MASALAH PERTAMA:
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PENEGAKAN DAULAH ISLAM IRAK
Setelah penjelasan tentang pengertian Daulah Islam dan kriteria penegakkannya tadi, kini metode analogi dan komparasi menjadi dekat jangkauan dan penggunaannya. Pembahasan yang akan kita angkat akan mengkaji seputar pengalaman merintis Jihad di zaman sekarang, yaitu pengalaman jihad di bumi Irak, yang merupakan pengalaman yang mesti direnungi agak lama oleh setiap orang yang terjun dalam kancah perjuangan Islam. Pelajaran-pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman ini bisa memberikan pengaruh dalam program-program perencaan jihad dengan bentuk yang indah namun realistis. Cara pandang dan berfikir nya akan sedikit lebih produktif, serius sekaligus riil. Itu dibuktikan dengan kondisi yang tengah kami alami sekarang; sejak berlangsungnya perang Irak dalam tempo tiga tahun lebih sedikit, Mujahidin sudah berhasil memproklamirkan berdirinya Negara Islam di atas bumi Irak. Ini tak lepas dari terjadinya akselerasi yang cukup unik sekaligus penting dalam tataran pelaksanaan jihad dalam poros-poros militernya, administrasinya, media informasinya, dan terakhir pengaruh politiknya. Dan semua ini semata-mata adalah bentuk anugerah dan perhatian dari Alloh Sang Pencipta –Azza wa Jalla, merupakan hidayah dan taufik yang agung bagi Kelompok yang diberkahi ini.
Setelah pemaparan gambaran tadi, target kita sekarang adalah mengetahui fakta-fakta penting yang didukung oleh kaidah Syar‘i berupa bukti dan dalil-dalil, yang itu akan dijadikan sebagai landasan berdirinya proyek Negara Islam Irak, yang selanjutnya itu menjadi pemicu tegaknya sebuah Negara Islam pada segolongan manusia di negeri Irak, maksud saya mereka adalah pengikut Majelis Syuro Mujahidin –semoga Alloh memudahkan mereka terhadap segala kebaikan dan menjadikan kemenangan melalui tangan mereka—.
Pertama: Majelis Syuro Mujahidin Memiliki Keunggulan Kekuatan Dan Senjata Dalam Sekali Cukup Besar Untuk Mengkontrol Wilayahnya
Ini merupakan fakta situasi yang terbentuk secara “paksa” akibat terjadinya perang melawan tentara Salibis dan kaum Murtaddin di Irak. Maka, setelah Alloh ‘Azza wa Jalla memberi taufik kepada hamba-hamba-Nya yang mau berjihad untuk mengangkat senjata dan terjun langsung ke medan jihad dan pertempuran, Alloh muliakan mereka dengan memberikan Tamkin dan posisi yang kuat di banyak daerah dan wilayah. Ini merupakan hasil wajar yang sudah menjadi hak para Mujahidin untuk mendapatkannya setelah mereka berperang dan teguh dalam peperangan tersebut, maka akibatnya terbentang di hadapan mereka area dalam jangkauan yang sangat luas di muka bumi sebagaimana telah kami singgung sebelumnya, dan terwujudlah pada diri mereka makna sebuah kekuatan dan pertahanan hakiki yang mereka miliki di berbagai wilayah yang berbeda. Maka selanjutnya, otomatis kendali kekuasaan di wilayah-wilayah yang dikuasai kembali kepada mereka, merekalah yang kemudian menjadi penentu keputusan pertama.
Mereka juga berhasil meraih persenjataan dan pertahanan yang menjadi pilar penegak sebuah negara dan pemerintahan. Sebab simbol utama dalam menegakkan Negara Islam adalah munculnya kekuasaan, sifat-sifat kepemimpinan dan senjata. Dalilnya adalah:
الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“(yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 41)
Al-Quthubi berkata (dalam Tafsir-nya: IV/ 49):
“Di sini Alloh menjadikan Amar Makruf Nahi Mungkar sebagai pembeda antara orang-orang Beriman dan Munafik. Ini menunjukkan bahwa sifat paling khusus bagi seorang Mukmin adalah Amar Makruf Nahi Munkar yang puncaknya adalah mengajak kepada Islam dan berperang untuk itu. Kemudian, sesungguhnya Amar Makruf Nahi Munkar tidak selayaknya dibebankan kepada semua orang, namun yang melaksanakannya adalah penguasa. Sebab penegakan hudud diserahkan kepadanya, hukum ta‘zir dikembalikan kepada pendapatnya, termasuk memenjarakan dan membebaskan serta membuang dan mengasingkan orang. Maka, hendaknya di setiap negeri diangkat seorang lelaki sholeh, kuat, berilmu dan terpercaya, yang dia memerintahkan dengan itu dan menegakkan hudud sesuai tuntunannya tanpa menambah sedikit pun.”
Abu `s-Su‘ud berkata (VI/ 109):
“Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, adalah pensifatan dari Alloh Azza wa Jalla terhadap orang-orang yang terusir dari kampung halamannya, yaitu kelak mereka akan berkelakuan baik ketika Alloh menjadikan mereka berkuasa di muka bumi dan memberikan kendali hukum kepada mereka.”
Ayat-ayat mulia di atas mengisyaratkan akan salah satu tanda lahirnya Negara Islam, yaitu Tamkin yang tegak di atas pondasi kekuasaan yang terlaksana dan kekuatan yang mampu memberi pukulan di muka bumi. Keberadaan tanda ini menjadi penyebab pasti lahirnya Negara Islam dalam kehidupan nyata, dengan sifat-sifat kepemimpinannya dan syiar-syiarnya yang jelas seperti disebutkan dalam perkataan Al-Qurthubi tadi, yaitu menegakkan hudud, menjalankan pengadilan, dan Amar Makruf Nahi Mungkar yang merupakan hakikat agama. Kalau bukan karena sebelumnya terjadi Tamkin dan kekuatan, sifat-sifat munculnya sebuah negara tidak memiliki faedah berarti.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55)
Dalam ayat ini Alloh SWT menjadikan Tamkin di muka bumi dan tampaknya syiar-syiar agama sebagai pertanda datangnya kekuasaan, yang muncul dengan tersempurnakannya shulthon dan terlihatnya simbol-simbol negara yang berkuasa di atas bumi tersebut, di manapun dan sebesar apapun.
وَلَنُسْكِنَنَّـكُمُ الأَرْضَ مِن بَعْدِهِمْ ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ
“Dan Kami pasti akan menempatkan kamu dinegeri-negeri itu sesudah mereka.Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku". (QS. Ibrohim: 14)
Penempatan di muka bumi adalah: Tamkin di atasnya dan penyerahan bumi tersebut kepada mereka, seperti firman Alloh:
وأورثكم أرضهم وديارهم
“Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah dan rumah-rumah mereka…” (QS. Al-Ahzab: 27)
Obyek perkataan (khithob) dalam firman Alloh:
وَلَنُسْكِنَنَّـكُمُ
“Dan Kami pasti akan menempatkan kamu…” adalah para Rosul dan orang-orang yang beriman kepada mereka. Maka, tidak mesti Alloh menempatkan para Rosul di negeri musuhnya, namun cukup Rosul itu memiliki kekuasaan di atas negeri tersebut dan yang menempatinya adalah orang-orang beriman; sebagaimana Alloh memberikan Tamkin kepada Rosululloh di Mekkah dan tanah Hijaz yang setelah negeri ini ditaklukkan yang mendiami adalah orang-orang beriman. Artinya, kemenangan dan keunggulan merupakan pertanda berkuasanya para Rosul dan orang-orang beriman yang menyertai mereka atas bumi tersebut dan berkuasa atas pemberlakuan syariat Alloh sebagai hukum di atasnya.
وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُواْ يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُواْ وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُواْ يَعْرِشُونَ
“Dan Kami wariskan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Rabbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.” (QS. Al-A‘rof: 137)
Ayat ini berbicara tentang Tamkin yang diperoleh Bani Israil pasca tewasnya Fir‘aun, yang mana ciri Tamkin itu adalah mewarisi bumi dan berkuasa di atasnya. Itulah Tamkin yang Alloh kehendaki menjadi milik mereka dengan masyi’ah dan qodrat-Nya.
ونريد أن نمن على الذين استضعفوا في الأرض ونجعلهم أئمة ونجعلهم الوارثين، ونمكن لهم في الأرض ونري فرعون وهامان وجنودهما منهم ما كانوا يحذرون
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu.” (QS. Al-Qoshosh: 5-6)
Tamkin ini terjadi setelah Bani Israil meraih kemenangan, menampakkan kekuatan dan berkuasa di atas bumi.
- Perbuatan Nabi SAW dan para shahabatnya yang mulia ketika menegakkan Daulah Islam pertama di Madinah yang sebelumnya hanya sepetak tanah yang kecil di muka bumi. Daulah itu terbentuk hanya dengan adanya keunggulan lahiriyah dan adanya sejumlah orang, adanya kaum Anshor dan pengikut yang dengan keberadaan mereka terbentuklah kekuatan, kemenangan dan kekuasaan yang nyaris sempurna di area tanah tersebut, walaupun kecil, atau walaupun kekuasaan itu masih kurang sempurna. Maka, kalau mengkaji fase yang mengiringi berdirinya Daulah Nubuwwah, akan terlihat jelas bahwa Daulah itu dibangun atas jerih payah sekelompok kaum Anshor dan para pengikut Nabi yang mereka berhasil meraih Syaukah di dalam negerinya sendiri setelah mereka melengkapi diri dengan senjata dan kekuatan.
Ibnul Qoyyim berkata di dalam Zadul Ma‘ad:
“Dari Jabir: Bahwasanya selama sepuluh tahun di Mekkah Nabi SAW mendatangi orang-orang di rumah-rumah mereka, di Mawasim, di Majanah, di ‘Ukadz, beliau mengatakan: “Siapa yang mau memberiku tempat perlindungan? Siapa yang mau membelaku sehingga aku bisa menyampaikan risalah Robbku, kemudian dia mendapat Surga?”
Maka beliau tidak mendapat satu orang pun yang mau membela dan memberinya tempat perlindungan. Sampai-sampai ada orang yang pergi dari Mudhor atau Yaman ke tempat familinya, lalu kaumnya mengatakan kepadanya: “Hati-hatilah dengan pemuda Quraisy, jangan sampai ia menyesatkanmu.” Sementara Nabi SAW terus berkeliling kepada tokoh-tokoh mereka untuk mendakwahi mereka kepada Alloh Azza wa Jalla, tetapi mereka justeru menuding beliau dengan jari-jari mereka. Sampai akhirnya Alloh mengirim kami dari kota Yatsrib, ketika ada seorang lelaki dari kami yang mendatangi beliau dan beriman kepadanya, beliau membacakan Al-Quran kepadanya, setelah itu ia kembali kepada keluarganya dan mereka masuk Islam lantaran keislamannya. Sampai tidak tersisa satu rumah pun milik kaum Anshor kecuali di dalamnya terdapat sekelompok kaum Muslimin yang menampakkan keislamannya terang-terangan. Kemudian Alloh mengirim kami, kami berunding dan berkumpul, kami mengatakan: “Sampai kapan Rosululloh dalam kondisi terusir di gunung-gunung Mekkah dan ketakutan.” Akhirnya kami mendatangi beliau di Musim Haji, lalu beliau menjanjikan pertemuan dengan kami untuk berbaiat di Aqobah. Maka ketika itu, paman beliau, Abbas, berkata: “Wahai keponakanku, aku tidak mengenal siapa orang-orang yang datang kepadamu ini. Sungguh aku mengerti tentang penduduk Yatsrib.”
Kemudian kami berkumpul di sekeliling beliau satu orang dan dua orang. Ketika Abbas melihat wajah-wajah kami, ia berkata: “Mereka adalah kaum yang tidak kita kenal, mereka orang-orang baru.”
Maka kami katakan: “Wahai Rosululloh, atas apa kami berbaiat kepadamu?”
Rosululloh SAW bersabda: “Hendaknya kalian berbaiat kepadaku untuk mendengar dan taat dalam kondisi bersemangat atau malas, dan berinfak baik dalam kondisi sulit atau mudah, dan beramar makruf nahi mungkar, dan hendaknya kalian berkata-kata karena Alloh; tidak takut celaan orang yang mencela, dan hendaknya kalian menolongku ketika aku datang kepada kalian, dan kalian melindungiku sebagaimana kalian melindungi diri kalian, isteri-isteri dan anak-anak kalian. Setelah itu kalian akan mendapatkan surga.”
Maka kami pun berbaiat kepada beliau, As‘ad bin Zaroroh mengambil tangan beliau, dia adalah orang termuda dari ke-70 orang ini. Setelah itu ia berkata: “Tunggu sebentar, wahai penduduk Yatsrib. Sungguh kita tidak menempuh beratnya perjalanan kecuali karena kita tahu bahwa beliau adalah utusan Alloh. Dan sesungguhnya pengusiran beliau hari ini berarti adalah kita memisahkan diri dari seluruh bangsa Arab, orang-orang terbaik kalian akan terbunuh, dan kalian akan tergigit pedang. Maka, hendaknya kalian bersabar menanggungnya lalu ambillah pahala kalian di sisi Alloh, atau jika kalian menyembunyikan rasa takut di dalam hati kalian, biarkanlah ia, sesungguhnya itu lebih memaafkan kalian di sisi Alloh.”
Mereka berkata: “Wahai As‘ad, bentangkanlah tanganmu. Demi Alloh, kami tidak akan meninggalkan baiat ini dan tidak meminta dibatalkan.” Maka kami berdiri menghampirinya satu demi satu, lalu beliau mengambil sumpah dan syarat dari kami dengan jaminan Surga.”
Dari perkataan Jabir ini terlihat bahwa orang-orang Yatsrib yang menolong Nabi SAW dan berbaiat kepada beliau untuk menegakkan Islam dan membela dakwahnya tidak lebih dari 70 orang. Dengan 70 orang ini tercapai kriteria kemenangan dan kekuatan, sebab kelompok ini bersenjata dan memberikan sumpah untuk berperang serta melindungi Nabi SAW dari serangan musuh-musuh Dakwah Islam. Akhirnya, kekuasaan berhasil diraih Nabi SAW di Madinah karena di sana ada kekuatan dari golongan penduduk Yatsrib ini. Padahal kalau diamati, mayoritas mereka bukan termasuk pemuka-pemuka yang terkenal, seperti dituturkan Abbas yang merupakan orang yang faham tentang penduduk Yatsrib dan tokoh-tokohnya: “Wahai keponakanku, aku tidak mengenal siapa orang-orang yang datang kepadamu ini. Sungguh aku adala orang yang mengenali penduduk Yatsrib.”
Dan ketika Abbas melihat wajah-wajahnya, ia berkata: “Mereka adalah kaum yang tidak kita kenal, mereka orang-orang baru.”
Maka, kekuatan dan kemenangan tidak disyaratkan harus berada di tangan orang-orang tertentu atau tokoh-tokoh yang populer. Sebab kelompok yang menegakkan Negara Islam pertama mayoritas adalah orang-orang baru yang tidak populer, sebagaimana dikatakan Abbas kepada Nabi SAW.
Dan Mujahidin di Irak hari ini berhasil mengkontrol sebidang tanah yang –berkat anugerah Alloh—memiliki luas berkali lipat dibandingkan bidang tanah tempat Nabi SAW mendirikan Negara pertamanya. Jadi, faktor alasan syar‘i dari penegakkan Daulah ini terpenuhi karena adanya kandungan yang sama dengan faktor ditegakkannya Negara Islam pertama, yaitu Tamkin di atas bidang tanah yang lebih besar daripada tempat tumbuhnya Daulah Islam pertama.
As-Sarkhosi berkata di dalam Al-Mabsuth (X/ 114): “Dan dari Abu Yusuf dan Muhammad (bin Al-Hasan, penerj.) rahimahumallahu Ta‘ala disebutkan: Bahwasanya jika suatu penduduk negeri menampakkan hukum-hukum syirik, maka negeri mereka menjadi negeri Harbi. Sebab sebuah bidang tanah itu dinisbatkan kepada kita –kaum Muslimin— atau kepada mereka berdasarkan kekuatan dan keunggulan. Maka, setiap daerah yang di sana hukum Syirik unggul, berarti kekuatan di situ dikuasai oleh orang-orang Musyrik, sehingga statusnya adalah Darul Harbi. Sedangkan setiap wilayah yang unggul di sana adalah hukum Islam, maka kekuataannya berarti di tangan kaum Muslimin.”
Ini menunjukkan bahwa Manath hukum suatu negara adalah pihak yang menguasainya, sedangkan hukum itu hanya sekedar mengikutinya saja. Sebab orang kafir pasti akan menggunakan hukum-hukum orang kafir sebagaimana orang Muslim akan menggunakan hukum-hukum Islam, sebab kalau tidak berarti ia kafir.
Menjelaskan manaath ini, Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Karena negeri itu dinisbatkan kepada orang yang menguasainya, yang memerintah dan memilikinya.” (Lihat Al-Muhalla: XI/ 200)
Ditambah lagi, tidak ada nash Syar‘i, baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah, yang meletakkan batasan tertentu mengenai luas suatu negeri yang harus ditegakkan Negara Islam di atasnya, dan tidak ada kriteria lain selain yang telah kami sebutkan yang kesemuanya berpulang kepada adanya hakikat Tamkin dan unggulnya kekuatan Syariat. Dan siapa saja yang meletakkan batas tertentu baginya, atau menentukan jumlah dan luas, atau kriteria tambahan selain dari yang kami sebutkan tadi, berarti ia telah berbuat bid‘ah di dalam agama Alloh tanpa ada sumbernya. Sebab dasar dalam hal itu adalah Nash, sementara nash tersebut tidak ada sejauh pengetahuan kami. Kecuali jika dikatakan bahwa ketika Nabi SAW menegakkan Daulah Islam pertamanya di Madinah, beliau menjadikan luas Madinah sebagai batas, sehingga kita harus berpatokan dengan ukuran tersebut.
Tapi kami katakan: Tindakan Nabi saja di sini tidak cukup untuk meletakkan batasan Syar‘i, sebab luas tersebut beliau capai secara kebetulan. Seandainya tegak Daulah Nubuwwah di tempat selain Madinah yang luasnya lebih kecil atau lebih lebar, tentu itu akan tetap berjalan tanpa berseberangan dengan prinsip Syariat atau menyelisihi Nashnya.
As-Sarkhosi berkata di dalam Al-Ushul (II/ 98):
“Ulama kami –rahimahumullah—mengatakan bahwa ketika tindakan Nabi SAW dilakukan dalam rangka memberi penjelasan tentang isi Al-Quran, lalu tindakan beliau tersebut terjadi di suatu tempat atau waktu, maka penjelasan itu terwujud dengan terjadinya tindakan beliau dan dengan sifat-sifat beliau ketika melakukannya. Adapun tempat dan waktu, maka tidak menjadi syarat di dalamnya.”
Dan harus diingat, bahwa Pemerintahan Islam di Madinah ketika itu belum sempurna. Sebab Madinah ketika adalah wilayah luas yang menjadi tempat berkumpul kelompok-kelompok yahudi yang juga memiliki kekuatan militer dan ekonomi yang tidak bisa diremehkan di kawasan Arab. Ditambah dengan adanya musuh-musuh yang selalu mengincar dakwah Islam dan para pengikutnya, baik dari dalam maupun luara Madinah. Hanya saja, pemerintahan ini mulai berangsur sempurna dan kuat setelah disyariatkannya jihad, yang mana jihad ini telah memberikan kekuatan dan kekuasaan besar bagi negara Muslimi muda ini, yang itu itu memberikan kesempatan untuk mengkokohkan pilar dan pondasi negara.
Abul Ma‘ali Al-Juwaini berkata di dalam Ghiyatsul Umam (56):
“Pondasi kepemimpinan adalah menguasai pertahanan dan banyaknya senjata dan kekuatan, semua ini tidak ada pada diri orang yang tidak ditaati.”
Catatan:
Majelis Syuro Mujahidin memperoleh dukungan masyarakat mayoritas yang tidak bisa disebutkan dukungannya secara terang-terangan demi menjaga dari serangan aliansi Salibis-Murtaddin. Ini termasuk fakta tersembunyi yang tidak tersentuh oleh media Informasi dan Stasiun televise. Hubungan dan koneksi Majelis Syuro sangat luas penyebarannya, itu membuat kami merasakan situasi di lapangan yang memperkuat bukti adanya area penyebaran yang luas bagi Majelis Syuro yang terbentang antar berbagai kabilah bangsa Irak yang bermacam-macam dan di bawah payung yang berbeda-beda dan memiliki kedudukan-kedudukan yang tinggi. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka tidak bisa terang-terangan memberikan dukungan dan bantuannya karena pertimbangan keamanan, terutama menghindari serangan pasukan Penjajah Amerika dan pembantu-pembantunya dari kalangan kaki tangan Pemerintahan Murtad. Sehingga, banyak dari mereka yang lebih memilih berhati-hati dengan memberikan bantuan secara diam-diam, atau mendukung dan menunggu saat yang tepat untuk menyatakan dukungannya, setelah itu ia tidak lagi merahasiakan bantuan dan dukungan diam-diamnya selama ini terhadap saudara-saudaranya di Majelis Syuro. Inilah faktor untuk mengatakan bahwa kedudukan Majelis Syuro adalah besar, terus mengalami peningkatan dan berpengaruh dalam diri berbagai elemen dan kelompok masyarakat. Itulah yang membentangkan jalan bagi Majelis Syuro untuk memegan tampuk kendali kekuasaan dalam proyek penegakkan Daulah, karena ia memiliki banyak pendukung dan pengikut serta menguasainya dengan kekuatan dan pertahanan seperti telah kami singgung tadi.
Kedua: Majelis Syuro Mujahidin Adalah Contoh Sebuah Persatuan Dan Sikap Saling Tolong Menolong
Tidak salah jika kami katakan bahwa Majelis Syuro Mujahidin Irak adalah teladan yang bisa ditiru dalam hal kerjasama Ahlul Halli wal ‘Aqdi dan persatuan anggotanya. Di tengah berjalannya pertempuran melawan tentara Salibis dan konco-konconya, Majelis ini memiliki peran perintisan yang istimewa dalam menyatukan Mujahidin, menyatukan barisan mereka dan membantu keputusan-keputusan yang mereka ambil. Sehingga, berbagai perkumpulan, organisasi, batalyon tempur, bergabung menjadi satu pasukan yang memiliki Komando Pusat dan Dewan Konsultasi yang rapi di bawah pengawasan yang Syar‘i serta pijakan-pijakan fikih yang mengarahkannya ke arah perkembangan yang sangat besar, yaitu mengalirnya bantuan, tertibnya perencanaan-perencanaan operasi militer, membaiknya pengaturan administrasi, di atas wilayah yang luas dan di dalam sebuah struktur organisasi yang besar. Dengan kondisi seperti ini, Majelis Syuro menjadi pemegang “kata pertama” –dengan anugerah Alloh—di mayoritas daerah Irak dan wilayah-wilayahnya yang bergolak. Jadi, Majelis Syuro beranggotakan para pembesar dan tokoh Islam yang didengar suaranya, yang memiliki pengaruh luas di kalangan kabilah dan pengikutnya, ditambah dengan orang-orang berpengalaman dalam bidang militer dan berpengalaman di medan tempur, ditambah dengan barisan para Masyayikh, para Qodhi, para penuntut Ilmu, para Dai dan orang-orang yang memiliki berbagai keahlian beragam. Maka sebenarnya Majelis Syuro adalah sebuah gambaran yang terang tentang siapa itu Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Merekalah tokoh-tokoh kaum Muslimin yang menjadi tumpuan berbagai masalah, sebab mereka memegang kekuatan, persenjataan dan pertahanan.
Dalilnya adalah perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum ketika mereka mengangkat Utsman sebagai Khalifah. Ia diangkat melalui Dewan Majelis yang ditunjuk oleh para penasehat yang menjadi tumpuan berbagai masalah rumit, kemudian mereka semua sepakat untuk mengangkat Utsman sebagai Khalifah setelah Umar radhiyallahu ‘anhu.
Al-Mawardi berkata di dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah (hal. 13):
“Kemudian membaiat Utsman bin ‘Affan. Dewan Syuro yang dianggotai oleh mereka yang layak diangkat sebagai pemimpin dan disepakati, merupakan asal dari pengangkatan Imam berdasarkan penunjukkan dan dalam
[kurang hal. 29]
Kalau kita perhatikan sifat-sifat Majelis Syuro dan hakikatnya secara lebih teliti, tentu akan kita temukan bahwa ia sesuai dengan syarat dan sifat-sifat Ahlul Halli wal ‘Aqdi yang sah, kalau tidak kita katakan tidak ada Ahlul Halli wal ‘Aqdi di zaman sekarang selain Majelis ini.
Al-Mawardi berkata di dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah (hal. 6):
“Adapun orang-orang yang berhak memilih, syarat-syarat yang dibenarkan ada tiga: Sifat Adil (‘adalah) berikut semua syaratnya, kedua adalah ilmu yang akan menghantarkan kepada pengetahuan mengenai siapa yang berhak menerima tugas kepemimpinan sesuai syarat-syaratnya yang benar, dan ketiga adalah kecermatan dan sifat bijaksana yang keduanya akan menghantarkan untuk memilih orang yang paling baik menjadi pemimpin, yang paling lurus dan faham dalam mengatur berbagai mashlahat.”
Al-Qolqosyandi berkata di dalam Ma’aatsirul Anaaqoh (I/ 42):
“Kedelapan –dan ini yang paling benar menurut pengikut Kami dari Madzhab Syafi‘i—bahwa kepemimpinan diangkat oleh mereka yang bisa hadir ketika pembaiatan di tempat tersebut, yaitu dari kalangan Ulama, para pemuka dan tokoh masyarakat yang memiliki sifat-sifat bisa memberikan saksi. Bahkan, kalau Ahlul Halli wal ‘Aqdi bergantung kepada satu orang yang ditaati, itu sudah cukup.”
Abul Ma‘ali Al-Juwaini berkata di dalam Ghiyatsul Umam (hal. 59):
“Adapun jika ada seseorang yang sangat dihormati dan berkedudukan tinggi, setelah itu muncul baiat dari dirinya karena suatu kemashlahatan yang rahasia, lalu sebab ini diperkuat dengan adanya persenjataan yang besar, maka saya sama sekali tidak melihat kepemimpinannya itu dibatalkan dalam kondisi ini.”
Jika demikian halnya, maka Majelis Syuro adalah yang paling berhak mengangkat Imam, mengumumkan berdirinya Daulah dan memegang kendali serta kepengurusannya. Perkataan para Ulama tadi menetapkan dibenarkannya satu orang yang sangat dihormati yang mengeluarkan baiat untuk orang yang layak memimpin, dengan itu kepemimpinan semakin kuat dan pilar-pilarnya semakin menghunjam; lalu bagaimana dengan Majelis kami yang dipenuhi oleh orang-orang semacam itu, yaitu pemuka-pemuka Kaum Muslimin dan orang-orang terbaiknya yang turut mendanai, berjihad, berkorban dan memberikan andil yang baik?
Dan pengamat yang adil dalam menilai Majelis Syuro serta perjalanannya yang baik akan mengetahui secara yakin bahwa anggota-anggotanya adalah orang-orang Adil yang sesuai dengan persyaratan menjadi Ahlul Halli wal ‘Aqdi di mana mereka memiliki kewenangan untuk mengangkat seorang Imam. Bahkan, jika sifat adil mereka hanya sekedar kerelaan mereka untuk mau berjihad melawan Invasi Salibis dan pembantu-pembantunya yang murtad, serta membuyarkan konspirasi dan program yang mereka canangkan di Kawasan, tentu itu sudah cukup. Lalu bagaimana jika mereka juga orang-orang yang kapabel dalam urusan agama dan syariat, termasuk para pembela Tauhid dan Dai-dai yang menyerukan Sunnah?
Beginilah, dan ini tidak akan dilupakan atau dilalaikan sejarah, bahwa Majelis Syuro –sebagaimana sudah dimaklumi—dibangun di atas prinsip Syuro dan tukar-menukar sumbangsih dan pengalaman, merealisasikan sebuah aliansi yang selama ini hilang, yaitu bekerja sama dan bergotong royong sesuai tuntunan Syariat Islam yang sangat jarang terjadi dalam kondisi-kondisi sulit seperti yang menimpa Irak dan rakyatnya sekarang. Dan baru beberapa langkah Majelis Syuro ini berjalan, ia sudah bisa mengumumkan di hadapan seluruh manusia seruan mulianya terhadap pemuka-pemuka Muslim di Irak, sejak dari Ulama, tokoh-tokoh, para pemimpin Jihad, dan berbagai element, untuk bergabung di dalam Majelis yang diberkahi ini. Itu menguatkan apa yang dikatakan oleh Syaikh yang cerdas, Komandan yang gagah berani, Syaikh Kami, Kekasih kami, Abu Musab Al-Zarqawi –semoga Alloh menerimanya di barisan para syuhada dan mengumpulkan kita dengan beliau di Surga-Nya, Amin—. Di antara peringatan halus adalah kata-kata Syaikh rahimahullah bahwa Majelis Syuro ini akan menjadi pertanda kebaikan, benih yang bagus bagi tegaknya Daulah Islam di masa mendatang. Dan inilah yang sekarang terjadi, tanaman telah tiba saatnya untuk dimakan di waktu kami sekarang ini, buahnya sudah meranum untuk dipetik oleh putera-putera Islam dan Jihad. Karena sejak awal perjalanannya, Majelis Syuro telah meraih apa yang tidak diraih oleh kebanyakan mereka yang terlibat di lapangan. Ia membuktikan dirinya mampu melewati rintangan hawa nafsu dan sikap egois. Dengan niatnya yang jujur, hati yang bersih dan keteguhan dalam mencapai tujuan, ia berhasil melewati rintangan-rintangan berupa ambisi pribadi, ketokohan dan jabatan yang ada di hadapannya. Maka ia telah meraih kesuksesan gemilang, sehingga jalan pun terbentang di hadapannya yang menunjukkan tanda-tanda datangnya pertolongan dan irama-irama kemenangan. Dan hanya milik Alloh lah nikmat dan anugerah.
Benang merah pemaparan di atas adalah: bahwa Majelis Syuro telah menyeru para tokoh masyarakat Irak yang layak untuk menempati posisi Syuro, untuk bergabung dan bersatu. Langkah akhir dari langkah-langkah penuh berkah ini adalah mengumumkan pembentukan Hilfu Al-Muthiibiin (pengambilan sumpah orang-orang sukarela) yang menyeru para pemuka dan tokoh masyarakat Irak, baik dari ulama, pemimpin Kabilah dan komandan-komandan Jihad. Lalu menyambutlah mereka yang mau menyambut, dan mereka ini adalah kebaikan dan berkah. Sedangkan yang tidak melakukannya, dosanya ia tanggung sendiri, ia sama sekali tidak memikul tanggung jawab, dan ia tidak memiliki pembenaran yang diterima dalam berlambat-lambat atau menolak untuk berkumpul dan bersatu sesuai diperintahkan oleh Syar‘i dan dianjurkan dengan berbagai cara, sementara di saat yang sama ada kesempatan untuk membentuk ikatan yang merekatkan Ahlul Halli wal ‘Aqdi dan menyelaraskan barisan mereka.
Ketiga: Majelis Syuro Mujahidin –selanjutnya kita sebut Hilfu Al-Muthiibiin—Memiliki Kelayakan Untuk Mengumumkan Daulah Karena Tidak Adanya Orang Lain Yang Layak Atau (Kalau Ada) Mereka Lambat Dalam Mendirikannya
Dan seperti inilah kondisinya saat ini, banyak sekali mereka yang menyatakan dirinya sebagai Ahlus Sunnah tiada hentinya melakukan pekerjaan-pekerjaan sia-sia seperti fatamorgana di tanah tandus yang dikira orang haus sebagai air, tetapi ketika ia datangi ternyata ia tidak menemukan apa-apa. Banyak sekali para pakar dan pekerja di dunia politik yang berusaha keras mewujudkan berbagai keberhasilan bagi kaum Sunni di Irak, mereka mengumumkan kepada khalayak keriuhan dan janji-janji kosong yang tidak dijajakan selain dalam “pasar pengkelabuan dan penipuan”, mereka juga membohongi putera-putera Umat dan menjerumuskan banyak dari mereka ke dalam perangkap sistem pemilu dan parlemen, setelah itu mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa di balik semua itu. Bahkan mereka masuk ke dalam jurang yang tak berujung. Kondisi ini semakin diperparah dengan mulai munculnya gejala-gejala mundurnya sebagian kelompok yang tadinya bergabung dalam dunia Jihad, atau aksi perlawan menurut istilah mereka. Bahkan sebagian dari mereka –yaitu kelompok Al-Jaisy Al-Islami—berterus terang menyatakan kesiapannya berunding dengan Amerika, baik di bawah syarat-syarat yang diumumkan atau tidak diumumkan.
Jadi, satu hal yang pasti bahwa orang-orang yang berjuang di medan tempur bersikap lamban dalam menegakkan Daulah, baik karena sikap meremehkan, atau karena memiliki kekurangan dalam melaksanakan tugas-tugas Daulah dan kurangnya segi pertahanan dan persenjataan yang merupakan pondasi dalam sebuah pemerintahan. Dan telah disebutkan tadi perkataan Abul Ma‘ali Al-Juwaini masalah keterlambatan Ahlul Halli wal ‘Aqdi dalam menunaikan kewajiban ini, ia berkata:
“Kami katakan mengenai masalah ini, jika orang-orang yang mengangkatnya meremehkan atau menunda penunjukkan Imam, sementara masa vakum berjalan lama, kesulitan semakin bertambah, wilayah-wilayah kekuasaan semakin menyebar luas, dan faktor-faktor kekurangan mulai nampak, lalu ada orang yang layak menjadi imam maju dan mengajak untuk mengikuti dirinya, mencoba menyatukan yang tersebar dan menolak faktor-faktor yang menyebabkannya lupa diri, jika ada orang yang memiliki sifat yang kami sebutkan ini unggul dalam hal kekuatan yang sempurna sehingga keunggulan itu tidak membawanya kepada perbuatan fasik, maksiat dan keluar dari agama, jika itu terjadi dan jika meninggalkannya serta mengangkat orang selainnya akan mengakibatkan terjadi berbagai fitnah dan perkara-perkara yang dilarang, maka yang benar ia harus disetujui, kepatuhan diberikan kepadanya dan tangan-tangan orang yang mengangkat diulurkan kepadanya.”
Oleh karena itu, solusi Syar‘i untuk situasi seperti sekarang ini adalah bersegera menunaikan kewajiban syar‘i yaitu menegakkan Daulah, dengan kemampuan yang memungkinkan, bisa dijangkau, dan sesuai dengan kondisi yang paling bisa memberi keamanan dan yang paling tepat, sebagai realisasi dari firman Alloh Azza wa Jalla:
فاتقوا الله ما استطعتم
“Maka bertakwalah kepada Alloh semampu kalian…” (QS. At-Taghobun: 16)
Dan firman Alloh:
لا يكلف الله نفساً إلا وسعها
“Alloh tidak membebani suatu jiwa kecuali sebatas kemampuannya…” (QS. Al-Baqoroh: 286)
Dan sabda Nabi SAW:
إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم
“Jika kuperintahkan sesuatu kepada kalian, laksanakanlah semampu kalian…” (HR. Bukhori Muslim)
Terlebih lagi, bahwa Majelis Syuro adalah perintis pertama dalam menegakkan Daulah dan mengumumkannya ketika hal itu tidak ada dalam diri orang lain yang sebenarnya layak melakukannya. Dan kebiasaan Syariat adalah memberikan keutamaan bagi yang lebih awal di saat banyaknya kepemimpinan yang saling bertemu. Seperti disebutkan dalam Shohih Bukhori Muslim, dari Abu Huroiroh dari Nabi SAW beliau bersabda:
كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وسيكون خلفاء فيكثرون)، قالوا فما تأمرنا ؟ قال (فوا ببيعة الأول فالأول أعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم)
“Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, setiap kali seorang Nabi meninggal dunia digantikan oleh Nabi berikutnya. Dan tidak ada Nabi lagi setelahku, yang ada kelak adalah para khalifah, mereka akan banya jumlahnya.”
Para sahabat bertanya: “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Rosululloh menjawab: “Tunaikanlah baiat yang paling pertama kemudian yang paling pertama, berikan hak mereka karena sesungguhnya Alloh akan meminta pertanggung jawab terhadap apa yang mereka pimpin.”
Alloh Ta‘ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“ Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. ” (QS. At-Tauba: 100)
Di sini, Alloh lebih mengedepankan orang yang terdahulu daripada yang lain.
Alloh Ta‘ala juga berfirman:
لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“ Sesungguh nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108)
Di sini Alloh menjadikan kelebihan bagi Masjid yang pertama karena dibangun di atas ketakwaan sejak hari pertamanya.
Demikian juga dalam hal mendahulukan orang yang menjadi imam dalam sholat. Di dalam sebuah hadits shohih disbeutkan dari Nabi SAW beliau bersabda:
يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله، فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة، فإن كانوا في السنة سواء فأقدمهم هجرة، فإن كانوا في الهجرة سواء فأقدمهم سناً
“Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah yang paling mahir membaca Al-Quran. Jika mereka sama dalam hal bacaan Al-Quran, maka yang paling mengerti tentang Sunnah. Jika dalam Sunnah mereka sama, maka yang paling dahulu berhijrah. Jika dalam hijrah mereka sama, maka yang paling tua usianya.”
Beliau mendahulukan Imam berdasarkan kelebihan dari sisi ilmu, setelah itu kelebihan dari sisi amal. Beliau mengedepankan orang yang mengerti Al-Quran daripada yang mengerti Sunnah, setelah itu yang paling dahulu mendatangi Dinul Islam menurut pilihannya sendiri, setelah orang yang paling dahulu mendatangi Dinul Islam dari segi usia.