PASAL I
URGENSI DAULAH DAN KEBUTUHAN UMAT TERHADAPNYA
Kewajiban Menegakkan Negara Islam
Sebuah atsar diriwayatkan dari Khalifah Ketiga, Utsman RA:
(إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن)
“Sesungguhnya Alloh memberikan dengan kekuasaan sesuatu yang tidak Dia berikan dengan Al-Quran.”
Barangkali kata-kata ini merupakan penjelasan paling nyata tentang peran yang sebuah negara Islam dalam melaksanakan Syariat dan merealisasikan eksistensinya, melalui sebuah pemerintahan Negara dan kewibawaannya yang mewajibkan pembentukan Sistem Pemerintahan Islam, memperkuat pilar-pilarnya di masyarakat melalui sosialisasi kekuasaan umum untuk mengarahkan manusia kepada Syariat Islam dan membimbing mereka tentang ajaran Islam sebagai agama yang lurus ini, dan mencegah munculnya indikasi-indikasi penyimpangan dan kesesatan yang menghalangi sosialisasi agama Islam serta menjadi penghalang faktor-faktor kelurusan dan hidayah.
Pembahasan mengenai wajibnya menegakkan Negara Islam merupakan perkara syar‘i yang sudah cukup jelas. Akan tetapi mengingat begitu asingnya pembahasan tentang masalah ini, ada baiknya kami sebutkan nash-nash yang menunjukkan itu secara ringkas dan global:
Alloh Ta‘ala berfirman:
{وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ}
Ingatlah ketika Robb-mu berfirman kepada para Malaikat:"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau". Rabbberfirman:"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. Al-Baqoroh: 30)
Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsir-nya (I/ 302):
“Ayat ini menjadi dasar pengangkatan Imam atau Khalifah yang didengar dan ditaati untuk menyatukan kalimat dan melaksanakan hukum-hukum sebagai seorang Khalifah. Dan tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya pengangkatan ini, baik di kalangan Umat Islam maupun di kalangan para Imamnya.”
Alloh Ta‘ala berfirman di dalam Surat An-Nisa’:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ}
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu…” (QS. An-Nisa’: 59)
Sisi pengambilan dalil dari ayat ini adalah: Bahwasanya Alloh memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri mengikuti ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Mafhum-nya, ketaatan tersebut tidak mungkin bisa diwujudkan sampai dibentuknya kepemimpinan (Imaroh) yang dari sana akan muncul seorang Ulul Amri. Ulul Amri sendiri adalah para pemimpin, pengatur dan Ulama. Dan tanpa sebuah Negara Islam, tidak mungkin para Pemimpin itu diangkat, sehingga bagaimana mau mentaatinya? Jika ini terjadi, terhapuslah salah satu tujuan agung dari tujuan-tujuan Syariat.
Asy-Syairozi berkata di dalam At-Tabshiroh (I/ 407):
“Kami katakan: Maksud ayat ini adalah ketaatan dalam urusan-urusan duniawi, urusan-urusan pembekalan tentara, peperangan-peperanga, ekspedisi-ekspedisi tempur dan lain sebagainya. Terbukti bahwa Ulul Amri diberi kekhususan di sini, sedangkan kekhususan-kekhususan Ulul Amri adalah apa yang telah kami sebutkan, berupa menyiapkan tentara dan mengurusi berbagai permasalahan.”
Alloh Ta‘ala berfirman:
إِنَّآأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآأَرَاكَ اللهُ وَلاَتَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًا
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. An-Nisa’: 105)
Sisi penunjukan dalil dari ayat ini: Bahwasanya Alloh menurunkan kitab-Nya sebagai hukum dan timbangan nilai sehingga hidup dan urusan duniawi manusia tegak. Tugas ini Alloh perintahkan kepada Nabi-Nya –‘alaihis sholatu was salam—, dan ini tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan adanya kekuatan dan kekuasaan yang dengannya berbagai Sektor Pelayanan bisa dibangun dengan kuat yang akan membawahi perangkat-perangkat Peradilan dan berbagai otoritas pelaksana. Inilah yang menjadikan wajibnya menegakkan Negara yang memiliki berbagai macam otoritas serta menjalankannya sesuai yang diridhoi Alloh.
Alloh Ta‘ala berfirman:
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَآ أَنزَلَ اللهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ {49} أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ {50}
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (50) Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 49-50)
Alloh juga berfirman dalam tiga tempat berturut-turut:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 45)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah: 47)
Sisi penunjukkan dalil dari ayat-ayat ini sama dengan penjelasan pada ayat-ayat sebelumnya.
Adapun hadits-hadits Mutawatir yang menunjukkan wajibnya mentaati para pemimpin sangatlah banya, yang semua itu menunjukkan wajibnya menegakkan sebuah Negara yang memiliki otoritas di berbagai bidang. Di antara hadits-hadits tersebut adalah:
Apa yang diriwayatkan Bukhori dari hadits Abu Huroiroh RA:
من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصى الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني
“Siapa mentaatiku maka ia mentaati Alloh, siapa mendurhakaiku maka ia telah mendurhakai Alloh. Dan barangsiapa mentaati pemimpin maka ia telah mentaatiku, siapa mendurhakai pemimpin maka ia telah mendurhakaiku.”
Di dalam Shohih Bukhori Muslim juga disebutkan dari hadits Ibnu Umar, dari Nabi SAW:
على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب أو كره إلا أن يؤمر بمعصية، فإن أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
“Hendaknya orang Muslim mendengar dan taat dalam hal yang ia sukai atau tidak ia sukai, kecuali jika ia diperintahkan berbuat maksiat. Jika ia diperintah kepada kemaksiatan maka tidak ada mendengar dan taat.”
Hadits-hadits terkait dengan masalah ini sangatlah banyak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu‘ Fatawa (28/ 390-392): “Wajib diketahui bahwa memimpin urusan umat manusia termasukkewajiban agama yang paling besar. Bahkan urusan agama dan dunia tidak akan tegak kecuali dengannya. Karena mashlahat Anak Adam tidak akan sempurna selain dengan berkumpul, karena masing-masing saling membutuhkan yang lain. Ketika ada perkumpulan maka harus ada pemimpinnya, sampai-sampai Nabi SAW bersabda:
«إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم»
“Jika tiga orang bepergian, mereka harus mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Al-Musnad dari Abdulloh bin Amru, bahwasanya Nabi SAW bersabda:
«لا يَحِلُّ لِثَلاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِفَلاةٍ مِنَ الأَرْضِ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ»
“Tidak halal bagi tiga orang berada di sebuah jengkal bumi kecuali mengangkat salah satu sebagai pemimpin mereka.”
Nabi SAW mewajibkan pengangkatan seorang pemimpin dalam perkumpulan kecil yang melakukan perjalanan, sebagai peringatan bahwa itu juga wajib dalam semua bentuk perkumpulan. Dan karena Alloh Ta‘ala mewajibkan Amar Makruf Nahi Mungkar, yang tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan. Demikian juga dengan semua kewajiban yang Alloh wajibkan, baik itu jihad, menegakkan keadilan, menyelenggarakan Hajji, sholat Jumat, Sholat Id, membela orang yang terdzalimi. Penegakkan hukum juga tidak akan terlaksanan dengan sempurna selain dengan kekuatan dan kepemimpinan…dst.”
Ibnu Taimiyah lebih lanjut mengatakan:
“Maka wajib menjadikan Imaroh (kepemimpinan) sebagai bagian dari ajaran agama dan upaya pendekatan diri kepada Alloh. Karena mendekatkan diri kepada Alloh dengan cara mentaati-Nya dan mentaati Rosul-Nya termasuk salah satu pendekatan diri yang paling utama.”
Rosululloh SAW bersabda:
لا يَحِلُّ لِثَلاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِفَلَاةٍ مِنَ الأَرْضِ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
“Tidak halal bagi tiga orang berada di sejengkal tanah di bumi kecuali mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.”
Rosululloh SAW juga bersabda:
إِذَا خَرَجَ ثَلاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Jika tiga orang keluar untuk bepergian, hendaknya mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud dari Abu Said, ia juga memiliki riwayat senada dari Abu Huroiroh)
Asy-Syaukani berkata di dalam Nailul Author (IX/ 157):
“Bab Kewajiban Mengangkat Hakim, Pemimpin dan lain sebagainya. –kemudian ia menyebutkan hadits-hadits di atas, lalu berkata:
“Jika kewajiban ini disyariatkan pada tiga orang yang berada di suatu daerah, atau sedang bepergian, maka ia lebih disyariatkan lagi pada kumpulan orang yang jumlahnya lebih banyak, yang tinggal di kota-kota dan berbagai daerah, yang mereka memerlukan pembelaan terhadap tindakan kezaliman dan pemberi keputusan ketika terjadi pertikaian. Dalam hal ini terdapat dalil yang menguatkan pendapat mereka yang mengatakan wajib bagi kaum Muslimin mengangkat para pemimpin, Gubernur, dan Penguasa.”
Abul Ma‘ali Al-Juwaini berkata di dalam Ghiyatsul Umam (I/ 15):
“Maka, mengangkat seorang Pemimpin ketika itu memungkinkan, hukumnya wajib.”
Al-Mawardi berkata di dalam Al-Ahkam Ash-Shulthoniyah (I/ 5):
“Kepemimpinan diadakan dalam rangka menggantikan tugas Kenabian berupa menjaga din dan mengatur urusan duniawi. Dan memberikan jabatan ini kepada orang yang bisa melaksanakan di kalangan Umat Islam ini hukumnya adalah wajib berdasarkan Ijmak.”
Al-Qol‘i berkata di dalam Tahdzibur Riyasah Wa Tartibus Siyasah (74):
“Seluruh kalangan Umat Islam sepakat –selain beberapa golongan yang tak terlalu diperhitungkan pendapatnya yang berbeda—mengenai mutlaknya kewajiban mengangkat seorang Imam, meskipun mereka berbeda pendapat dalam kriteria dan syarat-syaratnya. Maka saya katakan: “Pengaturan urusan din dan dunia merupakan sebuah tujuan, dan tidak akan tercapai selain dengan adanya Imam. Kalaulah kita tidak mengatakan keberadaan seorang Imam adalah wajib, tentu hal itu akan berdampak pada adanya perselisihan dan pertumpahan darah yang tiada henti hingga hari Kiamat. Jika dalam sebuah masyarakat tidak ada seorang Imam yang ditaati, kemuliaan Islam akan tercemar dan kemudian lenyap.”
Urgensi Negara Islam
Tujuan utama Alloh mengutus Rosul-Nya adalah membawa manusia untuk beribadah kepada Robbnya. Alloh Ta‘ala berfirman:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia selain untuk mengibadahi-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Hakikat ibadah adalah memurnikan ketundukan manusia kepada Robbnya, dan membebaskan diri dari ketundukan atau kepasrahan kepada semua bentuk kekuasaan selain Alloh Ta‘ala. Inilah hakikat kalimat “Laa Ilaaha illallooh”. Pada hakikatnya kalimat ini –ketika seseorang mengimaninya—akan membebaskannya dari kehinaan dan keterbudakan. Dan perseteruan antara keimanan dan kekufuran sebenarnya adalah masalah menseterukan hak Alloh yang seharusnya sebagai pemerintah dan pelarang di muka bumi ini,
وهو الذي في السماء إله وفي الأرض إله
“Dialah yang dilangit sebagai sesembahan, dan di bumi sebagai sesembahan…” (QS. Az-Zukhruf: 84)
Dan tidak diragukan lagi bahwa realisasi Ubudiyah kepada Alloh Ta‘ala dan dakwah para Nabi tidak akan bisa dilakukan selain dengan “merebut” kekuasaan para penguasa yang memaksakan kekuasaanya kepada manusia, lalu mengembalikan kekuasaan tersebut kepada Alloh saja.
Oleh karena itu, Syariat Islam memerintahkan penegakkan sebuah Negara demi merealisasikan tujuan agung ini. Sebab tujuan seagung ini tidak akan bisa terlaksana dalam kehidupan jika dilakukan oleh perorangan. Tetapi membutuhkan sebuah sistem kekuasaan yang nantinya melindungi Tauhid dan menyebarkannya, yang melaksanakan hukum-hukum Islam dengan kekuatan dan kekuasaan.
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam Majmu‘ Fatawa (28/ 61):
“Semua bentuk kekuasaan dalam Islam tujuannya adalah menjadikan agama itu seluruhnya menjadi milik Alloh dan agar hanya kalimat Alloh saja yang tertinggi. Karena Alloh SWT menciptakan makhluk tak lain adalah untuk tujuan ini. Karena tujuan ini pulalah Kitab-kitab Suci diturunkan, para Rosul diutus, dan Rosululloh serta orang-orang Beriman berjihad bersama beliau.”
Alloh SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)
Sayyid Qutb Rahimahullah berkata di dalam Fi Dzilalil Quran (II/ 904-905): “Sesungguhnya arti kejahiliyahan dibatasi oleh Nash ini. Jadi, kejahiliyahan adalah –seperti disebutkan cirinya oleh Alloh dan dibatasi maknanya oleh Quran-Nya—kekuasaan hukum manusia atas manusia. Sebab itu sama dengan penghambaan manusia kepada manusia dan keluar dari penghambaan kepada Alloh, menolak uluhiyah Alloh dan mengakui kebalikannya yaitu uluhiyah manusia serta mengakui hak mereka untuk diibadahi selain Alloh. Manusia –kapan dan di mana saja—kalau bukan berhukum dengan syariat Alloh dan menerimanya –tanpa menyelewengkan sebagiannya—, menerima sepasrah-pasrahnya, yang berarti mereka ini berada di dalam agama Alloh; atau kalau tidak maka mereka berhukum dengan syariat buatan manusia –apapun bentuknya—dan menerimanya, yang berarti mereka ini berada di dalam kejahiliyahan, mereka berada dalam agama orang agama pembuat syariat yang ia pakai, dan tidak termasuk dalam agama Alloh sama sekali.
Orang yang tidak mencari hukum Alloh, pasti mencari hukum Jahiliyah. Orang yang menolak syariat Alloh, pasti menerima syariat jahiliyah. Inilah jalan pemisah di mana manusia berhenti di sana, setelah itu mereka dihadapkan kepada pilihan…”
Sesungguhnya urusan ini adalah pondasi utama dari tegaknya agama ini, yaitu urusan: Memimpin berdasarkan syariat. Karena Alloh tidak mengutus para Rosul –semoga sholawat dari Alloh terlimpah kepada mereka semua—kecuali untuk misi mengibadahkan manusia kepada Robbnya. Membawa mereka untuk beribadah sesuai pemahaman yang dikehendaki Alloh ‘azza wa jalla, bukan pemahaman yang hendak dipaksakan oleh sistem Jahiliyah. Sebab hakikat ibadah adalah tunduk kepada Alloh SWT dalam urusan syiar dan syariat, mengesakan Alloh dalam masalah perintah-perintah dan larangan-larangan, serta mentauhidkan-Nya dalam masalah eksistensi dan penciptaan.
Atas dasar semua ini, maka –baik secara syar‘i maupun logika—sudah menjadi keharusan untuk mengangkat seorang penguasa yang akan melaksanakan prinsip penting ini di muka bumi, dan mengarahkan semua orang sesuai tuntunan syar‘i, baik dalam masalah-masalah ukhrowi maupun masalah-masalah duniawi yang mesti disesuaikan dengannya.
Kesimpulan semua ini adalah: Sistem pemerintahan apapun yang tidak tegak di atas asas Islam, maka tidak ada nilai dan kemuliaannya dalam timbangan Syariat, walaupun yang duduk di puncak kepemimpinannya adalah makhluk paling bertakwa, paling berilmu dan paling adil.
Dan perlu diketahui, realita berupa ditinggalkannya syariat Alloh Tabaroka Wa Ta‘ala lalu menggantinya dengan syariat selainnya seperti sekarang ini adalah fakta yang belum pernah diduga oleh Umat Islam. Paraaimmah di era terdahulu tidak pernah membayangkan ini bakal terjadi, sehingga masalah seperti ini tidak tercantum dalam kajian mereka.
Sungguh, sejarah kita telah mengenal para Penguasa jahat, fasik dan dzalim. Namun, sejarah kita belum pernah mengenal Pemerintahan yang membuang syariat Islam jauh-jauh lalu menggantinya dengan syariat lain. Barangkali kondisi yang dialami Umat Islam di zaman serangan Pasukan Tartar yang memaksakan Undang-undang Ilyasiq merupakan kondisi paling dekat kemiripannya dengan kondisi Umat sekarang ini.
PASAL KEDUA:
PROYEK PENEGAKKAN NEGARA ISLAM IRAK
Proyek Negara Islam sesuai kriterianya termasuk salah satu kewajiban Islam yang dibebankan kepada kaum Muslimin, dan tanggungan yang bersifat Fardhu Kifayah yang harus dijalankan dalam kehidupan nyata sesuai cara yang diperintahkan oleh Syariat. Ini sangat terkait erat dengan sebuah kaidah Fikih yang mengatakan:
الحكم على الشيء فرع عن تصوره
“Menilai sesuatu adalah cabang dari pandangan terhadap sesuatu tersebut.”
Maka ketika sebuah kewajiban harus dilaksanakan oleh para Mukallaf, lalu mereka menjalankan kewajiban tersebut sesuai maksud Syara‘ dan mengikuti metode serta aturannya, selanjutnya mereka wajib memahami hukum Alloh yang berlaku pada kewajiban ini, mereka harus memahami hakikat syar‘i yang dimaksudkan padanya. Setelah itu, mempraktekkan pemahaman dan ilmu ini dalam dunia nyata dalam bentuk sebuah Metode Praktis Dinamis (terus bergerak), yang menunjukkan hakikat dan inti dari ilmu tersebut. Alloh Ta‘ala berfirman:
اتبعوا ما أنزل إليكم من ربكم ولا تتبعوا من دونه أولياء
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya…” (QS. Al-A‘rof: 3)
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
يا أيها الذين آمنوا لم تقولون ما لا تفعلون كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shoff: 2-3)
Inilah yang dikenal oleh para Ulama sebagai MANHAJ ILMU & AMAL, yang menjadi jalan para Pendahulu Umat ini dalam menegakkan agama dan merealisasikannya dalam kenyataan dan perbuatan, bukan dalam kata-kata dan retorika.
Akan tetapi, dalam mengamalkan ilmu dan teori-teorinya, harus diperhatikan syarat-syarat dan spesifikasi dari sebuah amal yang sesuai dengan kaidah-kaidah Syar‘i yang lurus, dan harus ditimbang dengan timbangannya. Nah, di antara syarat dan spesifikasi terpenting dalam amal adalah: Kondisi realita (waqi‘) harus sesuai dengan gambaran hukum syar‘i yang akan diterapkan. Inilah yang dikenal di kalangan Ahli Ushul Fikih dengan istilah TAHQIQUL MANATH.
Artinya, semua tugas syar‘i yang mesti dilaksanakan oleh seorang Muslim , haruslah diukur dengan timbangan Syar‘i untuk menilai benar salahnya dalam penerapannya dalam realita.
Proyek Negara Islam Irak muncul sebagai praktek nyata dari sebuah kewajiban penting dalam Syariat Islam. Kondisi yang ada telah memberikan peluang sangat luas menurut penilaian orang-orang yang ikut serta di medan Jihad. Lama-kelamaan, realita di lapangan mulai siap dan tepat dengan tujuan dan programnya untuk menempatkan proyek ini.
Titik awal yang menjadi sandaran Mujahidin dalam mendeklarasikan Negara mereka terangkai dari fakta-fakta syar‘i yang bersandar kepada Al-Quran dan Sunnah, serta analisa terhadap waqi‘ dan iklim politikyang dihasilkan dari sebuah eksperimen dan pengalaman.
Pada pasal berikut ini, kami akan menyebutkan dalil-dalil dan faktor-faktor yang menjadi asas didirikannya Proyek Penegakkan Daulah yang Diberkahi, berdasarkan pengalaman yang dirintis dan dialami langsung oleh Mujahidin di bumi Irak.
Sesungguhnya Negara yang didirikan Rosululloh SAW tidak mengandung semua unsur yang biasanya menjadi ciri utama dari sebuah Negara di masa kini, entah itu aspek politiknya, birokrasinya, atau perekonomiannya. Negara yang dicita-citakan dalam Islam adalah Negara yang menegakkan Agama terlebih dahulu sebelum pertimbangan lainnya, dan yang paling pokok adalah penegakan hukum Syariat yang menitik beratkan pada kandungan hukum dan tujuan-tujuannya. Daulah yang diperintahkan oleh Syara‘ adalah Negara yang terfokus kepada akidah Tauhid dan lahir darinya, yang memberlakukan hukum sesuai tuntutan Syar‘i dalam menentukan sikap politik dan hubungan luar negeri, serta memutuskan hukum sesuai tuntutan Syar‘i dalam mengatur dan menjalankan politik dalam Negeri.
Oleh karena itu, kita lihat Negara yang dibangun Nabi SAW itu selalu menjaga hak-hak agama dan kewajiban-kewajibannya meskipun hal itu akan mengorbankan kepentingan-kepentingan duniawi yang hari ini merupakan prioritas dari semua sistem pemerintahan dan kekuasaan modern. Fakta ini akan kita temukan dalam Sejarah kehidupan Nabi SAW…!
Ibnu Kholdun Rahimahullah berkata: “Kholifah tidak memiliki keistimewaan khusus dibanding kaum Muslimin lainnya kecuali statusnya sebagai Pelaksana hukum-hukum (syar‘i) dan penjaga agama.”
Ketika kita berbicara tentang Negara Islam yang tegak di bumi Irak, kita harus meletakkan tolok ukur hal-hal berikut ini yang memainkan peran sangat penting dalam menentukan tahapan lahirnya Deklarasi ini, dan bagaimana ia muncul dan lahir, berdasarkan situasi dan kondisi yang menyertai Deklarasi dan Kelahiran negara ini:
- Negara yang baru terbentuk ini menyongsong jalan menuju kehidupannya dalam suasa penuh kesukaran. Pertama-tama ia berada di garis perlawanan melawan musuh-musuhnya, yaitu tentara Salib dan kaum Murtaddin di Irak yang sejak perang dimulai sudah menyatakan tujuan mereka untuk memberantas perjuangan berbendera Islam yang ingin menerapkan Syariat dan mengangkat panji Tauhid. Di sinilah banyak sekali kesusahan yang diderita oleh Negara Daulah yang diberkahi ini.
- Negara baru ini tidak meneriwa warisan apapun dari rezim sebelumnya. Ia adalah “Bangunan Islami” yang bangkit di tengah kehidupan jahiliyah, mirip tahapan-tahapan pengantarnya mirip dengan tahap berdirinya Negara Islam pertama yang didirikan oleh Nabi SAW dari rahim kehidupan Jahiliyah. Rezim masa lalu yang berkuasa di Irak adalah Rezim Ba‘ath yang kafir, setelah itu datanglah Invasi tentara Salib dengan dibantu oleh para pengkhianat bayaran untuk menyebarkan kekufuran internasional di Kawasan serta menancapkan simbol-simbol jahiliyah modern yang disebut dengan Demokrasi. Artinya, Negara ini membangun bangunannya sejak dari pondasinya, ia memikul semua ‘biaya’ yang harus dikeluarkan dalam semua sektor: pelayanan masyarakat, militer, ekonomi, sosial. Ia –menurut istilah sekarang—memulai dari Nol.
Maksud saya di sini, bahwa Negara Islam yang masih baru ini tidak akan seperti Negara Modern pada umumnya yang langsung bisa menikmati stabilitas keamanan, ekonomi, politik dan sosial secara sempurna. Dan memang seperti itulah kondisi yang harus dijalani di fase pertamanya. Hal ini melihat kepada berbagai pertimbangan yang telah kami sebutkan, yang membuat banyak orang enggan untuk turut memberikan andil pada jalan ini.
Tetapi meskipun demikian, masih tersisa sebuah petunjuk penting yang masih menyisakan kesempatan bagi Mujahidin untuk membangun sebuah basis utama bagi Negara yang mereka cita-citakan dalam tingkat paling minimal dan menggunakan kekuatan sesuai kemampuan, petunjuk itu adalah mempraktekkan kaidah:
ما لا يدرك كله لا يترك جله
“Apa yang tak bisa digapai seluruhnya, tak mesti ditinggalkan mayoritasnya.”
Tetapi, apakah yang mendorong kami untuk mengumumkan berdirinya Negara Islam di Irak? Sudah tepatkah waktunya saat ini? Dan apakah Mujahidin sudah sampai pada tingkatan standar sehingga mereka layak melaksanakan tugas berat berupa kekuasaan dan berbagai tanggung jawabnya?
Kami katakan: Jawaban kami tidak berkaca kepada analisa teoritis belaka seperti kajian yang dilakukan oleh mereka-mereka yang menisbatkan dirinya kepada ilmu, dakwah dan pemikiran. Kami adalah arus gerakan amal yang bergerak dalam dunia nyata dengan kekuatan, yang terjun langsung dalam menghadapi berbagai resiko dan pertempuran yang ada di dalamnya, yang menentukan program dan proyek-proyeknya sesuai dengan kepentingan proyek Jihadi, dan memiliki nyali yang cukup untuk memikul beban dan tanggung jawab sebesa apapun dan pasti akan datang.
Para pengikut manhaj ini telah mengorbankan banyak darah dan nyawa sebelum akhirnya mereka sampai pada kondisi kemuliaan dan tamkin seperti yang dilihat manusia hari ini, berkat anugerah dan karunia Alloh.
Jawaban kami terhadap berbagai pertanyaan yang muncul seputar langkah dan program kami bisa dipastikan akan bertitik tolak dari kondisi kenyataan yang kami alami dan terutama sikap yang sesuai dengan kepentingan jihad, membantu kelanjutannya dan meningkatkan hasil dan buahnya.
Maka jawabannya nanti bukan kajian syar‘i tentang apa pandangan para pemimpin Jihad terhadap waqi‘ . Jawaban ini akan mengandung penempatan yang tepat mengenai proyek Jihad di tengah ladang-ladang ranjau yang ia lewati, dan rintangan serta kesulitan yang ia lalui.
Kami katakan kepada mereka yang jiwanya tergelincir dan kemudian terburu-buru mencela dan mengecam tergesa-gesanya kelahiran Daulah yang diberkati dengan izin Alloh ini, kami katakan: “Kami tahu kondisi-kondisi yang melingkupi waqi‘ dan situasinya yang keras dan sulit. Keputusan yang diambil dalam urusan jihad pada setiap pertempuran merupakan keputusan yang sulit dan –tidak diragukan lagi—sangat menentukan kelangsungan ke depan. Kami percaya dan meyakini itu. Akan tetapi, pertempuran adalah milik mereka yang mengikutinya dan yang terjun dalam debu-debunya. Dan Alloh telah mengkaruniai sekelompok orang yang berjihad dari para anggota Majelis Syuro Mujahidin untuk maju dengan keberanian yang sulit dicari tandingannya menghadapi serangan kaum Salibis terhadap Irak dan menggagalkan banyak sekali konspirasi dan rencana busuk yang mentargetkan Islam dan kaum Muslimin sebagai sasarannya. Itulah faktor utama yang menjadikan mereka mampu mengambil inisiatif dengan cepat dalam banyak hal. Dalam kondisi sulit dan di tengah kerasnya pertempuran, keputusan-keputusan penting dikembalikan kepada orang bisa menyelesaikan berbagai kesulitan dan krisis. Walaupun cara paling pas dan tepat menurut syara‘ dan logika bukan seperti ini –sebagaimana akan jelas nanti dalam pembahasan pengangkatan pemimpin—, namun situasi-situasi dalam pertempuran memaksanya untuk ‘mendikte’ pengambilan langkah darurat dalam banyak kesulitan dan pendekatan yang dipakai. Ini mengharuskan para pemimpin jihad dan anggota-anggota Kelompok jihad yang berada di medan untuk mengambil peran yang jelas dan strategis, mengingat mereka adalah orang yang paling banyak bergerak dan memiliki kekuatan. Merekalah orang yang paling pantas membuat keputusan dan mengarahkan perjalanan. Dengan kata lain yang lebih jelas, mereka adalah orang yang layak berkuasa dalam kondisi realita yang nyata, dan ini termasuk anugerah yang Alloh berikan kepada mereka. Maka tidak aneh jika keputusan-keputusan diambil sesuai pandangan dan perencanaan mereka. Mereka mengeluarkan keputusan itu berdasarkan kaidah-kaidah kemashlahatan yang tolok ukurnya harus dikembalikan kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan di lapangan, orang-orang yang memiliki kekuatan dan senjata yang segala permasalahan dikembalikan kepada mereka.
Ringkasnya, menaiki ‘kendaraan yang sulit’ ini, menempuh jalan yang berat ini, dilakukan berdasarkan berbagai perkiraan, pemantauan dan melihat kepada kondisi berbagai kejadian dan masa depannya. Dan itu merupakan langkah yang menurut kami tidak kurang bahayanya terhadap musuh dari apa yang berhasil kami timpakan kepada mereka sebelumnya. Meski langkah ini kosong dari latihan kemiliteran khusus, namun mampu menimbulkan pukulan besar dari sisi politis dan hantaman dahsyat terhadap musuh setelah apa yang mereka takutkan terjadi. Musuh pun tinggal mempertahankan sisa-sisa nafasnya di bumi Irak, yang –menurut analisa kami—akan berdampak kepada sebuah kegagalan yang sama sekali tidak ia perhitungkan dalam menentukan target-target strategis, yang musuh telah mencurahkan kekuatan dan fasilitas maksimalnya –baik materi maupun personal—demi mensukseskan target tersebut. Namun Alloh memenangkan urusan-Nya, sayang kebanyakan manusia tidak mengerti.
Penjelasan Ringkas Mengenai Metode Syar‘i Dalam Mengangkat Pemimpin:
Ahli Ilmu sepakat bahwa Imamah (kepemimpinan) diangkat berdasarkan tiga cara (Silahkan cek kitab Al-Ahkam As-Sulthoniyah tulisan Al-Mawardi dan Ghiyatsul Umam tulisan Al-Juwaini), yaitu:
Pertama: Melalui pembaiatan beberapa orang kaum Muslimin yang diangkat sebagai Ahlul Halli wal ‘Aqdi terhadap orang yang mereka pilih, yang menurut mereka orang itu memiliki kriteria-kriteria kelayakan standart yang diperlukan untuk menjadi seorang Pemimpin (Imam).
Kedua: Melalui penunjukkan Imam terhadap salah seorang kaum Muslimin sepeninggalnya kelak, atau penunjukkan beberapa orang yang oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi akan dipilih salah satu dari mereka sebagai Imam.
Ketiga: Melalu kudeta dan pemberontakan bersenjata, ketika terjadi berbagai fitnah dan kosongnya suatu era dari seorang Imam sedangkan Ahlul Halli wal ‘Aqdi lamban untuk mengangkatnya. Maka di saat seperti ini bagi kaum Muslimin yang berhasil mengambil alih kekuasaan dengan pedangnya, lalu ia menyeru untuk berbaiat, menampakkan kekuatan dan pengikut, disyariatkan baginya untuk menjadi Amirul Mukminin, ia wajib ditaati dan dibaiat, tidak boleh ada yang menentangnya.
Maksud saya mengatakan kesepakatan Ahli Ilmu tentang disyariatkannya tiga metode pengangkatan ini artinya: berdasarkan bentuk dan kriteria yang menurut mereka diterima secara qoth‘i. Maka orang yang melihat buku-buku mereka akan menemukan bahwa perkataan mereka lebih dominan berisi dua metode pertama, yaitu seputar metode pembaiatan oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi dan penunjukkan oleh Imam sebelumnya. Adapun metode ketiga, itu bukan jalan utama menuju pengangkatan seorang pemimpin dan pembentukan Negara. Namun cara itu dilakukan disesuaikan kebutuhan dan faktor-faktor pendorong yang dipicu banyaknya kejadian dan berbagai kasus, sehingga cara ini –mengumumkan kudeta—menjadi sebuah kewajiban syar‘i yang mesti dijalankan, bahkan dalam banyak kondisi berubah menjadi fardhu ain. Suasana dan realita kehidupan yang menjadikan sebuah isyarat akan tegakknya Negara Islam di Irak, akan semakin memperjelas pemahaman secara nyata, seperti yang akan dijelaskan nanti.
Kami menjumpai kebanyakan Ulama menetapkan sahnya menggunakan metode ketiga dalam kondisi-kondisi darurat dan krisis, demi menjaga kemashlahatan agama yang tidak mungkin akan tegak selain dengan dukungan persenjataan yang akan membelanya, meskipun itu berasal dari satu orang yang memberontak dengan menggunakan kekuatan. Sebab kalau itu tidak dilakukan akan terjadi suasana chaos dan kekacauan lantaran banyaknya pendapat, benturan berbagai keinginan dan kepentingan, akibatnya penegakkan sebuah Daulah seolah menjadi ‘lebih jauh daripada bintang di langit’ untuk dijangkau, dan lebih sulit daripada masuknya seekor unta ke lubang jarum.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
ومن غلب عليهم بالسيف حتى صار خليفة، وسمي أمير المؤمنين، فلا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يبيت ولا يراه إماما
“Jika ada orang yang berhasil mengambil alih kekuasaan dengan senjata sehingga ia menjadi seorang khalifah dan digelari Amirul Mukminin, maka tidak dihalalkan bagi siapapun yang mengaku beriman kepada Alloh dan Hari Kemudian berada di suatu malam dengan tidak menganggapnya sebagai Imam.”
Yang dikatakan Imam Ahmad ini, Ibnu Bathol menukil adanya Ijmak yang menyatakan hal yang sama (Lihat: Fathul Bari: I/ 17)
Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsir-nya (I/ 302):
“Jika ada orang yang pantas memegang kepemimpinan melakukan pemberontakan dan berhasil mengambilnya secara paksa dan kudeta, maka ada yang mengatakan ini adalah metode keempat. Sahl bin Abdulloh At-Tusturi pernah ditanya: ‘Apa kewajiban kita terhadap orang yang melakukan kudeta kepada negeri kita hingga ia menjadi seorang Imam?’ Ia menjawab: ‘Engkau sambut dia, engkau tunaikan hak yang ia minta kepadamu, engkau tidak mengingkari perbuatannya dan tidak lari darinya. Dan jika ia mempercayakan sebuah rahasia dari urusan agama kepadamu, engkau tidak menyebar luaskannya.’
Ibnu Khuwaiz Mindad berkata: ‘Jika kepemimpinan direbut seseorang yang layak untuk memikulnya, tanpa adanya musyawarah dan pemilihan, lalu orang-orang membaiatnya, maka baiat itu sah. Wallohu A‘lam.’”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar