulis surat wasiat. Karena aku khawatir kelak ada yang berangan-angan dengan mengatakan: Aku lah yang paling berhak (menjadi pemimpin), padahal Alloh dan orang-orang beriman tidak menghendaki selain Abu Bakar.” (HR. Muslim –Kitab Fadho’ilus Shohabah- Bab Min Fadho’ili Abi Bakr: 2387)

Nabi SAW tidak memperhatikan suatu hal melainkan menunjukkan hal itu boleh.

Tidak ada komentar: